Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUTAN UNTUK ERINA
"Aku gak sabar mau lihat reaksi Tante besok, Om," ucap Kemala saat malam itu Tama menyelinap ke kamarnya.
"Hahhaa... Kamu memang paling bisa membuat rencana yang cukup gila. Pastinya Tante kamu itu bakal merah banget kayak kepiting rebus," ucap Tama yang membuat Kemala tertawa pelan. Buru-buru Kemala menutup mulutnya, khawatir Tawa itu terdengar keluar kamar. Bisa-bisa nanti ketahuan Erina jika Tama masuk ke kamarnya.
"Om balik ke kamar gih! Takut ketahuan Tante Erina," ujarnya.
Tama menggelengkan kepalanya. Di kamar itu, mereka tidak melakukan hal yang macam-macam. Tama duduk di kursi belajar Kemala, sementara Kemala duduk di tepi ranjang.
Seperti inilah kebiasaan mereka. Ngobrol hingga larut. Tama akan keluar kamar itu jika sudah memastikan Kemala tertidur dengan tenang dan nyenyak.
Apakah hal itu tidak menggodanya?
Tentu saja.
Siapa yang tidak tergoda berada di dalam satu kamar seperti ini? Namun sebisa mungkin Tama tidak akan
Melakukan hal tak senonoh meskipun ia ingin. Setidaknya untuk sekarang, tidak tahu nanti. Kita tidak akan bisa memastikan kapan iman kita goyah? Dan para saithon itu tentu saja tidak akan menyerah untuk menggoda dua insan yang sedang jatuh cinta.
"Erina jam segini tidur, Mala. Biasanya bangun jam dua atau tiga malam. Biasa lah, teleponan sama selingkuhannya," ucap Tama dengan santai, seolah tak ada beban atau rasa sakit lagi di hatinya.
Kemala benar-benar telah mengobati rasa sakit itu.
"Lho, kok Om tahu?"
"Tahu lah, kan Om suka pura-pura tidur. Om selalu mendengarkan obrolan mereka yang menjijikan itu. Muak sekali rasanya. Ingin secepatnya menendang dia dari rumah ini," ujarnya dengan tatapan berkilat.
"Sabar ya, Om. Mang Asep sedang mengurus semuanya. Kontak pembatalan hak asuh sedang dibuat, notaris akan segera mengabari secepatnya. Biar saja, kita pura-pura buta dengan pengkhianatan Tante Erina. Biar dia menikmati semuanya sebelum Tante menuai karma," ucap Kemala.
Tama tersenyum, tangannya terulur, mengelus pipi gadis itu. "Makin lama kamu makin dewasa, cantik dan sek-si. Ah, andaikan saja tak ada iman, sudah Om makan kamu," ujarnya gemas.
Keduanya terkekeh pelan. Mereka mengobrol hangat di kamar itu. Kemala menceritakan keseruannya di kampus, dimana ia juga mulai berani. Ia tak lagi mau diinjak-injak oleh para mahasiswa sombong itu.
"Kamu cantik, Mala. Sangat cantik. Jangan nakal ya di kampus," ucap Tama memperingatkan dengan wajah serius.
Keesokan hari.
Matahari sore menyelinap pelan ke celah-celah awan, menyinari pekarangan rumah dengan warna jingga keemasan. Udara masih panas menyengat, tapi angin berembus tipis membawa aroma debu jalanan. Dari dalam dapur, Erina mendengar suara mesin mobil yang meraung sesaat sebelum berhenti tepat di depan rumah.
Ia buru-buru melongok ke jendela. Dan seketika itu juga, matanya membelalak.
Sebuah mobil mewah mengilap terparkir gagah di halaman. Warna pink fanta-nya begitu mencolok, seperti permen karet raksasa yang nyaris menyakiti mata siapa pun yang memandang. Mobil itu tampak seperti baru keluar dari showroom, namun jelas sudah dimodifikasi-velg mengkilap, body dilapisi coating yang membuat warnanya makin mencuat.
Langkah kaki ringan terdengar menaiki tangga teras.
"Ish, Om ini. Emangnya aku makanan segala dimakan."
Tak lama, Kemala muncul dengan kacamata hitam bergaya cat-eye dan rambut dikuncir ekor kuda tinggi. Ia membuka pintu dengan senyum lebar yang nyaris menyeringai.
Erina menunggu di ambang pintu, tangan menyilang di dada, ekspresinya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.
"Ya ampun, Mala..." ujarnya pelan, mencoba menata nada suaranya. "Mobilnya bagus banget. Tapi... kenapa harus dimodif warna pink?"
Kemala menurunkan kacamata hitamnya, memandang Erina tanpa berkedip, seakan menyelami tiap inci dari emosi sang tante.
"Memangnya kenapa, Tante?"
Erina menarik napas, mencoba meredam perasaan tak enak yang mengendap sejak semalam.
"Ya nggak apa-apa. Cuman warnanya tuh... mencolok banget. Tante gak suka aja. Kan ini mobil buat antar jemput kamu kuliah."
Senyuman di bibir Kemala melengkung lebar, namun bukan senyum ramah. Ada nada tantangan di baliknya. Ia menyender santai di ambang pintu, kemudian menanggapi dengan nada ringan namun penuh sindiran.
"Lho, ini kan mobil aku, Tante. Aku yang beli, aku yang bakal pakai. Kenapa Tante gak suka?"
Erina langsung terlonjak. Kedua matanya membulat.
"A-apa? Kamu pakai? Bukannya ini mobil buat Tante antar jemput kamu ke kampus? Lagi pula, memangnya kamu bisa nyetir? Kamu harus punya SIM dulu, Mala. Kamu gak bisa asal bawa kendaraan sembarangan," ucapnya dengan nada suara sedikit meninggi, berusaha mempertahankan kontrol.
Tanpa menjawab, Kemala mengeluarkan dompet mungil dari tas kecilnya dan menyodorkan sesuatu ke wajah Erina. "Ini dia, Tante."
Erina mendekat, menatap kartu kecil itu. Dan seketika mulutnya menganga.
"SIM?" gumamnya terkejut.
"Iya, SIM A. Aku udah lancar kok bawa mobil.
Kemarin-kemarin tuh aku cuma malas aja. Sekarang udah waktunya nyetir sendiri, biar gak nyusahin Tante terus," ucap Kemala sambil menyelipkan kembali SIM-nya ke dalam dompet dengan gaya centil.
Erina terdiam. Wajahnya panas. Bukan hanya karena sore yang gerah, tapi juga karena emosi yang membakar dada. Ia merasa seperti dipermalukan oleh keponakan sendiri. Keponakan yang dulu datang dengan suara pelan dan wajah sendu serta penakut itu kini berubah menjadi perempuan percaya diri yang... menantang.
Sementara itu, dari balkon lantai dua, Tama berdiri dengan tangan bertopang di pagar. Ia mengamati percakapan mereka dari tadi, dan ketika melihat ekspresi syok Erina, mulutnya menahan senyum. Bahkan ia sempat
Mengangkat jempol ke arah Kemala diam-diam.
Kemala melihat itu dari ekor matanya, dan senyum licik muncul di wajahnya. Ia sangat puas.
"Oh iya, Tante..." lanjutnya sembari mengatur rambutnya yang ditiup angin sore. "Untuk merayakan mobil baru aku, aku mau traktir makan malam. Kita bertiga aja. Om Tama, Tante Erina, dan aku. Hitung-hitung syukuran kecil-kecilan."
Erina menahan napas.
"Aku mau ajak Om juga, biar lengkap. Tapi ya, kalau Tante kelamaan dandan atau nyiapin ini-itu, aku tinggal ya. Soalnya aku udah booking tempat. Jam tujuh kita jalan. Tante siap-siap ya, jangan sampai aku tinggal," ucapnya sambil berjalan melewati Erina, menyenggol pundaknya pelan.
Ucapannya terdengar ringan, tapi seperti tamparan keras yang telak di wajah Erina. Ia menatap punggung Kemala yang menjauh, matanya membara. Tangan Erina mengepal erat, kuku-kukunya menancap di telapak.
Kemala tidak menoleh ke belakang. Ia melangkah santai menuju kamarnya, membuka pintu sambil bersiul kecil, seolah baru saja memenangkan pertandingan besar.
Tama masih di balkon. Ketika melihat Erina mendongak ke atas dan menyadari keberadaannya, pria itu pura-pura balik badan. Tapi Erina tahu betul ekspresi suaminya tadi-senyum kecil, tatapan geli. Ia marah. Bukan hanya pada Kemala. Tapi juga pada Tama yang
Diam saja, seakan membiarkan semuanya terjadi.
Erina masuk kembali ke dalam rumah. Dadanya masih berdegup keras. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gejolak dalam hatinya. Tapi kalimat terakhir Kemala terus terngiang:
> "Kalau Tante kelamaan, aku tinggal ya!"
"Sialan..." gumamnya pelan, penuh geram. "Berani-beraninya dia bicara seperti itu di rumahku! Kenapa dia jadi berani seperti ini sih? Ckk, ini pasti gara-gara teman-teman baru nya itu!"
Erina menatap jam dinding. Pukul 17:30. Masih ada
waktu untuk memikirkan apakah ia akan ikut atau tidak. Tapi satu hal pasti-Erina takkan membiarkan dirinya terus dipermainkan seperti ini.
Tidak oleh Kemala.
Tidak oleh Tama.
Dan tidak oleh siapa pun.
"Aku harus ikut. Aku gak akan biarin mereka makan malam berdua. Entah kenapa, firasatku rasanya gak enak."
Jarum jam menunjuk ke angka tujuh tepat ketika suara klakson dua kali terdengar dari luar. Erina berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang di-curly itu. Ia mengenakan dress selutut berwarna dusty pink pilihannya malam itu. Meski hatinya panas, ia tetap menjaga
Penampilan. Ia tidak akan membiarkan dirinya terlihat kalah-terutama oleh keponakan yang belakangan semakin menunjukkan taring.
"Tan, udah siap belum? Jangan kelamaan, nanti Om-nya bete nungguin," teriak Kemala dari luar sambil menyalakan mesin mobilnya yang berwarna pink fanta terang, mencolok bagaikan permen kapas di tengah malam gelap.
Erina menarik napas panjang. Ia turun dengan langkah anggun meskipun di dalam dadanya badai tak berhenti mengamuk. Begitu keluar rumah, ia melihat Tama sudah duduk di kursi penumpang depan, tersenyum tipis ke arahnya.
"Kamu nyetir, Mala?" tanya Erina sambil masuk ke bangku belakang.
Kemala menoleh dari balik kaca spion, menampilkan seringai kecil. "Iya dong, Tante. Sekalian latihan biar makin lancar. Toh mobilnya aku yang beli, masa gak bisa aku pakai sendiri?"
Erina hanya mendesah lirih, mencoba menelan amarahnya. 'Sial, kenapa aku seperti pembantu? Kemala dan Mas Tama di depan. Ckk, aargghh... Mas Tama juga nyebelin banget sih. Kenapa gak duduk di belakang coba?'
Erina terus bergerutu dalam hati. Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya, Tama pun buka suara.
"Aku duduk di depan ya, Rin. Aku masih ragu nih sama Kemala. Khawatir terjadi apa-apa, kan nanti aku
Langsung sigap," ujarnya beralasan.
Erina hanya tersenyum, namun jelas dari senyumannya itu, ia merasa tidak nyaman.
Perjalanan menuju restoran berjalan dalam keheningan. Hanya suara musik pelan dari speaker mobil yang mengisi ruang. Lagu pop manis mengalun, namun terasa sumbang di telinga Erina. Ia sibuk menahan tatapan ke arah Tama yang tampak sangat santai, seolah semua ini normal.
Di pertengahan jalan, Tama dan Kemala mengobrol akrab. Obrolan mereka seputar tentang modifikasi mobil. Tama terus memuji Kemala yang sangat pandai memodifikasi. Tidak menyangka jika gadis kampung itu, kini menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pewaris. Dan mulai sekarang, tidak ada yang bisa meremehkannya lagi, termasuk tantenya sendiri.
Erina benar-benar seperti seekor nyamuk. Mereka seolah tidak menganggap dirinya ada. Erina ingin marah, tapi tidak bisa. Tama adalah suaminya, sementara Kemala adalah keponakan yang menjadi sumber keuangannya. Kemala adalah ATM berjalan, dan Erina ingin menguasainya.
Setibanya di restoran, pelayan menyambut mereka dengan ramah. Kemala dengan percaya diri meminta tempat yang sudah ia booking: sudut ruangan dengan lampu gantung temaram dan pemandangan taman kecil yang cantik.
"Spesial malam ini ya," ucap Kemala saat duduk. "Aku mau traktir Om dan Tante. Sebagai rasa syukur karena akhirnya aku bisa melalui semua ini. Tanpa dukungan kalian, entah bagaimana aku bisa bangkit lagi."
"Sama-sama, Mala. Kamu wanita hebat," puji Tama sambil tersenyum lembut.
Erina hanya tersenyum hambar. Entah mengapa suasana hatinya benar-benar kacau. Ia yang membawa Kemala ke rumahnya, tapi sekarang dia merasa Kemala mulai bertindak seenaknya.
Pelayan datang membawakan menu. Kemala memesankan menu terbaik untuk Tama, bahkan sampai memilihkan minumannya. Erina melihat itu dengan mata tajam, namun memilih diam.
"Om suka steak yang medium well, kan?" tanya Kemala dengan nada lembut.
Tama mengangguk. "Iya. Wah, Mala hafal."
Erina menyela, nadanya datar namun tajam. "Luar biasa ya. Sampai tahu selera suami Tante."
Kemala menoleh, menatap Erina dengan senyum sejuk namun dingin. "Ya iyalah, Tan. Aku tinggal satu rumah sama Om Tama. Masa gak tahu sih?"
Tama tersedak kecil mendengar nada percakapan yang mulai naik tensinya. Ia meneguk airnya cepat-cepat, pura-pura tidak mendengar.
Obrolan berganti topik ke kuliah, namun Kemala
Terus menyisipkan pujian-pujian pada Tama. Ia menceritakan bagaimana Tama selalu membantunya, memberi nasihat, bahkan mencarikan referensi jurnal untuk tugas akhir.
"Tante tahu gak, Om Tama tuh bener-bener kayak dosen pembimbing bayangan. Aku sering curhat soal tugas, bahkan hal pribadi," ucap Kemala sambil memandang Tama dengan tatapan dalam.
Erina mengangkat alis. "Oh ya? Curhat hal pribadi?"
Kemala mengangguk santai. "Iya. Soal cowok-cowok brengsek, soal mantan, soal laki-laki yang cuma modal tampang tapi gak punya otak..."
Tama tertawa kecil, mencoba membuat suasana lebih ringan. Tapi di sisi lain, ia merasakan kedua wanita di hadapannya sedang adu siasat seperti pemain catur.
Erina tersenyum manis, lalu membalas.
"Kalau begitu, Tante juga harus cerita. Soal perempuan-perempuan muda yang kelihatannya polos tapi diam-diam pandai memikat suami orang. Kamu tahu gak, Mala, kadang yang pakai baju rapi, senyum manis, pura-pura manja itu justru yang paling bahaya?"
Kemala meletakkan garpu dengan pelan. "Mungkin Tante benar. Tapi bisa juga, perempuan tua atau ibu rumah tangga yang sok sibuk, selalu terlihat manis di depan, dan bertindak seperti istri yang baik, ternyata diam-diam selingkuh. Banyak sih sekarang, tuh seperti kasus-kasus viral di tok-tok, banyak para istri yang
Selingkuh dari suaminya. Ih ngeri deh."
Diam. Suasana meja makan tiba-tiba hening. Hanya terdengar bunyi musik restoran dan suara sendok dari meja lain.
Tama yang merasa suasana memanas, segera tertawa kering. "Eh... makanannya enak ya. Gak sia-sia Mala pilih tempat ini."
Kemala langsung mengangkat gelasnya. "Cheers untuk Om Tama yang sabar dan baik hati. Untuk Tante juga."
Erina dengan malas juga mengangkat gelas, matanya tajam menatap Kemala. "Dan untuk keponakan Tante yang sudah banyak mengalami perubahan. Tante salut, benar-benar kamu cepat belajar."
Kemala menyesap minumannya pelan. "Makasih, Tante. Kan aku banyak belajar dari Tante juga."
Makan malam ditutup dengan pencuci mulut yang manis-berbanding terbalik dengan suasana hati Erina. Kemala tampak sangat puas. Tama hanya bisa menghela napas diam-diam, namun ia tersenyum senang. Kemala benar-benar berhasil membuat tantenya mati kutu dan terlihat bete sepanjang makan malam berlangsung.
Mereka berjalan menuju parkiran. Kemala tersenyum. Ia membuka pintu mobil dengan gaya santai.
Erina makin geram. Dalam hatinya membatin, 'Orang kampung aja belagu. Aku harus cari cara supaya hak waris
Itu bisa secepatnya diambil alih. Kalau aset milik Kang Subagja sudah menjadi milikku, tentu saja aku akan membuangnya bagai sampah. Kemala cuman orang kampung, gak cocok tampil sok mewah kayak gitu!'
Angin malam menyusup lewat celah jendela kamar.
Erina duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya di cermin.
Tama muncul dari kamar mandi, mengenakan kaos tipis dan celana tidur. Ia mengusap rambutnya yang basah sambil melirik istrinya. "Belum tidur?"
Erina menoleh. "Mas..."
Tama duduk di sisi ranjang, menarik selimutnya lalu menyandarkan tubuh ke bantal. "Kenapa? Kelihatan banget dari tadi kamu kayak gak tenang."
Erina menarik napas dalam. "Mas... aku cuma mau ngomong sesuatu. Soal Kemala."
Tama mendesah pelan, matanya setengah terpejam. "Ada apa dengan kepala?"
Erina menatapnya serius. "Aku merasa dia sudah terlalu berubah. Terlalu berani. Dan... kamu terlalu memanjakannya."
Tama mengangkat alis, duduk tegak. "Lho, kan dulu kamu sendiri yang minta aku perhatiin dia. Katanya supaya dia gak merasa sendirian, biar dia betah di sini."
"Iya, aku tahu. Tapi bukan berarti kamu harus se-dekat itu, Mas. Aku gak suka cara dia bicara, cara dia menatapmu. Dia bukan anak kecil."
Tama tertawa miring. "Kamu cemburu?"
Erina mengalihkan pandangan. "Aku... aku hanya merasa ada yang berubah. Kamu sekarang bahkan lebih sering ngobrol sama dia daripada sama aku."
Tama berdiri, berjalan menuju lemari, seolah tidak mau melanjutkan pembicaraan. "Jangan berlebihan, Rin.
Kemala itu keponakan kamu. Masa kamu curiga hal-hal aneh?"
"Tapi kamu juga terlalu membela dia! Setiap kali aku bilang sesuatu tentang Kemala, kamu selalu pasang badan.
Kenapa, Mas? Ada apa sebenarnya?"
Tama menghela napas, menutup pintu lemari dengan sedikit keras. "Kamu lelah, Rin. Sudah, tidur aja. Nanti pagi juga hilang sendiri pikiran anehmu itu."
Ucapan itu menohok. Erina memalingkan wajah, matanya berkaca. Ia ingin Tama memeluknya, meyakinkannya, memberinya rasa aman. Tapi yang ia dapat hanya dinginnya jarak dan penyangkalan.
Malam itu, Erina pura-pura tidur.
Ia membiarkan tubuhnya berbaring membelakangi Tama, matanya terpejam namun telinganya siaga. Jam dinding berdetak lambat. Setelah beberapa lama, ia mendengar suara gesekan halus-suaminya bangkit dari
Ranjang.
Erina menahan napas, hanya membuka matanya sedikit. Dalam cahaya remang lampu tidur, ia melihat suaminya berjalan pelan keluar kamar.
Jantung Erina berdegup cepat. Ia mulai mencurigai suaminya.
Beberapa menit berlalu, Erina bangkit perlahan.
Kakinya melangkah ringan, mengikuti jejak suaminya menuruni tangga. Rumah sunyi, hanya ada suara kipas angin dari dapur.
Saat tiba di ujung tangga, Erina bersembunyi di balik tembok. Cahaya dapur temaram, tapi cukup jelas untuk menangkap dua sosok yang berdiri terlalu dekat.
Tama.
Kemala.
Mereka tertawa pelan. Lalu Kemala menyentuh lengan Tama, dan pria itu tidak menolak. Bahkan membalas.
"Om, aku senang sekali hari ini" bisik Kemala, suaranya lembut namun menggoda.
Tama menyentuh pipinya. "Aku juga senang, Mala."
Mereka saling mendekat, sangat dekat.
Erina mencengkeram dinding. Napasnya memburu.
Dan kemudian...
Ciu-man itu terjadi.
Tama menunduk, bibirnya menyentuh bibir Kemala dengan pelan, lalu semakin dalam. Kemala melingkarkan tangan di leher Tama, membalas dengan penuh ga i rah.
Erina menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Matanya memanas, tubuhnya bergetar hebat.
Tidak.
Ini tidak nyata.
Tapi sayangnya, itu nyata. Sangat nyata. Tepat di depan matanya, suaminya dan keponakannya-berkhianat di tengah malam buta.
Air matanya jatuh, namun ia tetap diam. Tidak ingin suara tangisnya membangunkan kenyataan yang lebih menyakitkan.
Tubuhnya perlahan mundur. Kakinya nyaris lemas. Ia tidak tahu harus bagaimana, tapi satu hal pasti: malam ini, hatinya hancur berkeping-keping.
Meskipun dirinya sendiri berselingkuh dari Tama, namun merasakan sendiri bagaimana dikhianati ternyata rasanya begitu sakit.
Sangat sakit.