Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. Nia dan Putri #1
Karina menyeruput lemon tea hangat dari cangkir dalam genggamannya. Rambutnya yang kuyup terbungkus handuk sementara badannya meringkuk duduk dikarpet lantai kamar Nia bersandar ranjang. Matanya memerah, air mata yang keluar beradu dengan air hujan yang masuk kedalam matanya. Nia hanya berani memperhatikan, ia tak mau mengganggu sahabatnya yang masih berupaya menetralisir gemuruh dalam dadanya.
Ponsel Nia berkedip, nada dering mengisyaratkan seseorang memanggilnya. Ia melirik layar ponsel yang ia letakan di samping kakinya, ibu Nurma, yang memanggilnya melalui saluran telephon. Nia ragu meraih ponsel itu, matanya menatap Karina cepat seakan meminta pertimbangan, perlukah ia menerima telephon itu.
Karin mengangguk mempersilahkan.
“Bilang sama mama gak perlu khawatirin gue.”
Nia mengangguk cepat sebelum menekan tombol ‘terima’ pada layar ponselnya.
“Halo, ia tante? Oh… iya, Karin disini tante. Iya tante. Iya, dia gak papa kok tan, Cuma kehujanan. Sudah ganti baju pakek punya Nia. Iya tante. Iya. Sama-sama tante.”
Nia letakan kembali ponsel itu ke lantai, menatap lega sahabatnya yang masih sesekali terisak sambil menyeruput minuman hangat ditangannya.
“Lu suruh nginep sini aja kata nyokap lu, jangan pulang hujan-hujanan. Besok pagi baju seragam lu dianter Dimas. Lu suruh WA Dimas bilang buku apa aja yang perlu dibawa ke sekolah besok.”
Nia mengulan instruksi ibu Nurma yang beliau sampaikan lewat telephon. Karina tak menjawab, dalam kepalanya masih berbayang wajah mama yang terkejut tak sengaja mengetahui tujuan kepergiannya ke Bandung.
“Lu gak mau cerita apa-apa ke gue, Rin?”
“Cerita apa Ni, gue juga bingung sama apa yang gue alami seminggu terakhir ini. Gue bingung mau cerita ama lu mulai dari mana?”
Keduanya bersandar diranjang Nia, menekuk kaki ke dada dan memeluknya. Kilatan petir dan suara Guntur makin menjadi diluar rumah, bahkan hujan malam itu semakin deras. Bisa jadi akan terus lebat sampai esok pagi.
“Lu kemaren di Bandung ketemu siapa?”
“Ketemu orang yang beli bekas rumah gue dulu. Rumah gue dulu udah jadi toko roti Ni.”
“Siapa yang beli rumah lu?”
“Nenek-nenek. Oma Surya namanya.”
Nia berhasil memancing cerita Karina, membuat mereka sama-sama lega. Nia merasa lega karena ia jadi tau apa yang Karin temukan di Bandung. Sementara Karina merasa lega akhirnya ia tidak memendam itu sendirian.
“Sekarang masalahnya, gue harus kembali ke Bandung buat datengin rumah oma Surya. Sementara nyokap gue udah tau kalau gue ke Bandung buat cari bokap. Udah gak bakal dapet ijin lagi gue buat kesana.”
“Rin, lu sebenernya mau ngapain sih nyariin bokap lu? Lu kan tau nyokap lu masih sakit hati ama bokap lu?”
Inilah pertanyaan yang Karina takutkan dari Nia, atau siapapun. Karena artinya Karina harus menceritakan awal mula peristiwa ini terjadi. Peristiwa yang akan sangat sulit diterima oleh akal sehat siapapun. Bahkan oleh diri Karina sendiri.
“Kalau gue cerita yang ada lu bakal ngira gue gila Ni.”
“Sekarang juga buat gue lu udah gila. Tiba-tiba nyariin bokap lu tanpa alasan yang jelas.”
“Jadi gue gila ya kalau gue nyariin bokap gue sendiri?”
“Bukan gitu Rin, masalahnya lu kenapa tiba-tiba. Kemaren-kemaren lu baik-baik aja, gak ada tuh bahas-bahas bokap lu.”
Karina bangkit dari duduknya, diletakannya secangkir lemon tea hangat itu di meja belajar Nia lalu ia merangkak ke Kasur dan segera membenamkan badannya. Ia menghindari pertanyaan Nia, membuat Nia semakin heran namun memilih untuk tak mendesak jawabannya. Setidaknya, ia cukup lega karena Karina baik-baik saja. Lega karena Nia masih menjadi tujuan utama saat Karina membutuhkan tempat yang nyaman selain rumahnya.
“Kapanpun lu siap buat cerita, gue siap buat dengerin Rin.”
Nia menyusul masuk kedalam selimut diatas Kasur. Karina hanya tersenyum.
“Gue sih siap-siap aja buat cerita ke elu, masalahnya lu itu yang gak akan siap denger cerita gue Ni.”
“Hah, kok gitu?”
Karina memiringkan tubuhnya menghadap nia yang sudah menopang kepalanya dengan tangan menghadapnya, menodong jawaban dari Karina.
“Yakin lu siap dengar jawaban gue?”
“Udah deh buruan lu cerita, gue males banget kalaui cerita setengah-setengah gini. Bisa mati penasaran gue tar.”
“Nah, itu mati Ni. Gue tuh bentar lagi mati.”
Plak…
Nia menggetok kepala Karin dengan empat ruas jari yang ia tekuk, sedikit membuat Karin mengaduh.
“Jangan becanda lu kampret!”
Nia terduduk dari tidurnya, menatap Karina kesal atas ucapanya. Namun ia juga mencari kemungkinan keseriusan ucapan Karin yang menyusulnya duduk, menenangkan dirinya.
“Lu sakit? Lu kena cancer? Tumor? Atau apa Rin?!”
“Kagak…gue gak sakit apa-apa.”
“Trus?”
Karina menarik nafas berat, bersiap-siap untuk menerima reaksi Nia atas ceritanya.
“Nia, gue baru aja ngalamin peristiwa aneh. Lu inget waktu lu bawa gue ke UKS? Yang lu bilang gue ketiduran di kelas?”
Nia mengangguk. Ia cukup yakin arah pembicaraan kali ini akan serius.
“Lu percaya gak, kalau gue bilang gue menjelajah waktu? Atau, reinkarnasi? Atau,-“
Nia terbahak bahak. Ia tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Jawaban yang jauh dari ekspektasi Nia tentang ‘sakit’. Membuat Karina manyun dan mengurungkan niatnya bercerita.
“Oke-oke, sorry. Erm… gue sih jujur gak percaya sama hal-hal begitu. Tapi bukan berate lu harus berenti cerita ke gue ya.”
“Ya kalau ujung-ujungnya lu ngetawain gue mah ngapain gue cerita ke elu.”
“Iya, sorry, gue gak akan ketawa. Ayok lanjutin.”
“Intinya, hidup gue gak akan lama lagi. Dan gue harus nemuin bokap gue sebelum 40 hari. Ah bukan, tinggal 30 hari. Dan lu harus bantuin gue ngomong sama nyokap gue biar dapet ijin nyokap.”
Nia terdiam menatap Karina yang akhirnya kembali merebahkan badannya dalam selimut, ada banyak hal yang tentunya mengejutkan. Satu sisi hatinya yang menganggap itu adalah lelucon yang tak masuk akal, disisi lain ia tahu betul Karina tidak akan pernah mempermainkan dirinya. Melihat seberapa kuat keinginannya untuk dapat menemukan keberadaan ayahnya, Nia merasa iba. Bagaimanapun ia adalah saksi hidup betapa sulit perjuangan keluarga Karina dalam menjalani kehidupannya tanpa pak Budiman sebagai tulang punggung keluarga.
“Besok-besok gue kenalin lu ke temen deket gue deh biar lu percaya cerita gue.”
Karina mengejutkan Nia dengan kalimatnya mengenai teman dekat.
“Temen lu? Lu punya temen deket selain gue?”
“Punya.”
“Cowok pasti? Iya kan? Lu punya cowok kan gak bilang-bilang ke gue?”
“Bukan cowok… bocil ini. Bocil abadi.”
“Hah?”
“Iya bocil. Badan dia umurnya sekitar, 11 atau 12 tahun. Tapi sebenernya, mungkin umur dia, seratus tahun, mungkin.”
“Rin lu ngomong apaan sih? Temen apaan sih?”
“Hantu Ni, hantuuuu..”
“Karinaaa!!”
Nia merengsakan badannya kedalam selimut memeluk Karina ketakutan, sementara Karina tertawa terbahak-bahak membalas pelukan Nia.
***