Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahap Jiwa Lemah
Malam itu jatuh dengan berat, seakan langit sendiri malas menurunkan cahaya. Bulan hanya separuh, tersembunyi di balik awan kelabu, memberi penerangan samar yang nyaris tak berguna. Angin berhembus menusuk, menembus celah dinding bambu yang sudah rapuh, hingga membuat gubuk reyot itu berderit seakan menjerit.
Di sudut gubuk itu, seorang lelaki duduk bersila di atas tikar lusuh. Wajahnya pucat, matanya cekung, rambutnya acak-acakan. Lelaki itu adalah Al Fariz—nama yang dulu diagungkan, tapi kini hanya sisa dari kehormatan yang runtuh.
Di depannya, sebuah mangkuk tanah liat berisi air bening. Ia menatapnya lama, seakan air itu menyimpan seluruh beban dosanya. Tangannya bergetar ketika ia menyentuh permukaan dingin air itu.
“Jiwa lemah… ya, memang itulah diriku sekarang,” bisiknya lirih.
Ia mencoba mengatur napas, mengingat kembali potongan-potongan ajaran dasar yang dulu pernah ia dengar—ajaran yang dulu ia anggap remeh. Baginya, dulu teknik kultivasi tingkat rendah hanyalah untuk orang miskin yang tak punya bakat. Ia menertawakan mereka, menolak membuang waktu. Tapi kini, setelah ia jatuh ke titik terendah, ia hanya punya satu pilihan: memulai dari nol.
Sementara itu, di pojok lain gubuk, seorang anak kecil berbaring di atas tikar yang bahkan lebih tipis dari kain usang. Tubuhnya kurus, tulangnya menonjol, tapi matanya menyimpan cahaya polos yang tidak bisa dipadamkan dunia. Anak itu—Arif namanya—menatap Al Fariz dengan penasaran.
“Bang Fariz…” suaranya pelan, agak serak. “Kenapa abang menatap air terus? Mau minum, ya? Kalau mau, Arif bisa bagi sedikit roti kering ini.”
Al Fariz menoleh. Ada sekilas senyum getir di bibirnya. Anak kecil itu benar-benar tidak tahu apa-apa, tapi justru kepolosannya yang membuat hati Al Fariz terasa disentuh.
“Bukan, Arif. Abang… sedang mencoba sesuatu.”
Arif mengangkat alis, duduk mendekat, menyeret tubuh kecilnya hingga sampai di samping Al Fariz. Ia menatap air dalam mangkuk dengan penuh minat.
“Mencoba apa? Main sulap? Bisa bikin air jadi manis, gitu?” tanyanya dengan polos.
Al Fariz tertawa hambar. “Andai sesederhana itu.”
Ia kembali menutup mata. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia mencoba merasakan aliran udara, detak jantung, dan getaran kecil dalam tubuhnya. Inilah inti dari teknik dasar itu: menyadari keberadaan diri sendiri.
Namun, yang datang pertama kali bukanlah ketenangan, melainkan rasa sakit.
Hinaan, ejekan, kutukan—semua berputar dalam kepalanya.
“Al Fariz, sombongmu akan menjatuhkanmu!”
“Kau hanya tahu membusungkan dada, tapi kosong di dalam!”
“Layaklah kau jatuh, tak ada yang mau menolongmu lagi!”
Suaranya bergema, menyayat hati. Dadanya sesak, keringat dingin mengalir di pelipis.
Arif yang duduk di sampingnya menatap bingung. “Bang… abang kenapa? Kok wajahnya kayak mau nangis?”
Al Fariz membuka mata perlahan, menatap bocah itu. Ada rasa malu yang menyesak. Dulu ia seorang yang ditakuti dan dihormati. Kini ia duduk di gubuk reyot, ditemani bocah miskin yang bahkan tidak tahu apa itu kultivasi.
“Arif… abang sedang melatih hati. Kadang… sakitnya lebih parah dari luka di badan.”
Anak kecil itu mengangguk-angguk, meski jelas ia tak paham sepenuhnya. “Kalau hati sakit, biasanya ibu dulu nyuruh aku nyanyi. Katanya biar lupa. Mau Arif nyanyi, Bang?”
Al Fariz tertegun. Tawaran itu begitu sederhana, tapi terasa tulus. Ia mengangguk pelan. “Boleh.”
Arif pun menyanyi pelan, lagu rakyat yang tak asing di telinga. Suaranya sumbang, terkadang fals, tapi justru kejujurannya menusuk lebih dalam. Seiring nyanyian itu, dada Al Fariz terasa sedikit lebih lapang. Ia menutup mata lagi, kali ini mencoba mengalirkan perasaan sakit itu, bukannya melawannya.
Waktu berjalan. Angin malam makin dingin, tapi Al Fariz tetap duduk bersila. Sesekali tubuhnya gemetar, sesekali ia menghela napas panjang. Ia mencoba mengingatkan dirinya: rasa sakit ini adalah bagian dari latihan.
Arif akhirnya tertidur bersandar di bahunya, mulut kecilnya masih setengah terbuka. Al Fariz menoleh sebentar, lalu tersenyum samar. “Bocah ini… bahkan dalam tidurnya tetap jadi penghibur.”
Ia kembali menatap mangkuk air. Dan saat itu, untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu.
Bukan besar, bukan dahsyat, hanya seperti bara kecil yang nyaris padam—tapi ada.
Sebuah kehangatan samar muncul dari dalam dadanya, menjalar perlahan ke seluruh tubuh. Ia tertegun. Air dalam mangkuk bergetar sedikit, meski tidak ada angin.
“Ini… apa?” suaranya gemetar.
Ia sadar: inilah bibit pertama dari jiwa yang lemah. Sesuatu yang dulu ia anggap remeh, kini justru menjadi pijakan pertamanya untuk bangkit kembali.
Al Fariz menggenggam tangannya erat-erat, matanya berkilat. “Aku mungkin lemah. Tapi bahkan jiwa lemah… tetap bisa tumbuh.”
Malam itu, di gubuk reyot bersama anak miskin yang tertidur pulas, langkah baru Al Fariz dimulai. Bukan langkah besar, bukan pula kemenangan, tapi sebuah awal—dan awal itulah yang paling penting.