Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Narendra dan Pragmatismenya
Sialan Namira!
Rendra terus mengumpat dalam hati sementara ayahnya bicara.
"Dewan eksekutif mau ganti kamu karena citra publik kamu rusak." Brata mengelap mulutnya dengan serbet makan, kemudian menyamankan duduknya pada sandaran kursi.
"Nggak masuk akal!" Suara Rendra meninggi, "Tuduhan itu udah terbukti palsu. DNA-nya negatif, kenapa masih ribut?!"
"Tuduhan soal anak harammu memang palsu." Brata menatapnya datar. "Tapi image kamu yang suka tidur sama sembarang perempuan itu kan fakta. Masyarakat sensitif dengan isu moral begini. Kamu lupa kita di Indonesia?"
Rendra berdecak, mendorong piring steak-nya yang bahkan belum disentuh.
Ini konyol. Itu privasinya, kenapa orang ramai ikut campur urusan ranjangnya? Setelah belasan tahun tinggal di luar negeri, semua kemunafikan nilai Timur ini mulai terasa menjengkelkan baginya.
Ini semua berawal dari empat bulan lalu.
Namira (aktris kelas dua yang dulu cuma jadi pelarian seksnya) mendadak muncul di media dengan drama air mata dan mengaku melahirkan anak darinya. Tuduhan diperkuat oleh foto mereka yang tersebar di sosial media. Di ranjang dan bertelanjang dada.
Hasil tes DNA jelas mengatakan bahwa anak itu bukan darah dagingnya, tapi Namira ngotot mengatakan Rendra memanipulasi hasil tes. Netizen eat that shit up. Publik langsung melabelinya dengan stempel : 'Rendra si bajingan yang bergaya hidup bebas'.
Rendra adalah putra tunggal dari pengusaha konglomerat sekaligus Presiden Republik Indonesia, Bratasena Kusumadiningrat. Tidak heran berita soal dirinya menyebar cepat.
Ia tidak peduli pada karir politik ayahnya yang sedang mengincar kursi Presiden periode kedua. Apalagi pada citra publik dirinya sendiri. Persetan. Tapi kalau ini mengganggu posisinya di kursi Direktur Utama, itu lain cerita. Ia bekerja mati-matian untuk sampai di titik ini.
Di sisi lain, Brata menyodorkan strategi rahasia yang disusun oleh Tim Public Relation Istana.
Tujuannya?
Untuk mengubah citra Rendra menjadi pria muda yang stabil, dan bertanggung jawab.
Caranya?
Dengan menikahi Dinda. Kartu aman yang bisa dikendalikan lewat ayahnya, Seno.
"Sudah dipikirkan tawaran perjodohan tempo hari? Kamu harus menikah dengan gadis baik-baik untuk pulihkan reputasi. Citra publik Papa selamat, karirmu selamat."
"Pernikahan palsu itu?" Rendra tertawa kering, "Ini bukan sinetron, Pa."
"Ini politik, Rendra. Kamu butuh ini." Brata menyodorkan folder hitam tebal dengan emboss emas di sampulnya. Ia menunjukkan data polling, analisis sentimen media, proyeksi elektabilitas. Semuanya rapi, terukur, tanpa celah.
"Papa sudah ketemu Dinda sekali. Dia cocok. Cantik, kelihatan cerdas, tapi sepertinya tidak dominan. Dia bisa kita jual sebagai simbol 'rakyat biasa yang disandingkan dengan kekuasaan.'"
"Saya nggak tertarik sama pernikahan." Kening Rendra berkerut tidak setuju. Dia suka kebebasannya.
"Kalau gitu posisimu terancam." Brata tersenyum, tapi matanya dingin. "Kamu tahu kan Dewan Eksekutif sudah bergerak? Mereka sedang cari cara untuk ganti kamu. Skandal ini alasan sempurna."
Rendra mengetukkan jarinya di meja.
Benarkah pernikahan konyol ini harus dijalankan? Bisakah ia mengambil keuntungan dari situasi ini?
Ia menghela napas dan berpikir sebentar.
"Apa yang saya dapat kalau pernikahan ini dijalankan?" Tanyanya kemudian.
Brata tersenyum. Tipis, puas.
"Kamu dapat separuh dari total saham preferen Papa di Mandhala. Setelah pemilu tahun depan selesai, kamu bebas kalau mau cerai." Ia berhenti, membiarkan kalimatnya menggantung sebentar.
"Namamu juga akan dibersihkan lewat tim PR khusus nanti. Full media rehabilitation. Podcast, feature di majalah, interview eksklusif. We'll rebuild you." Lanjutnya.
Rendra menarik napas dalam.
Brata sama saja menawarinya madu atau racun, ia tidak punya pilihan sebenarnya. Tapi taruhannya besar. Dengan saham itu, ia akan jadi pemegang saham mayoritas. Kendali penuh atas Mandhala, tanpa intervensi siapa pun termasuk Brata. Bukan materi yang ia kejar. Ia punya lebih dari cukup. Ia cuma mau satu hal, kekuasaan penuh.
Dan gadis itu... Dinda. Dia ingat samar wajahnya saat Brata memperlihatkan fotonya bulan lalu. Mata besar, senyum sopan. Sepertinya tidak berbahaya.
"Saya dapat sahamnya segera setelah pernikahan?" Satu alis Rendra terangkat.
"Kalian harus tampak harmonis dulu, setidaknya sampai pemilu selesai." Brata menatapnya tajam. "Dan perlakukan dia dengan baik. Dia anak Suseno, ajudan pribadi Papa."
"Dia dan keluarganya tau soal kesepakatan ini?"
Brata menggeleng. "Mereka pikir ini perjodohan biasa."
"Jadi saya harus pura-pura?"
"Kamu akan suka. Dia cantik." Kekeh Brata.
Rendra mendengus pelan.
Cantik. Seakan itu cukup.
Tapi baginya ini bukan pernikahan, ini transaksi. Barter kekuasaan. Dinda hanyalah alat untuk mendapatkan keinginannya.
"Okay." Rendra bersandar, menatap ayahnya dengan senyum dingin, "Saya setuju."
Brata mengangguk puas, lalu mengangkat gelas wine-nya. "Smart choice."
...***...
ISTANA NEGARA - RUANG KERJA PRESIDEN
Ruang kerja itu sunyi, hanya terdengar dengung pendingin ruangan. Brata baru saja menutup panggilan dengan Presiden Zhang Wei, saat ia menoleh pada ajudannya.
"Ricky, panggilkan Seno." Katanya dengan suara berat.
Tidak lama kemudian pintu ruang kerja Presiden terbuka pelan.
Kolonel Seno masuk, seragamnya rapi, langkahnya tegas namun hati-hati. Ia menegakkan badan, memberi hormat. "Perintah, Pak?"
Brata menoleh, masih berdiri di balik meja, wajahnya keras setelah percakapan panjang dengan Zhang Wei. "Duduk, Sen. Ini bukan perintah dinas."
Seno menurunkan hormatnya, lalu duduk dengan sikap kaku.
Brata pun duduk di hadapannya. "Rendra sudah saya beri tahu soal rencana perjodohan, dia setuju. Pernikahan itu akan kita jalankan."
Seno menahan napasnya, menunggu.
"Kamu tahu posisi keluargamu kan? Kita sudah lama bekerja sama. Saya anggap ini bukan paksaan, tapi simbiosis. Dinda akan aman dan terjamin. Kalau mereka cocok, bagus. Kalau tidak... anakmu tetap akan dapat bagian yang setimpal. Rumah, jaminan finansial, status." Lanjut Brata.
Seno menunduk, matanya berkedip cepat. Kemudian menyusun kalimatnya hati-hati. "Yang penting, anak saya diperlakukan dengan baik, Pak."
Brata menyandarkan diri ke kursinya, menyatukan jari-jarinya di depan wajah. "Bahagia itu relatif, Sen. Tapi masa depan anakmu akan lebih baik. Lebih dari yang bisa kamu berikan padanya. Dan kamu tahu... keluarga kalian akan lebih aman jika dekat dengan saya. Cukup pastikan dia tidak menimbulkan masalah selama pernikahan mereka."
'Aman'. Ia tau Brata sedang mengancamnya dengan kata itu. Memang ada banyak hal yang bisa dilakukan Presiden pada kolonel sepertinya.
Hening berat memenuhi ruangan. Seno hanya bisa mengangguk. Dilema dengan peran ajudan yang patuh dan ayah yang menelan getir. Dia sangat menyayangi Dinda, tapi tekanan dan iming-iming dari Brata, membuatnya lemah juga.
...***...
dalam hati maksudnya☺️☺️