NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:807
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA

Pagi itu rumah besar terasa lebih sunyi dari biasanya. Pelayan bergerak pelan, seakan takut menimbulkan suara. Amara turun ke ruang makan dan mendapati Bagas sudah siap berangkat kerja. Setelan abu-abunya rapi, jam tangan mengilap di pergelangan. Ia hanya menatap singkat sebelum melipat koran.

“Kau akan ke kampus?” tanya Bagas.

“Ya,” jawab Amara. “Aku juga ingin mencari tahu soal foto itu.”

Bagas mengangguk tipis. “Jangan sendirian kalau harus ke tempat yang asing. Aku minta Arman menunggu di parkiran kampus.”

Amara sempat heran. “Arman?”

“Koordinator keamanan.” Bagas berdiri, merapikan jas. “Jika kau butuh sesuatu, minta bantuannya.”

Ucapan itu singkat, tetapi terasa seperti jembatan kecil yang dibentangkan setelah hari-hari dingin. Amara mengangguk. “Terima kasih.”

Mobil hitam membawa Bagas pergi. Amara menatap sisa uap kopi di cangkirnya, lalu menggenggam ponsel. Hari ini ia tidak mau hanya bertahan. Ia ingin mencari bukti.

Di kampus, sinar matahari menimpa ubin koridor dan memantulkan bayangan langkah-langkah mahasiswa. Amara berjalan cepat ke satpam pos timur. Pak Iwan, pria paruh baya yang sering menyapanya dulu, menegakkan badan ketika melihatnya.

“Selamat pagi, Bu Amara,” katanya canggung. “Ada perlu?”

Amara menenangkan diri. “Pak Iwan, kemarin ada kurir datang ke gerbang membawa amplop untuk rumah Atmadja. Bapak sempat lihat pengirimnya?”

Pak Iwan menggaruk kepala. “Kalau kemarin pagi, saya jaga di barat. Tapi saya ingat setelah Zuhur ada perempuan minta alamat kantor yayasan, pakai mobil putih kecil. Dia tidak masuk, hanya berhenti di luar lalu telepon seseorang. Ciri-cirinya pakai gelang mutiara, kuku dicat merah.”

Ciri itu menyalakan lampu kecil di kepala Amara. Gelang mutiara dan kuku merah mengingatkannya pada Risa, asisten pribadi Meylani, yang selalu tampil mencolok saat datang ke rumah.

“Bapak tahu mobilnya?” tanya Amara.

“Platnya saya tidak hafal. Tapi di seberang gerbang ada kios fotokopi yang juga melayani cetak foto. Mungkin mereka lihat.”

Amara mengucapkan terima kasih dan menyebrang. Kios itu sempit, dibatasi etalase berisi kertas dan tinta printer. Di balik meja, seorang pemuda berkacamata menatapnya ramah.

“Mau print, Kak?”

“Saya ingin bertanya.” Amara menunjukkan selembar foto yang disimpannya semalam. “Cetakan seperti ini, apa dikerjakan di sini kemarin?”

Pemuda itu memandangi hasil cetak, lalu mengetuk layar komputernya. “Banyak yang cetak tipe ini. Tapi kalau siang kemarin, ada pelanggan perempuan. Rambut dikonde, pakai jam tangan brokat, velg mobilnya kecil, kayak city car. Dia minta cetak ukuran delapan R, glossy. Ini nota cadangan, kami simpan sepuluh hari.”

Amara menahan napas. “Bisa saya lihat?”

Pemuda itu mengeluarkan buku nota. Ada cap kios, waktu, dan empat digit akhir nomor ponsel pelanggan. Ia memperlihatkan kertas itu. “Maaf, kami tidak bisa berikan data pribadi. Tapi kalau hanya foto untuk catatan, boleh.”

Amara memotret nota bersama cap waktu. Angka waktunya mendekati jam ketika satpam melihat perempuan dengan gelang mutiara. Rasa takutnya bergeser menjadi tekad.

“Terima kasih. Ini untuk ongkos repotnya.” Ia menyelipkan uang tip. Pemuda itu menolak, tapi Amara memaksa dengan senyum. “Tolong jaga catatan itu baik-baik.”

Di luar, angin siang membawa bau aspal panas. Arman, pria bertubuh tegap dengan raut datar, berdiri di dekat sedan hitam.

“Bu Amara,” sapa Arman. “Pak Bagas menyuruh saya mendampingi.”

Amara menunjukkan foto nota di ponselnya. “Bisa tolong cek empat digit nomor ponsel ini? Kalau masuk ke buku tamu rumah Atmadja atau kantor, kabari saya.”

Arman menimbang sebentar. “Saya tidak bisa akses data pribadi tanpa perintah Pak Bagas. Tapi saya bisa menyampaikan temuannya pada beliau secepatnya.”

“Baik.” Amara tak memaksa. “Satu hal lagi. Di rumah ada asisten bernama Risa. Hari ini apakah dia datang?”

Arman mengangguk pelan. “Saya cek jadwal kendaraan. Nanti saya kabari.”

Amara menatap gerbang kampus. Ia ingin sekali masuk kelas dan berpura-pura semua baik-baik saja, tetapi ada sesuatu yang harus ia selesaikan dulu. Ia menyalakan ponsel, menulis pesan singkat pada Bagas.

Aku menemukan petunjuk sumber cetakan foto. Nanti malam bisa bicara sebentar.

Pesan terkirim. Tidak ada balasan. Amara memasukkan ponsel ke tas dan melangkah ke perpustakaan. Jika ia akan melawan, ia harus tetap memastikan kuliahnya tidak berantakan. Ia meminjam dua buku, menyalin referensi, dan dengan disiplin memisahkan hidup pribadinya dari tugas akademik, setipis apa pun garisnya.

Menjelang sore, pesan masuk dari Arman.

Nomor ponsel di nota cocok dengan ponsel cadangan milik Risa. Ada log panggilan keluar menjelang jam dua siang kemarin. Saya sudah informasikan ke Pak Bagas.

Amara menatap layar beberapa detik. Rasanya seperti menemukan ujung benang di sarang yang kusut. Ia membalas singkat, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pulang.

Di rumah, langit menggantung rendah. Ruang tamu harum melati, tetapi udara dingin menggigit. Meylani duduk santai, membaca majalah. Risa berdiri di belakangnya, wajahnya terlatih untuk selalu tersenyum.

Amara tidak berhenti. Ia menuju tangga. Baru beberapa anak tangga, suara Meylani menahan langkahnya.

“Kau dari kampus atau dari tempat lain?”

“Dari kampus,” jawab Amara tanpa menoleh.

“Bagus. Jangan lupa, rumah ini tidak butuh istri yang hobi jalan dengan pria lain.”

Amara menoleh perlahan. “Rumah ini juga tidak butuh orang yang menjebak keluarga sendiri.”

Senyum di bibir Meylani meretih. Risa menunduk, jemarinya saling meremas.

“Apa maksudmu?” tanya Meylani ringan.

“Tidak ada. Hanya pengingat.” Amara menaiki sisa tangga. Di puncak, Arman berdiri seolah kebetulan. Ia mengangguk kecil, memberi sinyal singkat agar Amara menunggu di kamar.

Lima belas menit kemudian, pintu kamar diketuk. Bagas masuk bersama Arman. Raut Bagas tampak letih, tetapi tatapannya jernih.

“Aku sudah dengar dari Arman,” ucap Bagas. “Kau bergerak cepat.”

Amara menunjukkan foto nota. “Waktunya cocok dengan keterangan satpam. Dan hari itu, seseorang dengan gelang mutiara ada di depan gerbang. Saya duga Risa.”

Arman menambahkan, “Nomor cadangan sesuai. Saya tidak mengeksekusi lebih jauh. Perintah menunggu.”

Bagas menatap Amara. “Kau ingin bagaimana?”

Pertanyaan itu membuat Amara mengendap sebentar. Ini pertama kalinya ia diminta menentukan langkah di rumah ini.

“Jangan ributkan di depan orang. Panggil Risa besok pagi. Minta ia menjelaskan. Kalau terbukti, pindahkan posisinya jauh dari akses informasi, tanpa membuatnya merasa dibuang. Jika kita memecatnya sekarang, ia bisa lari ke media.”

Bagas mengangguk pelan. “Masuk akal.”

Arman mencatat. “Saya siapkan pemanggilan internal.”

Amara menatap Bagas. “Ada satu lagi. Aku ingin mengisi halaman yayasan dengan kegiatan baru. Kelas desain untuk anak sekolah. Kita butuh narasi yang lebih baik daripada gosip.”

“Kau yang pimpin?” tanya Bagas.

“Ya. Aku tidak mau hanya jadi sasaran. Aku ingin bekerja.”

Bagas menahan senyum yang nyaris tak terlihat. “Persiapkan konsep, anggaran, dan jadwal. Kirim ke kantor yayasan malam ini.”

Arman pamit lebih dulu. Pintu tertutup. Untuk sesaat, kamar menjadi sunyi, hanya suara detik jam merayap di dinding. Amara menatap jari-jarinya sendiri. Ia belum menang, tetapi ini pertama kalinya ia merasa memegang setir.

“Kau tidak bertanya sesuatu padaku?” tanya Bagas.

“Apa?”

“Kenapa aku mempercayaimu.”

Amara mengangkat bahu. “Karena kalau kau tidak percaya, rumah ini akan runtuh dari dalam.”

Jawaban itu membuat Bagas terdiam beberapa detik, lalu ia mengulurkan tangan mengambil map kosong di meja.

“Mulai malam ini, tulis semua yang kau kerjakan. Jangan ada yang longgar. Kita tidak memberi celah.”

Amara mengangguk. “Baik.”

Bagas berdiri. “Besok pagi, jam delapan, kita panggil Risa. Jangan khawatir. Aku yang bicara.”

Ia melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh singkat. “Kau melakukan hal yang benar.”

Pintu tertutup kembali. Amara berdiri di tengah ruang, merasakan napasnya sendiri lebih teratur. Ia menyalakan laptop, menulis konsep singkat kelas desain untuk anak SMP. Ia atur tujuan, peserta, materi, dan rencana publikasi. Saat mengetik, ia membayangkan ruang kelas kecil dengan meja panjang dan kertas warna-warni, suara tawa anak-anak yang jujur, sesuatu yang bersih di tengah rumah penuh intrik.

Ponsel bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Hati-hati. Mereka tidak akan berhenti di foto. Berikutnya keluarga asalmu.

Amara menegang. Jemarinya otomatis menekan panggil, tetapi nomor itu tidak aktif. Ia menatap layar yang gelap beberapa saat, lalu menekan napas panjang. Rasa takut menghampiri, tetapi tidak lagi melumpuhkan.

Ia meraih buku catatan, menulis garis besar langkah berikutnya. Besok pagi menghadapi Risa. Siang menyusun proposal kelas desain lengkap. Sore menghubungi pihak sekolah yang pernah bekerja sama dengan yayasan. Malam mengantar konsep ke kantor.

Di ujung halaman, ia menulis satu kalimat pendek.

Aku tidak akan menunggu diserang.

Ia menutup buku, mematikan lampu, dan membiarkan malam membalutnya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan, Amara merasa ia bergerak maju, bukan sekadar bertahan. Besok, ia akan menatap mata orang-orang yang ingin menjatuhkannya, dan berdiri lebih tegak daripada hari ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!