Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#11
Nindi melanjutkan langkah kakinya menuju ke minimarket untuk membeli apa yang ia butuhkan. Setelah semua barang terbeli, wanita itu berniat untuk kembali. Tapi, langkah kakinya dia perlambat agar tidak cepat sampai.
Saat menyeberang jalan, Nindi yang berjalan lambat seolah tidak terlihat akan menyeberang. Jadinya, seorang pengendara mobil malah langsung menerobos dengan kecepatan tinggi melintasi di depan jalan tersebut.
Alhasil, Nindi yang berjalan pelan hampir saja tersenggol mobil jika si pemilik tidak cepat mengerem. Si pemilik langsung memarkirkan mobilnya. Dengan cepat, menghampiri Nindi yang hampir saja jadi korban dari mobilnya yang dia kendarai dengan kecepatan tinggi.
"Mbak. Maaf, saya ... tidak senagaja."
Nindi melirik si pria dengan lirikan kesal. Namun, dia tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. Baginya, hidup yang ia jalani sudah sangat rumit. Jadi, kenapa harus di tambah rumit lagi?
"Iya. Gak papa."
Setelah berucap, Nindi berniat untuk melanjutkan langkah kakinya. Namun, si pria malah tidak merasa puas akan apa yang baru saja Nindi perlihatkan. Tangan Nindi malah di tahan pria tersebut.
"Mbak, tunggu. Saya-- "
Sontak saja, tatapan tajam menusuk langsung si pria dapatkan. Pria itupun paham akan maksud dari tatapan itu. Gegas, tangannya yang sedang menahan tangan Nindi dia lepaskan.
"Maaf. Saya ... tidak bermaksud menyentuh anda. Saya hanya ingin menahan mbaknya. Saya ingin sampaikan permintaan maaf saya karena saya sudah membuat mbak kaget."
"Nama saya Sadan Huda. Mbak bisa panggil saya dengan panggilan Huda. Saya-- "
"Maaf, mas. Saya gak papa. Saya sedang buru-buru. Karena itu, saya harus pergi sekarang. Untuk mas nya yang hampir saja menyenggol saya dengan mobil, saya gak papa. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Karena seperti yang anda lihat, saya baik-baik saja sekarang."
"Permisi." Nindi berucap lagi sambil menarik langkah.
Sadan terdiam. Cukup membuat hati si pria terusik gara-gara sikap tegas yang Nindi perlihatkan. Mata Sadan pun tidak bisa beralih pandang lagi sekarang. Mata itu terus memperhatikan kepergian Nindi yang berjalan dengan cepat menjauh, meninggalkan Sadan sendiri di tempat tersebut.
Setelah Nindi hilang dari pandangan mata, Sadan baru merasa kesal. Barulah dia menyesal akan apa yang telah dirinya lakukan.
"Aish, kenapa bisa lupa menanyakan namanya? Aku perkenalkan diriku, tapi tidak ku tanyakan namanya? Bagaimana bisa aku ini?"
Senyum manis tertarik dari sudut bibir Sadan seketika. "Tapi ... dia mawar yang penuh dengan duri. Indah, tapi tidak mudah untuk di raih. Luar biasa."
Sadan tiba-tiba sadar akan apa yang baru saja bibirnya ucap. Dia langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Apa sih yang aku bicarakan? Aduh ... bagaimana sih aku ini? Bisa-bisanya langsung berpikiran yang aneh-aneh."
"Sadar, Huda. Sadar. Baru pertama kali bertemu, tidak tahu asal usulnya, eh ... malah otak mu sudah tidak benar saja."
"Aish. Jika mama tahu, aku pasti akan diomeli lagi nantinya. Nasib-nasib."
Sadan pun kembali ke mobil. Menjalankan mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Nindi yang sedang berjalan pulang, tiba-tiba saja terpikirkan si pria yang baru saja hampir membuat dirinya celaka.
Pria itu cukup tampan. Kulitnya putih bersih, tinggi, rambut lurus tertata dengan sangat rapi. Beberapa bagian rambut jatuh ke dahi. Wajahnya sangat manis di pandang mata. Saat berbicara, dua gigi ginsul nya akan terlihat dengan sangat jelas.
Nindi tiba-tiba tersenyum tanpa ia sadari. Sesaat kemudian, saat wanita itu tersadar dari apa yang telah ada dalam pikirannya, dia pun langsung menggelengkan kepalanya pelan. Memukul pelan kepala dengan satu tangan.
"Aduh, apa sih yang telah aku pikirkan? Kok bisa-bisanya aku ... aish, semakin tidak benar saja pikiran ini," ucapnya sambil melangkah masuk ke dalam.
Baru juga masuk, eh ... sudah dihadapkan dengan hal yang tidak menyenangkan lagi. Di dalam ternyata ada Desi yang datang bersama dengan anaknya.
Pembahasan tentang pernikahan sepertinya tidak kunjung usai. Terus dan terus saja keluarga itu bahas. Andai saja bukan karena syarat yang Afi berikan padanya, Nindi pasti sudah memilih untuk pulang ke rumah ayahnya sekarang juga.
Terlalu menyakitkan sebenarnya tinggal di rumah tersebut. Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin, takdir itu sudah tertulis. Ujian hidupnya adalah berhadapan dengan keluarga dari pihak suaminya yang sungguh terlihat sangat amat jelas tidak pernah bisa menerima dia sebagai keluarga.
Nindi melepas dengusan pelan. Dia ingin melewati mereka yang ada di ruangan tengah dengan tenang. Tapi, hal yang tidak menyenangkan terus saja terjadi.
Jika tadi mama mertuanya yang memanggil, kali ini, calon istri keduanya pula yang langsung bersuara. "Anin, sudah kembali? Kamu beli apa? Kok keluar sendirian sih? Kenapa gak minta Afi buat antarin?"
Ini manusia bicara seolah tidak ada yang terjadi. Entahlah. Entah manusia ini benar-benar tidak punya hati, atau mungkin tidak punya pikiran. Jadinya, bicara seenak bibir berucap saja.
Anindia menahan rasa kesalnya dengan susah payah. Dia ukir seringai terpaksa. "He ... tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri, mbak. Jadi, tidak butuh bantuan orang lain buat temani aku."
Seketika, Desi langsung mengubah wajahnya. "Anin ... itu ... maksud aku."
"Sudah ya, mbak. Aku masuk dulu. Ada hal yang harus aku kerjakan. Permisi," ucap Nindi sambil menarik langkah.
Eh, ini manusia satu sepertinya masih tidak ingin melepaskan kepergian Nindi meninggalkan mereka. Saat Anin ingin pergi, masih saja mengeluarkan kata-kata untuk dia perdengarkan ke Anin.
"Anin, maafkan aku. Aku-- "
Nindi langsung memutar tubuh dengan cepat. "Tidak perlu minta maaf, mbak. Kamu tidak salah. Tolong, jangan ganggu aku lagi karena aku punya banyak pekerjaan. Permisi."
Selesai berucap, Nindi langsung menarik langkah besar agar segera meninggalkan ruangan tengah. Eh ... manusia yang banyak drama malah langsung terdengar sedih.
"Mama. Dia marah padaku," ucap Desi pada Nisa dengan mata yang berlinangan. "Dia dulu tidak begitu, Ma. Tapi sekarang, dia .... "
"Sudahlah, Des. Jangan kamu pikirkan lagi sikapnya padamu. Mungkin, itu adalah sifat aslinya yang selama ini ia tutup-tutupi dari kita."
"Ma. Aku menikah karena wasiat, tidak untuk menyakiti dia. Aku ingin kita hidup dengan rukun, tapi ... tapi kenapa kami malah bermusuhan, mama? Aku, aku sangat sedih kalau gini cara aku tidak ingin menikah-- "
"Jangan, Desi!" Nisa berucap cepat. "Jangan menolak pernikahan hanya karena sikap wanita itu. Dia memang begitu. Jangan hanya karena dia, wasiat dari suami mu kamu abaikan. Kalian menikah karena wasiat. Jangan pedulikan yang lain ya."
Sungguh luar biasa ini mama mertua. Sikapnya pada menantu kesayangan, terlalu berbeda dari menantu yang tidak ia inginkan. Yang dia sayang, dia pertahan habis-habisan. Sedang yang tidak ia sayangi, ingin ia singkirkan. Padahal, belum tentu yang dia sayang bisa memperlakukan dirinya dengan tulus.
Sungguh menyedihkan.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.