NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masuk ke goa gelap

Hari semakin larut di kota Fengyu. Cahaya lampu batu roh di sepanjang jalan utama masih bersinar lembut, menerangi lalu lintas orang yang belum juga beristirahat. Suara tawar menawar pedagang, dentingan gelas arak, dan teriakan kecil dari penjual makanan kaki lima bercampur menjadi satu, menandakan kota ini tidak pernah benar-benar tidur.

Di dalam restoran, Xu Hao baru saja meneguk teh hangat setelah menyelesaikan hidangan yang bahkan membuat orang-orang lain terdiam tidak percaya. Meja yang tadinya penuh sesak dengan makanan kini kosong sama sekali. Tidak ada sisa, bahkan tulang ayam atau kuah sup terakhir pun habis.

Seorang pelayan wanita masuk dengan nampan besar untuk mengambil mangkuk dan piring. Matanya melebar kaget ketika melihat pemandangan itu. “Semua… habis?” bisiknya lirih, seolah tidak percaya manusia bisa menghabiskan sebanyak itu seorang diri. Ia menoleh sekilas ke Xu Hao, tetapi pemuda itu hanya duduk santai dengan wajah tenang, memegang cawan kecil berisi teh. Uap hangat mengepul di udara, dan Xu Hao menyesap perlahan, seakan tidak peduli pada tatapan heran siapa pun.

Beberapa saat kemudian, Xu Hao bangkit berdiri. Dengan langkah ringan ia berjalan keluar restoran. Suasana di luar masih ramai, namun berbeda dengan siang tadi. Malam di kota Fengyu membawa aroma arak, asap daging panggang, dan suara lantunan musik dari musisi jalanan. Lentera merah bergoyang tertiup angin, bayangan orang-orang menari di jalanan berbatu.

Xu Hao berjalan menyusuri jalan utama, matanya mengamati sekeliling sambil mencari tempat penginapan. Ia berhenti di depan pedagang kaki lima yang sedang memanggang kue kacang. Dengan nada tenang ia bertanya, “Apakah kau tahu di mana ada penginapan?”

Pedagang itu menoleh, lalu mengusap peluh di dahinya. “Tuan, jika ingin penginapan mewah, pergilah ke arah barat kota. Di sana ada penginapan khusus untuk para bangsawan dan kultivator besar. Tetapi jika ingin yang lebih murah, masuklah ke lorong di depan sana. Tidak jauh dari sana ada penginapan untuk kultivator yang tidak memiliki banyak uang.”

Xu Hao hanya mengangguk. “Terima kasih.” Tanpa ragu ia memilih lorong yang ditunjukkan.

Lorong itu sepi. Cahaya lampu batu roh semakin redup, meninggalkan banyak bayangan gelap di dinding. Bau lembap bercampur dengan aroma arak murah dan asap rokok spiritual yang menyengat hidung. Sesekali Xu Hao berpapasan dengan beberapa kultivator. Tatapan mereka tajam, penuh kewaspadaan, bahkan ada yang tampak curiga. Namun Xu Hao hanya berjalan lurus tanpa menoleh.

Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan sederhana. Papan kayu usang tergantung di atas pintu, bertuliskan Penginapan Burung Malam. Catnya sudah pudar, pintu kayunya agak miring, namun masih berdiri kokoh. Xu Hao melangkah masuk.

Di dalam, ruangan penerima tamu sederhana. Hanya ada meja panjang kayu kasar, sebuah lentera kecil di atasnya, dan seorang pria paruh baya yang menjaga sambil bersandar malas di kursinya. Matanya setengah tertutup, namun begitu melihat Xu Hao masuk, ia menegakkan tubuhnya.

Xu Hao berjalan mendekat dan bertanya singkat, “Berapa biaya untuk satu malam?”

Pria itu menjawab tanpa banyak basa-basi, “Lima koin emas.”

Xu Hao mengeluarkan lima koin emas dari cincin penyimpanannya. Ia meletakkannya di atas meja. Bunyi dentingan koin terdengar jelas. Pria itu segera meraih dan menyimpannya, lalu berdiri dan berkata, “Ikut aku.”

Ia mengantarkan Xu Hao melewati koridor sempit dengan lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Mereka berhenti di depan sebuah pintu sederhana. “Ini kamarmu,” ucap pria itu singkat. Setelah itu ia berbalik pergi, meninggalkan Xu Hao sendirian.

Xu Hao mendorong pintu. Ruangan itu kecil, hanya ada kasur tipis, meja rendah, dan lentera kecil di sudut ruangan. Bau kayu tua bercampur dengan udara lembap, namun baginya itu sudah cukup. Ia menutup pintu, lalu merebahkan tubuhnya di kasur sederhana itu.

Malam semakin hening. Xu Hao menatap langit-langit kayu di atas kepalanya, pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba wajah ayahnya muncul di dalam ingatan. Lelaki yang selalu memanjakan anaknya itu, sering kali menggendong Xu Hao kecil di pundaknya sambil berlari, membuat ibunya marah karena keduanya selalu mengganggu ketika ia sedang menjahit. Tawa riang, kehangatan keluarga, semua seakan hidup kembali di benaknya.

Lalu bayangan ibunya muncul. Wanita lembut itu selalu berada di sisinya ketika Xu Hao sakit demam. Tangan halusnya membelai wajah kecil Xu Hao dengan penuh kasih sayang, matanya penuh cinta tanpa syarat. Xu Hao menggigit bibir, hatinya seperti diremas.

Air mata menetes tanpa bisa ditahan. Xu Hao berbisik lirih, suaranya pecah. “Ayah, ibu… aku rindu kalian. Entah berapa lama aku bisa membalaskan dendam kalian.”

Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar menahan kesedihan. Ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua luka hatinya mengalir keluar bersama air mata.

Beberapa waktu kemudian, Xu Hao menghapus air matanya dengan lengan baju. Nafasnya terengah, namun matanya memancarkan keteguhan baru. Dengan suara pelan namun penuh tekad, ia berkata, “Besok aku akan pergi ke hutan dan mencari sebuah goa. Di sana aku akan mempelajari Buku Sepuluh Perubahan, memperkokoh fondasiku, agar terobosan menuju Core Formation berjalan lancar.”

Ia menutup matanya perlahan. Tubuhnya lelah setelah seharian penuh perjalanan, makan, dan perasaan yang bercampur aduk. Dalam hitungan menit ia tertidur pulas. Di dalam tidurnya masih ada luka yang belum sembuh, tetapi di balik itu ada semangat membara untuk membuat perubahan dalam hidupnya.

Kota Fengyu terus bergerak di luar sana, namun di dalam kamar sederhana itu seorang pemuda tengah bermimpi, membawa luka masa lalu dan harapan besar untuk masa depan.

Pagi hari telah tiba. Cahaya mentari menembus celah jendela sempit kamar penginapan, menghangatkan udara dingin yang tersisa dari malam sebelumnya. Kota Fengyu sudah kembali riuh. Suara roda pedati, panggilan pedagang, tawa anak-anak, serta teriakan penjual arak membentuk paduan suara khas kehidupan kota kultivator yang padat.

Xu Hao terbangun. Matanya terbuka perlahan, tubuhnya masih terasa agak berat setelah menangis malam itu. Ia bangkit, merapikan tempat tidurnya seadanya, lalu mengambil kendi kecil berisi air dingin untuk mencuci muka. Siraman air membasahi wajahnya, membuat kesadarannya pulih sepenuhnya.

Tanpa banyak membuang waktu, ia keluar dari kamar dan menuruni tangga kayu penginapan. Pria penjaga hanya melirik sekilas, tidak berkata apa-apa. Xu Hao melangkah keluar lorong sepi itu, hingga kembali mencapai jalan besar yang penuh hiruk-pikuk kehidupan.

Perutnya berteriak minta diisi. Ia pun mencari restoran terdekat. Tidak lama kemudian ia masuk ke sebuah bangunan sederhana, duduk, dan memesan sarapan. Sepiring bubur spiritual hangat, daging asap tipis, serta teh panas disajikan. Xu Hao menyantapnya tanpa terburu-buru, tetapi setiap suapan ia nikmati. Dalam hatinya ia berkata lirih, “Meskipun aku seorang kultivator, tubuhku tetaplah tubuh manusia. Aku butuh tenaga.”

Setelah selesai, ia meninggalkan restoran itu dan berjalan ke arah gerbang kota. Di sana, hiruk-pikuk para pedagang keluar masuk dengan gerobak, serta barisan kultivator yang hendak pergi berburu di luar kota.

Ketika Xu Hao melewati gerbang, matanya tanpa sengaja bertemu dengan salah satu penjaga yang dulu pernah menghalanginya masuk. Penjaga itu hanya diam, wajahnya datar, seolah tidak mengenali Xu Hao atau mungkin sengaja menahan diri. Xu Hao hanya menoleh sekilas, lalu terus berjalan.

Begitu jauh dari kota, Xu Hao mengeluarkan pedang terbang perak dari cincin penyimpanannya. Ia menginjakkan kakinya, menyalurkan Qi, lalu tubuhnya melesat ke udara. Angin pagi menerpa wajahnya, rambutnya berkibar liar, dan dari atas sana ia melihat hutan luas membentang seperti permadani hijau tak berujung.

Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh semangat. “Aku tidak menyangka… dalam percobaan pertama aku bisa langsung mengendalikan pedang terbang ini. Paman Cuyo memang pernah mengajariku teori, tetapi itu hanya teori. Saat ini aku benar-benar bisa terbang!” serunya girang.

Ia tertawa kecil, seperti seorang anak yang baru saja mendapatkan mainan baru. Sesekali ia mencondongkan tubuh, membuat pedang itu menukik, lalu naik lagi, bahkan berputar. Hatinya dipenuhi kekaguman pada kebebasan di udara. Dunia tampak berbeda dari ketinggian, jauh lebih luas, lebih menantang.

Namun keceriaan itu tidak berlangsung lama. Xu Hao tiba-tiba merasakan sesuatu. Intuisinya berteriak, napasnya tercekat. Ia menoleh sekilas ke belakang. Benar saja. Ada enam titik kecil mendekat cepat dari arah kota.

Tatapan tajam menusuk punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Xu Hao mempersempit matanya. Dari jarak itu, ia bisa melihat aura mereka yang berkedip-kedip seperti api di malam gelap. Mereka bukan orang biasa.

“Tidak mungkin…” gumamnya. “Mereka mengejarku?”

Gerombolan itu semakin dekat. Dari cara mereka terbang, Xu Hao bisa menilai bahwa mereka bukan kelompok tunggal. Formasi mereka acak, jarak terbang masing-masing tidak seragam. Tetapi ada satu kesamaan. Semua tatapan mereka terarah padanya, seperti serigala lapar melihat mangsa yang terluka.

Dua di antara mereka sangat berbeda. Aura mereka lebih padat, lebih menekan, bahkan dari kejauhan sudah membuat napas Xu Hao sesak. Aura Nascent Soul. Kedua orang itu memimpin pengejaran, melesat lebih cepat dari yang lain.

Salah satu dari mereka berteriak, suaranya bergema di udara. “Hei bocah! Serahkan tanaman spiritual seratus tahun yang kau miliki! Jika tidak, kau akan mati mengenaskan di langit ini!”

Xu Hao menelan ludah. Jantungnya berdegup keras. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan ketakutan yang sama. Ia membalas teriakan itu, “Mimpi saja! Kalian pikir aku akan menyerah begitu saja?”

Dengan cepat Xu Hao menyalurkan Qi lebih deras ke pedang terbangnya. Pedang itu bergetar, lalu melesat jauh lebih cepat, meninggalkan garis perak di udara. Angin kencang menghantam tubuhnya, matanya sedikit menyipit menahan tekanan.

Namun Xu Hao tahu. “Ini bahaya… mereka bukan kultivator biasa. Jika aku hanya terus terbang lurus, cepat atau lambat mereka akan mengejarku.” Napasnya terengah. “Aku harus mencari cara untuk mengelabui mereka. Terutama dua Nascent Soul itu. Jika sampai tertangkap, aku tidak punya kesempatan melawan.”

Hutan di bawahnya semakin dekat. Pohon-pohon raksasa menjulang, sebagian berkabut, sebagian menyembunyikan suara binatang buas yang tidak terlihat. Xu Hao menggertakkan gigi. “Aku harus menggunakan hutan untuk bersembunyi. Ini satu-satunya caraku lolos.”

Pedang perak di bawah kakinya melesat semakin cepat, membelah udara pagi. Enam kultivator masih mengejar, aura mereka semakin mendekat, dan dua Nascent Soul itu kini hanya terpaut beberapa ratus meter di belakangnya.

Xu Hao meneguk ludah. Hatinya berdegup liar antara takut dan tekad. “Jika aku tidak bisa lolos hari ini, maka semua yang kulakukan sia-sia. Ayah, Ibu… berikan aku kekuatan.”

Suara desir angin masih tertinggal di telinga Xu Hao ketika ia menukikkan pedang terbangnya menembus lapisan kabut tipis hutan pagi itu. Tubuhnya melesat bagai anak panah perak yang ditembakkan dari langit. Daun-daun raksasa berguncang ketika ia menembus pepohonan. Begitu kakinya menyentuh tanah, ia segera menyimpan pedang terbangnya ke dalam cincin penyimpanan. Tanpa ragu ia menghentakkan kakinya, lalu berlari secepat mungkin di antara batang pohon-pohon tinggi yang seakan hendak menelan siapa pun yang masuk ke dalam kegelapannya.

Suara langkah-langkah berat bergema tak jauh di belakangnya. Aura Qi yang tajam terus memburu, menusuk punggungnya seperti tombak tak kasat mata. Xu Hao tahu, kultivator yang mengejarnya sama sekali tidak main-main. Mereka bahkan bisa merasakan tanaman seribu tahun di cincin penyimpanan nya.

Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya melesat di sisi kanannya. Seorang kultivator berbaju abu-abu dengan wajah penuh bekas luka muncul menghadang di depan. Sorot matanya dingin, pedang di tangannya bergetar menyala. Ia melangkah maju dengan senyum kejam. "Bocah, jangan berpikir kau bisa lari dar—"

Belum sempat kalimatnya selesai, Xu Hao menjejak tanah keras dan melompat tinggi. Kakinya menghantam kepala kultivator itu dengan kekuatan penuh. Suara dentuman terdengar keras, tubuh lawannya terpelanting menabrak batang pohon besar. Darah memercik dari mulut pria itu, matanya terbalik sesaat sebelum jatuh pingsan. Xu Hao mendarat kembali, napasnya terengah, namun langkahnya tidak terhenti. Ia tahu itu hanya satu dari banyaknya. Ancaman sesungguhnya belum datang.

Di belakang, suara teriakan bercampur dengan tawa. Dua aura menekan semakin mendekat. Kedua kultivator Nascent Soul itu melesat seperti dua bintang hitam yang jatuh dari langit. Salah satunya adalah seorang pria berbadan kekar dengan rambut panjang terurai, matanya merah menyala seperti bara. Yang satunya lagi, seorang wanita bergaun hijau muda, kulit pucat seperti giok, bibirnya melengkung menampilkan senyum penuh sarkasme. Suaranya menusuk telinga Xu Hao, bergema di antara pepohonan.

“Bocah kecil! Jangan buang tenaga. Serahkan saja tanaman spiritual seribu tahunmu. Kalau kau bersujud sekarang, mungkin aku akan membiarkanmu hidup tanpa harus mematahkan seluruh tulangmu,” kata wanita itu dengan nada mengejek.

Tawa dinginnya meluncur seperti cambuk yang menyayat telinga. Sementara itu, pria berbadan kekar mengaum, "Jika kau berani menolak, maka aku akan mencabik-cabik tubuhmu di hadapan hutan ini!"

Xu Hao menggertakkan gigi. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, tetapi langkahnya tidak goyah. Ia menundukkan tubuhnya, menembus semak belukar dan ranting berduri. Qi merah pekat perlahan menyelimuti tubuhnya, membuat otot-ototnya berdenyut seakan siap meledak kapan saja. Ia tidak menoleh ke belakang, hanya berlari semakin dalam, semakin cepat, hingga napasnya berganti menjadi deru panjang.

Hutan semakin pekat. Kabut lembap menggantung di udara, dan suara-suara aneh binatang spiritual bergema dari kejauhan. Burung-burung hitam terbang berhamburan ketika Xu Hao menerobos jalur mereka. Akar-akar besar melintang di tanah, namun kakinya yang terlatih menapak dengan lincah, melompat dari satu pijakan ke pijakan lain.

Lalu, di depan matanya, muncul sebuah bukit batu yang menjulang. Di sisi bukit itu terdapat sebuah mulut goa, lebar namun gelap, seakan menunggu untuk menelan siapa pun yang berani masuk. Tanpa berpikir panjang, Xu Hao langsung berlari menuju ke sana. Detak jantungnya semakin keras, bukan hanya karena takut, melainkan juga karena tekad yang meletup di dadanya.

"Aku tidak akan berhenti di sini," gumamnya dalam hati.

Begitu memasuki goa, hawa dingin langsung menyambut. Udara lembap bercampur dengan bau tanah dan bebatuan tua. Lorong gelap itu seolah berliku tak berujung. Xu Hao tanpa ragu menancapkan langkahnya, semakin dalam, semakin jauh dari cahaya luar.

Di belakangnya, suara langkah dan tawa masih terdengar. Suara wanita itu menggema masuk ke dalam lorong. "Kau pikir goa kotor ini bisa melindungimu? Kau salah besar, bocah. Kami akan menyeretmu keluar seperti tikus, lalu mengulitimu hidup-hidup."

Xu Hao tidak menoleh. Nafasnya mulai berat, namun matanya menyala dengan semangat yang tak bisa dipadamkan. Ia tahu, hutan tidak menyelamatkannya. Goa ini pun tidak. Yang bisa menyelamatkannya hanya dirinya sendiri.

Lorong semakin gelap. Dinding-dinding batu terasa dingin dan kasar ketika tangannya sempat menyentuhnya untuk menyeimbangkan langkah. Gemuruh langkah para pengejar masih terus mendekat. Getaran Qi dari dua Nascent Soul itu kini semakin jelas, membuat udara di dalam goa seperti bergetar.

Namun Xu Hao justru semakin menajamkan pikirannya. "Jika aku terus lari lurus, cepat atau lambat aku akan terkepung. Aku harus menemukan sesuatu di dalam sini… sesuatu yang bisa memberiku kesempatan."

Hatinya berdegup, penuh ketakutan bercampur harapan samar. Ia tidak tahu apa yang menunggu di dalam kegelapan goa itu. Binatang buas? Formasi kuno? Atau hanya jalan buntu? Tetapi baginya, semua lebih baik daripada jatuh ke tangan para pengejar yang menginginkan darahnya.

Xu Hao menggertakkan gigi, tubuhnya melaju tanpa ragu, seakan setiap langkah adalah taruhan hidup dan mati.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!