Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.
Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.
Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa.Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.
Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Gema Kegagalan dan Kengerian yang Kembali
Hari-hari berikutnya Arka habiskan untuk mencari pekerjaan. Setiap pagi ia berangkat, menjelajahi kota dari ujung ke ujung, mengirimkan CV ke berbagai perusahaan, dan mengikuti beberapa wawancara. Namun, jawaban yang selalu ia dapatkan sama: penolakan. Rasa frustrasi dan putus asa mulai menggerogoti semangatnya.
Di tengah hari, ia memutuskan untuk istirahat di sebuah kedai makan kecil, memesan semangkuk bakso dan membuka media sosial di ponselnya. Sambil melamun, ia melihat sebuah unggahan berita yang menarik perhatiannya: Organisasi Pemburu Harimau Sumatera, salah satu dari enam organisasi pemburu terbesar di Indonesia, mengadakan wawancara terbuka untuk posisi staf administrasi. Tanpa pikir panjang, Arka bergegas menghabiskan makanannya dan memesan ojek daring menuju markas organisasi tersebut.
Setelah perjalanan singkat, Arka tiba di depan gedung megah Organisasi Harimau Sumatera. Ia segera masuk dan mendaftar untuk wawancara. Ruang tunggu dipenuhi puluhan orang yang memiliki tujuan yang sama. Arka merasa kecil, teringat betapa beratnya persaingan di dunia kerja, apalagi untuk organisasi sebesar ini. Ketika gilirannya tiba, ia masuk ke dalam ruang wawancara, berharap yang terbaik. Namun, beberapa saat kemudian, ia keluar dengan wajah lesu. Hasilnya sama, ia ditolak.
Dengan langkah gontai, Arka berjalan menuju pintu keluar. Saat ia hendak melangkah keluar, sebuah suara familiar menyapanya. "Arka? Lo Arka, kan?"
Arka menoleh dan terkejut. Di hadapannya berdiri teman sekelasnya saat SMA, Rangga. Rambutnya dipotong rapi, mengenakan seragam kebesaran Organisasi Harimau Sumatera, dan aura percaya diri memancar dari dirinya. Rangga tersenyum lebar. Setelah basa-basi singkat, mereka memutuskan untuk mengobrol lebih lanjut di kantin gedung.
Di sana, Arka menceritakan semua kesulitannya, mulai dari susahnya mencari pekerjaan hingga masalah finansial yang ia hadapi. Rangga mendengarkan dengan sabar, lalu membalas cerita dengan kisahnya sendiri.
"Setelah lulus SMA, gue langsung dapat kekuatan dan menjadi Pemburu," cerita Rangga. "Awalnya berat, Arka. Tapi seiring waktu, gue terus berlatih dan sekarang berhasil menjadi bagian dari Organisasi Harimau Sumatera."
Rangga menjelaskan bahwa ia sekarang menyandang kualifikasi Pemburu tingkat C, yang terendah. "Ada banyak tingkatan kualifikasi, mulai dari C sampai S. Pemburu dengan kualifikasi S itu punya kekuatan setara negara. Di atas itu, ada tingkat SS dengan kekuatan setara benua, dan yang paling tertinggi, kualifikasi SSS, dengan kekuatan yang bisa mengubah takdir dunia," jelas Rangga dengan bangga.
Arka terperangah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kekuatan para Pemburu memiliki tingkatan yang begitu besar, hingga mampu setara dengan kekuatan dunia.
Rangga melihat ekspresi terkejut Arka dan mencoba menyemangatinya. "Terus semangat, Arka. Lo pasti bisa dapetin pekerjaan yang lo mau," ucapnya.
Arka tersenyum pahit. "Gue udah berusaha, Ngga. Tapi sepertinya dunia enggak berpihak sama gue. Beda sama lo yang dapat anugerah kekuatan," balasnya sinis.
Mendengar itu, Rangga tertawa terbahak-bahak. "Lo pikir jadi Pemburu itu enak, Arka? Gampang dapat uang, iya, tapi di balik itu semua, gue mempertaruhkan nyawa setiap hari. Melawan monster, pulang dengan luka-luka, atau bahkan..." Rangga terdiam sejenak, wajahnya serius. "Atau suatu hari nanti, gue pulang cuma tinggal nama aja."
Arka terdiam, mendengar betapa besarnya risiko yang dihadapi oleh Rangga dan Pemburu lainnya.
"Lo harusnya bersyukur, Arka. Lo enggak harus menanggung beban itu," lanjut Rangga.
Kata-kata Rangga membuka pandangan Arka. Ia menyadari bahwa ada dua sisi mata uang dalam kehidupan para Pemburu. Ia sedikit lega, namun perasaan tertekan yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Namun, ia merasa beruntung karena Rangga masih mau mendengarkan keluh kesahnya.
Waktu berlalu tanpa terasa, cahaya senja mulai meredup, mewarnai langit Jakarta dengan nuansa jingga. Setelah berpamitan dengan Rangga, Arka bergegas pulang. Setibanya di rumah, ia merebahkan diri di kursi ruang tamu dan menyalakan televisi. Seperti biasa, siaran berita dipenuhi oleh liputan seputar para Pemburu dan aktivitas mereka. Merasa muak dengan hal yang sama, Arka mematikan televisi. Kelelahan setelah seharian penuh mencari pekerjaan membuatnya terlelap di kursi itu, tenggelam dalam tidur yang lelap.
Tiba-tiba, sebuah gempa bumi mengguncang. Perabotan di rumah Arka berjatuhan, menimbulkan suara gaduh. Namun, Aska tetap tak bergeming dari tidurnya. Malam semakin larut, bulan bersinar terang, namun di sisi lain kota, kegelapan kembali merajalela.
Sebuah retakan dimensi lain muncul, kali ini di pusat kota Jakarta. Dari sana, keluarlah beberapa monster raksasa dan puluhan monster kecil. Puluhan Pemburu dari berbagai organisasi, termasuk Rangga, segera menuju lokasi. Rangga, dengan kualifikasi C-nya, bertarung di barisan belakang, berusaha menahan gelombang monster kecil yang tak ada habisnya. Luka-luka mulai bertebaran di tubuhnya, dan tenaganya terkuras habis.
Tiba-tiba, sesosok monster kuat setinggi manusia namun bertubuh kekar keluar dari retakan. Monster itu bergerak cepat, menerjang dan membunuh Pemburu dengan mudah. Perang semakin berdarah. Rangga, yang sudah terpojok dan kehabisan tenaga, terdiam dan gemetar saat monster kuat itu mendekatinya. Tekanan yang dipancarkan monster itu begitu kuat, membuat Rangga tak bisa bergerak.
Dengan satu pukulan telak, Rangga terpental, menabrak gedung di belakangnya, dan terkapar tak berdaya. Monster kuat itu, bersama monster lainnya, mulai merajalela, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.
Namun, harapan kembali muncul. Beberapa saat kemudian, dua sosok kuat tiba. Mereka adalah pemimpin dari dua organisasi pemburu terbesar. Pertama, Pemimpin Organisasi Harimau Sumatera, seorang pria paruh baya bernama Bara Wirawan. Dan yang kedua, Pemimpin Organisasi Besi Putih, seorang wanita berambut perak bernama Kinar Puspita. Mereka berdua berdiri di atas gedung yang tinggi, memancarkan aura kekuatan yang begitu dahsyat, mengamati kekacauan yang terjadi.
Bara Wirawan menghela napas panjang, menatap sekeliling. Pemandangan di bawah mereka adalah pemandangan kehancuran: bangunan yang hancur, jalanan yang terbelah, dan puluhan Pemburu yang terkapar tak berdaya. "Sepertinya kita kedatangan tamu yang cukup merepotkan," gumamnya, suaranya tenang namun ada nada ketegangan di dalamnya. Kinar Puspita, di sampingnya, tetap diam, tatapan matanya lurus ke depan.
Merasa kehadiran dua aura kuat di atas gedung, monster kekar yang sebelumnya mengamuk di jalanan langsung menoleh. Ia terbang dengan kecepatan tinggi, menghampiri Bara dan Kinar. Tiba di hadapan mereka, monster itu memancarkan aura intimidasi yang begitu kuat dan mengeluarkan suara berat, seperti bahasa kuno yang memekakkan telinga. "Kalian memiliki aura yang berbeda dari pada semut-semut lain," ucapnya.
"Sepertinya monster ini bisa berbicara," timpal Bara, ekspresinya tetap tenang. Kinar tidak merespons, namun tangannya sudah siap siaga di samping tubuhnya.
Aura monster itu tiba-tiba menjadi lebih pekat, berwarna merah gelap, menandakan bahwa ia siap untuk pertarungan habis-habisan. Bara merasakan tekanan luar biasa yang dilepaskan monster itu. "Sungguh tekanan yang kuat. Sepertinya monster ini memiliki kualifikasi S atau bahkan lebih tinggi," ujar Bara, tersenyum tipis. Ia lalu mengeluarkan dua bilah kerambit dari balik jaketnya. Kinar juga mengambil senjatanya, sebuah pedang panjang dengan bilah vertikal yang hampir sepanjang tubuhnya, dari punggungnya.
Pertarungan dimulai. Bara melesat dengan kecepatan super, menyerang monster itu. Namun, monster itu bereaksi dengan cepat, menghindari setiap serangan Bara. Kinar menyusul, menebaskan pedangnya. Serangan Kinar dan pukulan tangan kosong monster itu berbenturan, menciptakan gelombang kejut yang merusak area sekitar. Dibantu oleh Bara yang menggunakan kemampuan perpindahan anginnya, ia menjadi lebih cepat dan sulit diprediksi, menebas dan menyayat bagian tubuh monster itu.
Bara dan Kinar terus menyerang dengan kekuatan penuh. Tebasan pedang Kinar mengeluarkan aura, memotong bangunan-bangunan di sekitarnya. Monster itu mulai terdesak. Namun, ia tidak menyerah. Aura merah pekat menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya menjadi lebih kuat. Ia menerjang kembali ke arah Bara dan Kinar. Serangan baliknya begitu kuat hingga Bara terpukul mundur, menabrak dinding gedung dengan keras. Kinar berhasil menahan serangan itu dengan pedangnya, namun ia terpental dan jatuh ke jalan. Meskipun begitu, ia masih berdiri, pedangnya bergetar.
Bara bangkit, menghela napas panjang, dan memancarkan aura yang lebih kuat. "Sungguh monster yang kuat. Aura merahnya yang pekat membuat tubuhnya semakin keras," ujarnya sambil tersenyum tipis. Monster itu terdiam, melayang di udara, mengawasi Bara. Bara kembali melesat, melepaskan semua kekuatannya. Pertarungan kembali seimbang, namun tidak lama kemudian, Bara kembali terpukul mundur.
Tepat saat Bara terlempar, Kinar sudah berada di depan monster itu. Ia mengangkat pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala, aura putih keperakan berputar mengelilinginya, dan pedangnya mulai bersinar terang. Dengan semua kekuatannya, Kinar menebas secara vertikal.
Sebuah tebasan aura putih keperakan melesat, meninggalkan bekas tebasan sepanjang puluhan meter di arahnya, membelah bangunan dan gedung yang dilewatinya. Monster kuat itu, yang tidak bisa menahan serangan itu, ikut terbelah menjadi dua. Pertarungan pun berakhir.
Cahaya rembulan bersinar dengan tenang, menyoroti rambut putih panjang Kinar. Bara menghampirinya, "Kekuatanmu sepertinya semakin kuat, Pemimpin Kinar." Kinar hanya diam, menatap lurus ke depan.
Tak lama kemudian, retakan dimensi itu mulai menghilang, dan para Pemburu pembersih serta pihak kepolisian mulai berdatangan untuk mengamankan dan membersihkan area sekitar. Meski monster berhasil dikalahkan, kerugian yang ditimbulkan sangat besar: banyak Pemburu yang gugur, dan kota mengalami kerusakan parah. Kejadian ini menjadi pengingat yang pahit akan rapuhnya perdamaian yang ada.
jangan dikasih kendor thor😁🔥