Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Jangan paksa aku kembali"..
Angin sore menyusup melalui kisi-kisi jendela kontrakan kecil itu, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Nayla menatap layar ponselnya yang kembali bergetar, menampilkan pesan dari nomor yang sudah sangat dia kenal: Raka.
“Aku di sini, Nay. Di kota yang sama. Aku hanya ingin melihatmu. Aku tidak menyerah.”
Nayla mengembuskan napas panjang. Sudah tak terhitung berapa kali pesan-pesan seperti itu masuk ke ponselnya. Ia tak membalas satu pun. Tidak karena ia tidak terguncang—justru karena setiap kata dari Raka selalu berhasil mengguncang pertahanan yang mati-matian ia bangun.
Perutnya kini mulai membesar. Bayi itu tumbuh sehat, dan tiap gerakannya menjadi semacam pengingat bahwa dia harus kuat, harus berdiri di atas kaki sendiri. Ia membelai perutnya pelan.
“Maaf, Nak,” bisiknya. “Ibu masih belum sepenuhnya kuat. Tapi ibu sedang belajar…”
Sore itu, suara pintu pagar kecil di depan rumahnya berderit. Nayla mengintip dari balik tirai. Seorang wanita berdiri di sana. Ragu. Menunduk sebentar. Lalu mengetuk pelan pintu rumah kontrakan Nayla.
Tania.
Nayla membuka pintu dengan wajah datar.
“Kita tidak perlu bicara lagi,” ucap Nayla pelan, hendak menutup kembali pintu.
“Sebentar saja,” potong Tania cepat. “Aku hanya ingin membereskan semuanya.”
Nayla diam. Ia berdiri di ambang pintu, tak mempersilakan masuk, tapi juga tak menutup pintu.
“Aku dan Raka… akan menikah. Jadi, tolong urus perceraian kalian secepatnya,” kata Tania langsung, tanpa basa-basi.
Nayla masih tak berekspresi. Ia menatap mata wanita itu—mata yang pernah membuat rumah tangganya retak.
“Begitu cepat?” tanya Nayla datar.
Tania menarik napas, lalu bicara dengan suara yang lebih pelan. “Aku hanya ingin ini selesai. Aku tidak mau jadi alasan kalian terus tertahan di masa lalu. Aku hamil, Nay. Dan aku ingin anak ini lahir dalam keluarga yang lengkap. Aku rasa kamu juga menginginkan hal yang sama untuk bayimu.”
Kalimat terakhir menusuk. Tapi Nayla menahannya dalam diam. Ia sudah terlalu sering terluka untuk menunjukkan betapa luka itu masih basah.
“Kalau kamu ingin semuanya cepat selesai, kamu yang urus suratnya. Kirim ke alamat ini,” ujar Nayla sambil menuliskan alamat kontrakannya di selembar kertas.
Tania menerimanya. Lalu pergi tanpa kata tambahan.
Beberapa hari setelahnya, Siska datang membawa sepiring pempek hangat. “Gak bisa liat kamu murung terus. Harus makan yang enak!” katanya sambil tersenyum.
Nayla tertawa kecil, lalu memeluk temannya. “Terima kasih, Sis.”
“Kamu kuat, Nay. Tapi kamu juga manusia. Kalau capek, jangan ditahan sendiri,” ucap Siska, menatapnya serius.
Nayla mengangguk. Ia merasa, mungkin untuk pertama kalinya, ia tak sepenuhnya sendirian.
Malam itu, saat Nayla duduk di kamar, mengelus perutnya sambil memutar lagu pengantar tidur, suara dari luar terdengar samar—suara hujan pertama setelah sekian lama.
Namun di sela-sela rintik itu, ada ketukan pelan di pintu. Nayla membuka pintu, dan di sana berdiri Raka, basah kuyup, wajahnya penuh rasa sesal dan kelelahan.
“Aku hanya ingin melihatmu. Sekali saja malam ini. Aku tidak akan memaksamu bicara. Aku hanya... kangen,” ucapnya pelan.
Nayla menatapnya tanpa kata. Bayi dalam kandungannya bergerak pelan, seolah turut menyadari kehadiran ayahnya.
“Aku tidak bisa kembali ke masa lalu, Ka,” kata Nayla akhirnya. “Tapi aku sedang mencoba membangun masa depan yang damai. Tolong, jangan ganggu itu lagi.”
Raka menunduk. Hujan terus turun. Malam semakin dalam.
Dan untuk pertama kalinya, Nayla menutup pintu... bukan dengan amarah, tapi dengan keteguhan.