Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAIN RANJANG?
Ponsel Febi bergetar pelan saat ia sedang duduk di meja makan bersama Vania. Notifikasi dari nomor tak dikenal muncul di layar. Ia membuka pesan itu dengan ragu.
"Febi, ini aku, Roni. Maaf mengganggu. Aku cuma ingin bicara... satu kali saja. Aku mau jelasin semuanya sama kamu tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan kita. Aku yakin kamu juga mau dengar semua kan?"
Febi menghela napas, meletakkan ponselnya di meja tanpa membalas. Vania yang memperhatikannya dari tadi langsung menyipitkan mata.
"Siapa kak? Roni lagi? Astaga, dia nggak ada kapok-kapoknya!" omel Vania.
"Dia cuma kirim pesan. Nggak penting." sahut Febi pelan. Tapi jauh di dalam hatinya, pesannya bukan tak penting. Hanya saja, Febi belum siap untuk membuka luka lama.
**
Siang itu, mereka pergi ke mall untuk membeli beberapa baju kerja baru untuk Febi. Setelah naik jabatan jadi sekretaris CEO, penampilannya juga harus disesuaikan. Di sebuah butik, Febi sedang memilih blazer saat suara yang sangat familiar menghentikan gerakannya.
"Oh, ternyata benar kamu di sini."
Febi menoleh. Bu Sekar berdiri di ambang pintu butik, lengkap dengan tatapan mencela dan senyum mengejek.
"Kok bisa-bisanya kamu sekarang belanja di tempat begini? Gajimu naik drastis, ya? Atau ada... jalur cepat?"
Febi mengatupkan rahangnya. Vania yang sedang berdiri tak jauh dari situ langsung maju, tatapannya tajam.
"Bu, kalau cuma mau nyindir, lebih baik cari kaca dulu. Jangan asal lempar tuduhan. Kakakku dapat jabatan itu karena kerja keras, bukan karena hal yang Ibu pikirkan."
"Kerja keras? Di dunia kerja, yang naik mendadak itu biasanya bukan karena kerja. Tapi karena ranjang," bisik Bu Sekar kejam.
Vania terkekeh sinis. "Wah, pengalaman pribadi ya, Bu? Pantes..."
Febi buru-buru menarik lengan Vania. "Sudah, Van. Jangan memperpanjang. Percuma ngomong sama orang yang sudah diliputi rasa benci. Lebih baik kita pergi dari sini, jangan membuang-buang waktu dengan orang yang tidak penting."
Dengan kepala tegak, mereka meninggalkan butik itu, meninggalkan Bu Sekar yang mukanya sudah merah padam.
“ Apa dia bilang? Tidak penting? Bisa-bisanya anak itu berkata seperti itu…sialan. Baru jadi sekertaris aja, sombongnya minta ampun.” Bu Sekar ngedumel sendirian.
**
Di koridor mall, Vania masih mengomel sendiri sambil berjalan cepat. "Gila ya tuh ibu. Gengsinya gede tapi mulutnya kayak selokan!"
“Untung saja kamu nggak jadi menantunya kak. Kamu diselamatin sama keluarga toxic begitu.”
Bruk!
Vania menabrak seseorang dan langsung terduduk. Orang yang ditabraknya juga terjatuh sambil meringis.
"Aduh... mata lo di mana sih?!" seru Vania.
"Mestinya gue yang nanya! Eh..." pria itu menoleh. "Loh, lu lagi?!"
Vania menyipit. "Om-om mesum berdasi?!"
Toniyang tak lain adalah asisten Arkan membelalak. "Lu nyebut siapa om-om, hah?! Gue masih muda!"
"Yakin? Sumpah pemuda lo masih inget?!"
"Mulut lo tuh ya…."
"VANIA!"
Suara Febi terdengar tajam. Ia datang menghampiri dan berdiri di antara mereka.
"Astaga Pak Toni, maafkan adik saya. Dia kadang suka kelewat batas kalau sedang marah."
Toni mendelik ke Vania, lalu menatap Febi. "Nggak apa-apa, Febi. Oh jadi gadis bar-bar ini adik kamu? Kok beda yah."
“Maksud lo apa?” tanya Vania naik pitam.
“Maksud gue, kakak lo Febi adalah orang yang lemah lembut sedangkan elo…hmm bar-bar.”
“Cih…Eh, lo ngomong lagi, gue lempar stiletto!" seru Vania.
“Vania… yang sopan sama Pak Toni. Dia ini Asisten Bosnya kakak.”
“Aku nggak peduli kak. Dianya ini ngeselin dan mesum.”
“Apa lo bilang? Suka banget ngatain orang mesum.”
“Emang kenyataannya gitu Om-om mesum.”
“Vania. Sudah. jangan bikin malu. Hmm…Pak Toni saya lebih baik pamit dan sekali lagi saya minta maaf atas kelakuan adik saya.”
Febi langsung menarik tangan Vania dengan cepat dan sepanjang jalan pulang, Febi terus-terusan menceramahi Vania.
**
Sementara itu, di kantor tempat Roni bekerja, ia duduk termenung di depan laptop. Laporan yang harusnya selesai dua jam lalu masih kosong. Bayangan Febi terus berputar di kepalanya senyumnya, suaranya, tubuhnya. Sial.
"Mas….Roni! Dengar nggak sih?!"
Suara tajam Raisa membuatnya tersentak. Wanita itu berdiri di ambang pintu ruangannya dengan wajah masam.
"Dari tadi aku ngomong, kamu diam aja! Kamu mikirin Febi lagi, ya?!"
Roni mengusap wajahnya, malas menjawab.
"Jangan bilang kamu nyesel, ya. Setelah semua yang kamu lakuin ke dia?!"
"Cukup, Rais. Aku nggak mau ribut sekarang."
"Jadi emang bener kamu masih mikirin dia?!"
Roni berdiri. "Pergi dari ruanganku, sekarang."
Raisa menatapnya dengan mata merah, lalu berbalik dan menutup pintu dengan keras.
Tak lama kemudian telponnya berdering, itu adalah panggilan dari mamanya.
"Ron! Mama tuh lagi kesel banget. Tadi Mama ketemu Febi sama adiknya. Mereka kasar banget ke Mama! Mereka permalukan Mama di mall! Mama yakin, jabatan Febi itu nggak bersih. Pasti Febi ada main belakang sama bosnya itu. Kalau nggak mana mungkin ia mendapat jabatan penting jadi sekretaris kalau bukan menawarkan tubuhnya kepada bosnya sendiri. Benar-benar yah Ron, Febi sekarang menjadi orang yang sombong. Mama tidak terima dipermalukan seperti itu tadi. Kamu harus memberi peringatan kepada mantan kamu itu.”
Roni terdiam beberapa saat, memijit pelipisnya yang tiba-tiba sakit. lalu mengangguk pelan meski tak terlihat di telepon.
"Baik, Ma. Biar besok aku yang urus."
Di matanya, amarah dan dendam lama kembali muncul. Tapi apakah itu karena ingin melindungi mamanya atau karena belum bisa melepaskan Febi?
**
Keesokan harinya di sekolah, suasana koridor dipenuhi suara tawa dan langkah siswa yang baru saja selesai istirahat. Vania berjalan santai sambil memegang botol minum, hingga suara khas yang tak asing terdengar dari belakangnya.
"Eh, Vania! Sweater lo keren juga sekarang. Dapat diskon di pasar malam, ya?" Tasya menyusul dengan senyum menyindir.
Vania berhenti, menoleh dengan santai. "Masih lebih bagus daripada gaya lo yang kayak katalog gagal endorse."
Beberapa siswa yang lewat menahan tawa. Wajah Tasya menegang, tapi ia tak mau kalah.
"Hebat ya lo sekarang. Dekat banget sama mantan gue Marko." ucap Tasya, nadanya mulai tajam.
Vania menaikkan alis. "Marko? Emang kenapa? Dari dulu kan gue sahabatan. Masalah buat lo?”
Tasya melotot. "Lo pikir lo siapa sih?! Sok banget!"
"Seseorang yang cukup berharga sampai lo cemburuin tiap hari, Sa."
Tasya menggertakkan gigi. Ia lalu menyusun rencana licik. Saat jam istirahat kedua, ia menyuruh anak kelas sepupunya yang duduk di kelas 10 untuk berpura-pura menangis di depan ruang UKS, sambil membawa tas Vania dan menuduh Vania mencuri.
Rencananya hampir berhasil, beberapa guru sempat memanggil Vania untuk dimintai klarifikasi. Tapi sebelum semua jadi heboh, Marko datang sambil membawa rekaman CCTV dari kantin kebetulan kamera menangkap Tasya sedang menyuruh anak itu untuk berpura-pura.
Pak Prabuyang juga berada di situ langsung memanggil Tasya.
"Ini bukti kamu merekayasa fitnah. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut dengan kepala sekolah dan orang tuamu."
Tasya membeku. Vania melipat tangan di dada, menatapnya penuh kemenangan.
"Lo masih belum ngerti, ya? Gue nggak perlu rebut pacar orang. Kalau cowok lo pindah hati, itu tandanya lo gagal jaga, bukan gue yang salah."
Tasya tertunduk, wajahnya merah padam oleh malu dan amarah yang ditelan sendiri.