NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:414
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Grogi karna kedekatan

Rom mencondongkan tubuh sedikit ke depan, senyum tipis masih menggantung di bibirnya. “Ayolah, sayang… kita…” suaranya ringan, setengah menggoda, setengah memohon.

Plak! Tepukan keempat menghantam bahu Rom, suara pukulan keras tapi masih terasa main-main. Rom mengeluh pelan, alis terangkat, mata menatap Elesa setengah terkejut, setengah menahan tawa.

Elesa menatapnya tajam, mata menyala penuh amarah bercampur geli. “Siap untuk pukulan ke seratus?” Nada bicaranya seperti ancaman yang bercampur candaan, gerakan tangannya masih sigap menepuk, bahu Rom yang sudah menegang ikut bergetar sedikit.

Rom menahan napas sejenak, menunduk ringan, bahunya mengejang. “Maksud saya, Bu Elesa… kita juga butuh jet tempur dan pesawat siluman. Siapa tahu musuh punya tank dan…” Suaranya mulai bercanda, nada masih ringan tapi mata sedikit bersinar nakal.

Elesa menatap lurus ke matanya, bibir menipis, tangan mengepal di pinggir meja, tapi ekspresinya jelas—antara kesal dan geli. “Serius! Kumohon serius, Rom!”

Rom menelan ludah pelan, wajahnya menegang tapi tetap mempertahankan senyum tipis. Tangan terangkat sedikit, menenangkan diri, tapi gerakan tubuhnya masih condong mendekat, seakan menunggu pukulan berikutnya. Napasnya berirama, dada naik-turun mengikuti ketegangan malam.

Di sudut ruangan, lampu redup menyorot layar komputer, bayangan mereka menempel di dinding, paralel dengan ketegangan dan permainan yang berlangsung—antara kata, pukulan, dan tatapan mata. Setiap gerakan Elesa, setiap desah dan gestur Rom, saling membalas dalam ritme malam yang intens, penuh ketegangan tapi juga candaan terselubung

Rom menarik napas panjang, matanya sesaat menoleh ke layar komputer, tapi pandangannya tetap terselip pada Elesa. Bibirnya bergerak pelan, mencoba menahan senyum licik yang mulai muncul. “Ayolah, Bu… kalau musuh punya tank, kita butuh lebih dari sekadar roket tangan. Jet tempur… pesawat siluman… itu ide paling masuk akal kan?” Suaranya ringan, tapi ada nada menantang yang samar, seperti menunggu Elesa menyerang lagi—secara verbal atau fisik.

Elesa menatapnya dengan alis terangkat, mata menyala, hampir bisa terasa panasnya dari tatapan itu. Tangan yang tadi mengepal di pinggir meja kini menari sedikit di udara, siap menepuk bahu Rom lagi. “Rom! Jangan bercanda! Aku minta serius sekarang!” Nada bicaranya tegas, tapi ada getar geli yang sulit disembunyikan.

Rom mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya terdengar lebih berat, dada naik-turun mengikuti ketegangan. Tangannya menepuk lembut meja seolah mencari ritme, senyumnya tipis tapi mata tetap menempel di Elesa, membaca setiap gerakan, setiap perubahan ekspresi. “Serius kok… cuma aku pikir… ide ini gila… tapi kita bisa coba, siapa tahu berhasil,” katanya, setengah terselubung bercanda, setengah serius.

Elesa menghela napas panjang, mata menatap lurus, bibirnya menipis, wajahnya memerah samar. Tangan kanannya masih terangkat, menunggu pukulan berikutnya. “Rom… kalau kau lagi-lagi bercanda… aku…” suaranya meninggi sedikit, tapi diikuti tawa ringan yang membuat suasana malam tetap hangat, meski sarat ketegangan.

Bayangan mereka di dinding bergerak paralel—Rom yang sedikit menunduk, bahunya menegang, dan Elesa yang berdiri tegak tapi siap menyerang. Setiap desah, setiap gerakan, setiap tatapan mata seakan menyusun ritme sendiri, menciptakan malam yang intens: campuran ketegangan, permainan kata, dan candaan terselubung.

“Bu! Be… Elesa… yang…” Rom tergagap sebentar saat Elesa menoleh padanya. Ia cepat menelan kata-katanya, menegaskan nada suaranya.

“Kita ga boleh buta. Kita butuh armada udara juga. Mau berapa banyak musuh yang harus kita loloskan? Kita telah meloloskan 8 dari 15 musuh di misi pertama, padahal jumlah polisi dan tentara hampir… empat kali lipat dari mereka! Dari mereka, kita lemah!” Suaranya meninggi, dada naik-turun cepat, gesturnya tegas, tangan menunjuk ke arah monitor di depan mereka.

Marcno cepat mengangkat tangan, mencoba menahan. “Rom, jangan—”

Rom menyela, tatapan matanya tajam, rahang menegang. “Pak, memang nyatanya kita lemah. Pasukan sudah lebih dari lemah, jangan ditambah lemah mesin juga!”

Plak! Pukulan dari Elesa menghantam bahu Rom, membuatnya sedikit terangkat, tapi Rom menghela napas dan menahan senyum tipis yang hampir muncul. “Sampai kapan kita tutup mata, seakan semua sudah cukup? Andai Bapak lihat senjata mereka, itu juga mengerikan. Senjata emas dan silver, laras panjang tampak ringan… Juliar hampir tewas sejengkal dari neraka padahal rompinya yang tertembak!” Suara Rom bergetar, gestur tubuhnya membungkuk ke depan, tangannya mengepal di meja, menunjukkan urgensi pernyataannya.

Marcno menegakkan tubuh, alis berkerut tegas. “Jangan kira kami tidak tahu,” katanya, nada suaranya rendah tapi berat, menandai ketegangan.

Elesa menatap Rom dengan alis mengerut, bibir menipis, tangan mengepal di pinggir meja. “Jangan merasa paling pintar, Rom,” suaranya tajam, penuh disiplin, tapi tatapannya tetap menahan setitik kekaguman pada keberanian Rom.

Marcno mencondong sedikit ke depan, nada seriusnya meninggi. “Masalah ada di armada udara. Jika kau punya rencana, katakan sekarang.”

Elesa menepuk meja pelan, memaksanya fokus. “Bukan komentar yang kami mau. Kami butuh jawaban. Bukan ocehan.”

Rom menarik napas, kedua tangan merentang ke monitor, menunjukkan data yang ia siapkan di layar. “Gampang! Cari data dan bukti mengapa kita butuh helikopter, atau jet juga siluman. Ada beberapa kantor, ruko, dan Semar Mohawk sendiri juga punya CCTV. Tunjukkan pada armada udara, tanyakan apakah mereka akan tepat waktu. Apa darat cukup? Jangan lemot, hal serupa bisa terjadi lagi, mereka bisa kabur lagi!”

Elesa menggeleng, mata menyala tajam, tangannya menunjuk ke arah Rom. “Rom… semua itu teori dan asumsi. Data bisa dicari, tapi apakah armada udara punya waktu? Apakah mereka bisa merespons tepat? Rencana mu terlalu bergantung pada jika-ini-jika-itu. Semua itu kelemahan fatal. Kita butuh solusi yang praktis, bukan ide yang menggantung di udara.”

Marcno menambahkan, wajah serius, tangan di pinggang. “Setuju. Bahkan kalau kita tunjukkan semua CCTV dan bukti, armada udara tetap punya prioritas sendiri. Mereka tidak akan mengirim helikopter hanya karena kita mengusulkan. Tanpa koordinasi, semua rencana mu bisa gagal. Itu kelemahan terbesar.”

Rom menunduk sebentar, menatap monitor, dada naik-turun cepat. Ia tahu kata-kata Elesa dan Marcno benar—tapi di hatinya ada bara kecil, tekad untuk memutar strategi, mencari celah yang bisa ia pakai. Bayangan mereka menempel di dinding, menciptakan paralel visual antara ketegangan yang ada, data di layar, dan permainan kata serta strategi yang berjalan malam itu.

Malam masih menempel tebal di Militaryum Jakarta, udara AC yang dingin berdesir di antara dinding beton tebal, menimbulkan suara samar beradu dengan desah kipas komputer. Lampu putih ruang rapat memantul di permukaan meja kayu mengkilap, bayangan Rom, Elesa, dan Marcno menempel, bergerak mengikuti tiap gerakan tangan dan kepala mereka. Di sudut ruangan, layar komputer memancarkan cahaya biru lembut, menyorot wajah-wajah tegang tapi fokus, menambah kedalaman atmosfer malam yang penuh ketegangan.

Rom berdiri sedikit condong, kaki menekuk, tangan kanan bergerak mengibas-ngibas, menegaskan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap Elesa, bibir menipis tipis, dada naik-turun cepat mengikuti irama napasnya. “Jika mereka tidak turunkan helikopter, seluruh regu bisa bolos misi,” katanya, nada tegas tapi bergetar—campuran frustrasi dan tekad yang terselip di antara senyum tipisnya.

Elesa menoleh, alisnya mengerut, mata memicing sedikit, menahan senyum tipis yang hampir tak sempat muncul. Ia menegakkan punggung, tangan mengepal di pinggir meja, udara AC menempel di kulitnya, memberi sensasi dingin yang kontras dengan panas ketegangan di ruang rapat.

Rom menambahkan, mata menatap lurus ke Elesa, bibirnya menipis, dada tetap naik-turun cepat. “Pak Marcno sendiri yang bilang semua regu sepakat ide ini. Jika mereka tidak dapat apa yang mereka mau, untuk apa mereka menjalankan misi? Mereka tahu pasti gagal.” Tangannya bergerak mengibas-ngibas, setiap gerakan menandai dominasi percakapan malam itu.

Elesa menoleh ke Marcno, mata berbinar sedikit heran dan geli, bibir menipis, tubuh condong ke depan. “Orang ini keras kepala, Pak… kayaknya misi terakhir membuatnya gila.”

Marcno menekankan nada serius tapi setengah bercanda. “Kau benar, El. Akan lebih bagus kalau kita menyembelihnya.”

" sebaiknya........" Elesa hendak menanggapi, tapi Rom cepat menutup mulutnya dengan tangan, Rom mengatakan wajah elesa hingga menatapnya , tatapan mata mereka bertemu—saling menelusuri sisi terdalam masing-masing. Rom mencondongkan tubuh, jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter, udara malam menempel hangat di kulit mereka. “Bicarakan semuanya dengan bantuan ketua tim dan regu ,” ucap Rom. “Kamu… ga bisa bergerak sendiri. Maju atau mundur sendiri? Tidak bisa...... Maju bersama, mundur bersama.”

Elesa mendorong wajah rom, menekan tangannya di pinggir meja, sedikit grogi, tubuhnya menegang, tapi tetap berusaha tenang. Ia menunduk kembali ke layar komputer, jantung berdetak lebih cepat, menyesuaikan irama napasnya.

Marcno menatap tajam, tangan di pinggang, kaki menapak kuat di lantai. “Jelaskan maksudmu. Jangan berhenti bicara sebelum bab berakhir.”

Rom menelan napas, wajah serius, dada naik-turun cepat. “Kita adakan rapat pertemuan… di sini, di gedung Militaryum.”

Elesa gemetaran halus tapi tetap bergeming, jari-jarinya menari di keyboard, mata menempel pada layar.

Rom menatapnya sebentar, lalu berkata dengan nada tegas, “Panggil orang-orang besar Armada Udara Air-Ryum Jakarta ke sini.”

Elesa tetap diam, mata tidak lepas dari komputer, alis sedikit mengerut, udara AC yang dingin menempel di leher dan bahunya.

Marcno mencondongkan tubuh ke depan, tangan di meja. “Kita sudutkan mereka?”

Rom mengangguk, suara mantap. “Tepat.”

Marcno menatap Rom dengan serius. “Apa rencana untuk itu? Apa yang akan kita sampaikan?”

Rom melirik Elesa, mata menyala. “Sepele, ayo bahas. Kumpulkan bukti CCTV, tanyakan hal-hal yang menyudutkan mereka seperti yang kukatakan tadi.”

Marcno menarik napas panjang, bibir menipis. “Lalu kita tegaskan… kenapa mereka tak boleh menolak?”

Rom mencondongkan tubuh lebih dekat, mata menyala menatap Elesa, tangan sedikit mengepal. “Kita ambil buat opsi cadangan, opsi terakhir: tentara menunggu helikopter untuk misi berikutnya.”

Marcno mengerutkan alis, nada suara ragu. “Tapi kita tidak boleh mengatakan kita lemah tanpa mesin udara, walaupun mereka masih menolak.”

Rom mengangkat bahu, senyum tipis nyaris muncul, mata menyala nakal. “Kita minta drone atau yang lain… tapii… emm…”

Marcno menepuk meja, memutus percakapan. “Gada, ga perlu. Aku sudah setuju omonganmu.”

Rom menatap mereka, mata berkaca-kaca sedikit karena semangat, nada ringan tapi tegas. “Ayo, kerjasama.”

Marcno tersenyum tipis, menyerahkan keputusan. “Aku serahkan padamu.”

Elesa tetap sibuk di komputer, jarinya bergerak cepat, tapi sebenarnya hanya mengulir tanpa tujuan jelas. Setiap gerakan, setiap detik diam, ketegangan dan dinamika tubuh mereka terekam, membentuk paralel yang hidup antara strategi, dominasi, dan permainan kekuasaan yang intens.

Udara malam di Militaryum Jakarta tetap pekat, suara AC dan deru kipas komputer beradu dengan detak jantung para tokoh, lampu putih menyorot layar komputer dan bayangan mereka, menegaskan bahwa malam itu bukan sekadar rapat, tapi arena adu taktik, kesabaran, dan pengaruh di tengah ketegangan yang hampir tak tertahankan.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!