Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2.
Setelah makan malam selesai lanjut mengobrol ringan di ruang tengah. Di saat yang lain sedang mengobrol, Za justru lebih banyak diam, sibuk dengan pemikirannya sendiri. Malam ini kedua orang tuanya pasti akan memintanya tidur sekamar dengan Mahardika.
"Za..." seruan ayahnya sekaligus membangunkan Zaliva dari lamunannya.
"Iya, pah."
"Jika kamu sudah mengantuk kembalilah ke kamar, dan jangan lupa ajak suami kamu sekalian, nak!."
Deg.
Baru juga dipikirkan, sekarang sudah terealisasikan, ayahnya meminta Za mengajak Mahardika beristirahat di kamarnya.
Dika yang duduk di samping Za memilih diam saja, yakin jika Za pasti akan menolak.
Zaliva beranjak dari duduknya. "Ayo, mas!." diluar ekspektasi. Bukannya menolak, Za justru mengajak Mahardika untuk beristirahat di kamarnya.
Tanpa menjawab ajakan Za, Mahardika pamit pada yang lainnya untuk kembali ke kamar lebih dulu.
Setibanya di kamar, Za hanya diam saja hingga Mahardika pun mencekal pelan lengan gadis itu.
"Kalau tidak suka, lalu kenapa mengajakku tidur di kamar ini?."
"Kamu pikir aku bisa menolak perintah papa, apalagi di depan bang Faras?." Jika sebelumnya Za berkata dengan nada ketus, malam ini intonasi Za terdengar pelan namun Mahardika bisa merasakan aura penolakan dari sorot mata istrinya itu.
Mahardika melepas cekalan tangan pada lengan Za, kemudian berlalu mengambil sebuah bantal di atas tempat tidur dan berlalu ke arah sofa. Za yang melihat tindakan Mahardika tersebut hanya diam saja, tak ada niatan di hati Za untuk menghentikannya, apalagi sampai mengajak suaminya itu berbagi tempat tidur dengannya.
Sesaat kemudian, Za pun merebahkan tubuhnya telentang di atas tempat tidur, menutupi tubuhnya dengan selimut hingga sebatas perut.
"Kenapa kamu ingin mengajakku ikut bersamamu?." tanya Za, tahu bahwa Mahardika belum tidur.
"Karena sekarang kamu adalah istriku." jawaban yang sangat masuk di akal terucap dari mulut Mahardika, namun akal Za tetap saja tidak terima dengan jawaban tersebut.
"Tapi kita tidak saling mencintai, dan kita menikah hanya karena desakan warga, Lalu kenapa kamu bersikap seolah-olah kita menikah karena saling menginginkan?."
Sontak saja Mahardika mengalihkan pandangannya pada Za, dan tatapan Mahardika kali ini mampu menciutkan nyali Zaliva.
"Mau tidak mau, suka tidak suka, besok kamu tetap harus ikut bersamaku kembali ke jakarta." Ucapan Mahardika masih terdengar pelan namun terkesan tegas. Padahal sejak dahulu bahkan beberapa detik sebelum mereka resmi menikah, Za tak pernah merasa segan membantah atau bahkan menentang Mahardika, tapi hari ini Za hanya bisa menggerutu kesal dalam hati.
"Apa nantinya kamu juga akan menuntut hakmu sebagai seorang suami?." Setelah terdiam untuk waktu yang cukup lama, Za kembali bersuara dengan melontarkan pertanyaan yang mampu membuat Mahardika menghela napas panjang dibuatnya.
"Aku hanya ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan semestinya, termasuk Memberikan nafkah lahir dan batin untuk istriku, apa itu salah?."
Deg.
Za tidak bodoh untuk mengartikan jawaban Mahardika, di mana secara tidak langsung pria itu memberi jawaban iya.
"Bukan masalah salah atau tidak, Dik _maksudnya mas Dika, tapi faktanya kita tidak saling mencintai lalu kenapa harus melakukannya?." Za langsung mengoreksi panggilannya, jangan sampai Mahardika mengadu pada ayah dan juga abangnya. Sebenarnya Za berat hati memanggil Mahardika dengan sebutan mas, mengingat ia lahir beberapa jam sebelum pria itu, tapi mau bagaimana lagi itu perintah dari ayah dan juga abangnya, Za hanya bisa mematuhinya.
"Bukankah kamu punya banyak kekasih, lalu kenapa tidak melakukannya dengan mereka saja, kenapa harus berencana melakukannya denganku." Imbuh Za dan kali ini Mahardika tak lagi memberikan respon apapun, pria itu diam saja.
Mungkin karena terlalu lelah memikirkan berbagai macam kemungkinan yang bisa saja terjadi di dalam kehidupannya kedepannya nanti, Za pun akhirnya terlelap. Mahardika yang tak dapat memejamkan matanya lantas bangun dari posisinya, mendekati ranjang, memperbaiki posisi selimut yang menutupi tubuh istrinya itu.
Mahardika mengulas senyum ketika teringat setiap kali Zaliva menyebutnya lelaki buaya darat. "Memangnya kamu tau dari mana kalau aku ini lelaki buaya darat." lirihnya.
Keesokan paginya.
Saat Mahardika pergi, hendak menyelesaikan urusannya di kota ini sebelum kembali ke jakarta, Za menemui ayah dan ibunya di kamar.
Setelah mengetuk pintu dan mendapat sahutan dari dalam, Za pun memutar handle pintu kamar ayah dan ibunya.
"Za ganggu nggak mah.... ?."
"Tentu saja tidak sayang, masuklah!." kata mama Thalia. Sementara papa Rasya yang tengah duduk di balkon kamar langsung beranjak mendengar suara Zaliva.
"Ada apa, sayang?." Mama Thalia bertanya dengan nada lembut. mengajak Za duduk di sofa kamarnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Za?." sambung mama Thalia. Sebagai seorang ibu, naluri mama Thalia mengatakan bahwa putrinya itu ingin mengatakan sesuatu.
"Apa boleh Za menolak ikut bersama mas Dika ke Jakarta? Za masih ingin tinggal di rumah ini, lagipula Za juga bekerja di kota ini, mah...pah...." pinta Za dengan tatapan nanar, berharap kedua orang tuanya mengerti dengan perasaannya.
"Nggak bisa begitu nak, sekarang kamu sudah menjadi istrinya Dika dan seorang istri sudah seharusnya berada di samping suaminya, nak." Papa Rasya mencoba memberi pengertian pada putrinya itu akan kewajiban seorang istri.
"Apa yang papa katakan benar sayang." Mama Thalia turut mendukung perkataan suaminya.
Kedua bola mata indah milik Za sudah nampak berkaca-kaca. "Apa papah dan mamah sudah nggak sayang sama aku sampai ingin aku pergi jauh?."
Mama Thalia sontak menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan begitu maksud mamah dan papah, anakku sayang. Papah dan mamah hanya ingin kamu menjadi istri yang baik dengan ikut kemanapun suami kamu pergi, sayang. Kasih sayang papah dan mamah tidak pernah berubah untuk kalian, kami hanya tidak ingin putri kami menjadi istri durhaka karena tidak menurut kepada suaminya, Zaliva." Mamah Thalia tak sanggup membendung air matanya. Sebagai seorang ibu tentunya mama Thalia sangat memahami perasaan putrinya, tapi ia tidak punya pilihan lain, Selain mendukung keputusan suaminya.
"Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian, nak."
"Maafkan Za, mah....pah...." Melihat ibunya menitihkan air mata, Za pun merasa bersalah karena sudah berpikir kedua orang tuanya tak lagi menyayangi dirinya sehingga mengizinkan Mahardika membawanya pergi jauh.
Sepeninggal putrinya, tangis mama Thalia pun pecah tak tertahankan.
"Sebentar lagi putriku akan pergi meninggalkan kota ini." gumamnya di sela tangis.
Papa Rasya merengkuh tubuh istrinya. "Sayang.... bukankah kau bersahabat baik dengan Riri, percayalah sahabat baikmu itu pasti akan menjaga putri kita dengan baik. Selain itu, mas Okta juga bukan hanya ayah mertua bagi Za, tapi juga paman baginya. Jadi, berhentilah berpikir negatif! Sebaiknya kita sama-sama berdoa agar Za dan Mahardika secepatnya saling menerima satu sama lain, menerima pernikahan mereka sebagai jalan takdir." Papa Rasya berusaha bersikap tegar dihadapan sang istri walaupun faktanya hati pria itu tak kalah sedihnya dibanding sang istri.
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...