Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ado-Elf
Tidak ada apapun yang memburuk, di rumah tidak ada sesuatu yang memberatkan seperti laporan dadakan soal kambuhnya trauma istrinya atau kericuhan kecil. Frans selalu melapor bahwa Caroline menghabiskan waktu di kamar atau bermain ke halaman belakang, memandangi ikan serta tanaman hijaunya.
Hari kedua puluh empat, hitungnya dalam hati. Ia rasa apa yang diucapkan dokter tidak akan begitu parah dengan kenyataan. Pratama kembali dari kantor lebih awal. Ia menemukan Caroline sedang membaca buku di ruang keluarga.
"Sudah makan malam, Lin?" tanya Pratama, meletakkan tas kerjanya.
Caroline melirik jam dinding. "Belum. Frans bilang dia baru akan mulai masak sebentar lagi."
"Bagus kalau begitu," Pratama tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Aku juga lapar. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu tentang laporan proyek kita yang baru."
Malam itu, di meja makan yang dihiasi hidangan sederhana namun lezat, Pratama mulai berbicara tentang pekerjaannya. Lagi-lagi ia hanya bisa mencari topik dengan kerjaan. Satu-satunya topik yang akan membuat tatapan Caroline lebih serius dan mau berbicara banyak, menyuarakan idenya.
Frans merasa tidak enak hati untuk mendengarkan hal seperti itu, memutuskan makan di luar bersama satpam rumah. Sedangkan pelayan lain seperti Pak Jackie dan Bu Ninik baru saja pulang kampung, menitipkan anaknya di rumah ini. Anaknya tentu saja sudah istirahat di kamarnya.
"Lin, aku sedang meninjau proposal pengembangan produk lama. Ada satu poin yang menurutku agak mengganjal, di bagian rekapan permintaan pasar."
Caroline meletakkan sendoknya. "Yang mana, Pram?"
"Adanya regulasi baru soal bahan baku sintetis," jelas Pratama, menunjuk sebuah paragraf di tabletnya. "Jatuhnya banyak konsumen yang terbiasa dengan obat lama, menolak merek sama namun kemasan berbeda yang kami keluarkan. Bahkan beberapa apotek juga mengeluhkannya pada sales."
Caroline mengambil tablet dari tangan Pratama, matanya langsung terfokus pada angka dan proyeksi. “Apakah perubahan formulasi, meskipun alasannya regulasi? Kelihatannya, pembeli dan apotek melihatnya sebagai produk yang berbeda, bukan hanya kemasan."."
Pram mengiyakan.
"Kami sudah mencoba kampanye edukasi, menjelaskan bahwa formulasi baru lebih aman dan sesuai standar, tapi tampaknya belum cukup," ungkapnya.
"Tentu saja tidak.”
"Konsumen cenderung skeptis terhadap perubahan mendadak pada produk yang sudah mereka gunakan, apalagi obat. Mereka takut bahwa obatnya tidak memberikan efek yang sama atau ada bahan yang berbeda. Kalian membuat kesalahan dengan tidak mempersiapkan pasar lebih dulu."
Pratama terdiam sejenak, mencerna kata-kata Caroline. Ada benarnya. "Apakah ada pendapatmu soal ini selain kampanye ataupun penyuluhan kecil?"
Caroline melanjutkan, mengambil garpu dan menunjuk ke piringnya seolah itu adalah grafik strategi. "Bukan sekadar edukasi, tapi meyakinkan. Sorot manfaat yang jauh lebih baik, bukan hanya kepatuhan regulasi. Libatkan dokter atau ahli medis terkemuka sebagai endorser. Adakan talkshow kesehatan, sebarkan informasi melalui jurnal ilmiah yang mudah diakses."
“Hmm.. namun anggarannya cukup besar," Pratama mengernyit.
"Tentu," Caroline mengangkat bahu. "Tapi kerugian akibat penolakan pasar akan jauh lebih besar. Kalian juga bisa menawarkan program loyalty atau diskon khusus jika pembelian dilakukan dalam jumlah besar, semisalnya sepuluh box."
Pratama mencatat poin-poin penting di tabletnya.
“Kemudian untuk variasi yang akan kalian lakukan dalam obat asam urat, aku juga memiliki sejumlah pertanyaan.”
Caroline menjeda, meneguk air putih dan melembabkan tenggorokannya.
"Pertama, apakah kalian sudah melakukan studi kelayakan menyeluruh untuk bahan baku alternatif yang akan digunakan? Jangan sampai terjebak pada supplier tunggal dengan risiko monopoli harga di kemudian hari."
Pram mengetuk-ngetuk tabletnya. "Kami memang sudah melakukan screening terhadap beberapa supplier potensial di Asia Tenggara, tidak hanya satu. Tim procurement sedang dalam tahap negosiasi untuk diversifikasi."
"Kedua, bagaimana dengan timeline uji klinis fase I hingga III sekaligus apakah ada pertimbangan untuk penargetan konsumen area di luar Jawa? Potensi pasar di sana mungkin belum tergarap maksimal."
Pratama menghela napas panjang, ia menggulir dokumen lainnya dalam tablet sebelum menunjukkannya pada sang istri.
"Untuk uji klinis, timeline memang akan lebih panjang dengan regulasi baru. Setidaknya 18 hingga 24 bulan untuk menyelesaikan semua fase, dengan asumsi tidak ada kendala signifikan.”
Ia berhenti sejenak, menyesap air. "Mengenai penargetan konsumen di luar Jawa, itu justru menjadi salah satu fokus utama. Kami menjalin kemitraan dengan rumah sakit atau klinik lokal di Sumatera dan Kalimantan."
Percakapan berlanjut tentang strategi bisnis, inovasi, dan efisiensi operasional. Caroline berbicara dan bertanya sesekali.
Dialog mereka terus berkutat pada masalah bisnis dan strategi pasar hingga larut malam. Caroline tetap tenang, mendiskusikan setiap hal dengan detail. Setelah percakapan panjang itu usai, Caroline bangkit, mengumpulkan piring-piring kotornya seperti biasa. "Aku istirahat lebih dulu, Pram."
"Baik, Lin," jawab Pratama, masih asyik membaca ulang catatan di tabletnya. "Terima kasih banyak atas sarannya. Aku akan segera menindaklanjutinya.”
***
Malam-malam berikutnya, pola itu terus berulang. Caroline tetap mempertahankan sikap tenangnya. Ia akan muncul saat makan, berbicara seperlunya tentang hal-hal praktis atau pekerjaan Pratama.
Pratama, di sisi lain, melihat ini sebagai tanda kemajuan. Pratama terus bersikap sabar, penuh perhatian, dan berusaha menanggapi setiap interaksi. Ia tidak pernah absen untuk menanyakan apakah Caroline sudah makan, apakah ia butuh sesuatu, atau sekadar menawarkan untuk menemaninya.
Lagi-lagi mereka duduk berdua di atas meja makan. Caroline, yang sedang sibuk memisahkan tulang dari daging ikan di piringnya, tidak menaruh perhatian banyak. Pram buka mulut, "Lin, aku baru saja mendapat laporan dari tim R&D. Mereka sudah menjalankan apa yang kita diskusikan tempo lalu."
Caroline mengangkat kepala, tatapannya datar. "Bagus kalau begitu. Pastikan mereka melakukan studi kelayakan menyeluruh. Jangan sampai ada celah yang bisa merugikan perusahaan di kemudian hari."
"Tentu saja," Pratama mengangguk antusias.
"Aku sudah tekankan itu. Jujur saja, Lin, masukanmu sangat berharga. Aku merasa... kita bisa bekerja sama dengan sangat baik dalam urusan ini."
Caroline hanya mengangguk kecil, kembali fokus pada makanannya. "Itu memang bagian dari tanggung jawabku, bukan?" suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk didengar Pratama.
Pratama tidak menangkap nada getir itu. Ia tersenyum lega. "Ya, tentu saja. Dan kamu melakukannya dengan sangat baik."
Pram melanjutkan perkataannya, "Frans juga melapor kamu sering di kamar atau di halaman belakang. Mungkin jika ingin keluar, kau bisa memanggil satpam di luar untuk menjadi supirmu, di rumah saja pasti suntuk."
Caroline hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Aku hanya butuh udara segar sesekali. Akan kupertimbangkan."
Setelah makan malam yang diisi percakapan seputar pekerjaan, Pratama, yang masih meninjau beberapa dokumen di tabletnya, berteriak dari ruang makan, "Lin, maafkan aku lagi. Aku mungkin akan lembur di ruang kerja malam ini."
"Baik, Pram," jawab Caroline tanpa menoleh, suaranya seperti gema di lorong.
Caroline berjalan menuju kamarnya. Secara sadar, ia masuk dan mengunci kamar mandi. Suara muntahan yang tertahan memenuhi ruangan, diikuti batuk keras. Ia membersihkan dirinya, menatap pantulan wajahnya di cermin. Kenapa? Kenapa aku seperti ini?
***
Beberapa hari kemudian, saat Pratama sedang terburu-buru menyiapkan diri untuk berangkat ke kantor, Bu Ninik menghampirinya di dapur. "Tuan Pratama, maaf mengganggu sebentar," ujar Bu Ninik, dengan nada sedikit ragu.
"Ada apa, Bu? Apakah ada sesuatu?" tanya Pratama, mengikat dasinya.
"Bukan begitu, Tuan. Hanya saja, akhir-akhir ini saya mendengar suara muntah dari kamar." Berhenti sejenak, mengamati ekspresi Pratama. "Kadang-kadang, piring makan pagi atau siangnya juga saya lihat tidak habis. Dan, belakangan ini, saya sering mendengar suara air mengalir di kamar mandi di tengah malam."
Pratama mengernyitkan dahi. "Muntah? Tidak habis makan?" Ia mencoba mengingat. Benar, Caroline memang makan sedikit, tapi ia mengira itu karena nafsu makannya belum pulih sepenuhnya. Ia juga tidak pernah mendengar suara apa pun dari kamar di malam hari karena ia sendiri sering lembur di ruang kerja.
" Wajahnya terlihat tenang seperti biasa. Itu yang membuat saya sedikit bingung." Bu Ninik menunduk. "Saya merasa sedikit khawatir, Tuan."
Pratama terdiam, dasi yang tadi diikatnya kini terasa mencekik. Muntah? Tengah malam? Ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang selama ini ia lihat. Sebuah keraguan kecil mulai menyelinap ke dalam benaknya, mengoyak permukaan kepercayaan dirinya.
"Terima kasih, Bu. Saya akan perhatikan lebih jauh," jawab Pratama, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia merasa ada benang merah yang ia lewatkan.