follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Sejak obrolan makan siang di kantor itu, kehadiran Rico di rumah Om Amar dan Tante Dina menjadi semakin intens. Alasannya selalu masuk akal, ada dokumen yang perlu diantar ke Om Amar, ada diskusi proyek yang belum tuntas, atau sekadar ingin menjenguk dan mampir. Uniknya, alasan-alasan itu seringkali muncul di hari Sabtu, saat Aruni dipastikan ada di rumah. Padahal dia adalah bosnya.
Om Amar, yang sudah tahu betul maksud di balik kunjungan-kunjungan tersebut, hanya bisa tersenyum dalam hati. Ia sangat mendukung niat baik Rico, teman lamanya yang ia kenal sebagai pria jujur dan bertanggung jawab.
Setelah Rico mengungkapkan ketertarikannya pada Aruni, Om Amar tidak ragu untuk membicarakannya dengan Tante Dina.
"Dina, kamu tahu Rico teman kerjaku kan?" tanya Om Amar suatu malam, saat mereka bersantai di kamar.
Tante Dina mengangguk. "Tentu saja, Mas. Kenapa?"
"Rico itu... dia tertarik sama Aruni," ucap Om Amar perlahan, mengamati reaksi istrinya.
Mata Tante Dina membulat. "Benarkah, Mas? Ya Allah, kenapa tidak dari dulu saja dia datang!" Ia tersenyum lebar. "Aku sih senang sekali, Mas. Rico itu pria baik, mapan, dan kita sudah kenal dia sejak lama. Daripada Aruni terus-terusan murung, kan?"
"Aku juga berpikir begitu," timpal Om Amar. "Tapi kita jangan terlalu ikut campur, ya. Biarkan mereka saja. Kita hanya memberi jalan kepada Rico untuk mendekati Aruni."
Tante Dina setuju. "Setuju, Mas. Kalau memang mereka saling cocok dan akhirnya berjodoh, apa salahnya. Toh Rico adalah pria baik yang sudah kita kenal sejak lama. Aruni juga butuh sosok pendamping yang bisa membimbingnya."
Jadi, setiap kali Rico datang, ia selalu disambut hangat oleh Om Amar dan Tante Dina. Mereka tak pernah menanyai Aruni secara gamblang tentang perasaannya pada Rico, namun mereka selalu menciptakan suasana yang nyaman agar keduanya bisa berinteraksi.
Aruni sendiri tidak menyadari adanya "konspirasi" kecil di balik intensnya kunjungan Rico. Ia hanya berpikir, Rico memang teman baik Om Amar yang kebetulan sedang sering main atau membicarakan masalah pekerjaan. Sebagai bentuk sopan santun, ia pun sering menemui dan berbincang dengan Rico ketika pria itu berkunjung.
"Aruni, ini ada kue yang aku beli tadi. Ayo dicicipi," ajak Rico suatu sore, saat Aruni sedang membaca buku di teras.
Aruni mendongak, tersenyum tipis. "Oh, iya, Ric. Terima kasih."
Rico duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Sedang baca buku apa? Sepertinya seru sekali."
"Ini tentang sejarah Jakarta," jawab Aruni. " Aku Ingin tahu lebih banyak tentang kota yang aku tinggali sekarang."
"Wah, menarik itu. Jakarta memang punya banyak cerita," Rico memulai obrolan.
Ia sering mengajaknya ngobrol untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka berdua. Mereka membahas berbagai topik, mulai dari buku, film, tempat wisata, hingga isu-isu sosial. Rico selalu menemukan cara untuk membuat percakapan mengalir lancar, dan ia selalu memberikan perhatian penuh saat Aruni berbicara.
Rico tidak pernah langsung menyinggung masalah hati atau masa lalu Aruni, melainkan membangun koneksi melalui obrolan ringan yang menarik. Ia kerap bertanya tentang hari-hari Aruni di sekolah, tentang kesulitan yang mungkin ia hadapi, atau tentang cerita-cerita lucu dari murid-muridnya.
"Bagaimana hari ini di sekolah, Aruni? Apa ada cerita seru?" tanya Rico suatu Sabtu sore, saat Aruni baru saja pulang mengajar.
"Ada. Tadi ada murid saya yang lucu sekali, Mungkin karena pelajaran yang aku ajarkan sedikit membosankan, itu membuat dia malah tidur saat pelajaran matematika," Aruni terkikih kecil, menceritakan kejadian itu.
Rico tertawa bersamanya. "Pasti Bu Guru Aruni yang galak ya, sampai muridnya ngantuk," godanya.
"Ih, Mas Rico! Mana ada guru galak kalau muridnya lucu-lucu begitu," balas Aruni, merasakan hatinya menghangat. Rico memiliki cara yang khas untuk membuatnya tersenyum.
Meskipun Aruni masih berusaha menjaga jarak emosionalnya, ia tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Rico membawa kenyamanan. Pria itu tidak memaksa, tidak terburu-buru, dan selalu menghargai ruang pribadinya. Tatapan mata Rico yang teduh dan senyumnya yang tulus perlahan-lahan mengikis dinding pertahanan yang dibangun Aruni setelah patah hati dari Ahmad.
Suatu kali, Rico membawa kue dari salah satu toko roti terkenal di Jakarta. "Ini untukmu. kata Dina, kamu suka kue ini," katanya sambil menyerahkan kotak kue.
"Wah, terima kasih banyak, Ric. Repot-repot saja," Aruni tersenyum.
"Tidak repot kok. Kebetulan lewat," jawab Rico, pandangannya tak lepas dari Aruni. "Senang melihat mu mulai ceria lagi."
Ucapan itu membuat Aruni sedikit tersipu. Ia tahu Rico perhatian padanya, tapi ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Baginya, Rico adalah teman baik, seperti Om Amar. Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, ada sesuatu yang mulai berdesir. Rasa nyaman itu perlahan berubah menjadi rasa tertarik.
Rico sendiri sangat sabar. Ia tahu Aruni butuh waktu, dan ia tidak ingin mengulang kesalahan Ahmad yang terburu-buru. Ia terus datang, terus mengajak Aruni berbincang, dan terus menunjukkan perhatiannya dengan cara-cara yang halus. Ia juga seringkali berbagi cerita tentang pekerjaannya, tantangan yang ia hadapi, dan mimpinya di masa depan. Ia ingin Aruni mengenalnya apa adanya.
Minggu-minggu berlalu, dan Aruni mulai terbiasa dengan kehadiran Rico. Bukan hanya sekadar teman ngobrol, Rico kini menjadi sosok yang ia nantikan kehadirannya. Ia mulai merasa kehilangan jika Rico tidak datang di akhir pekan. Pertanyaan-pertanyaan tentang Rico mulai memenuhi benaknya, Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja?
Suatu sore, saat Aruni sedang menyiram tanaman di halaman rumah tantenya, Rico datang sendirian seprti biasa dengan mobilnya. Ia tidak langsung masuk, melainkan berdiri di dekat gerbang, mengamati Aruni dari kejauhan.
"Sedang apa, Aruni?" suara Rico memecah lamunan Aruni.
Aruni menoleh. "Oh, Rico. Ini, sedang menyiram bunga."
Rico berjalan mendekat, mengambil selang yang dibawa Aruni dan menyemprotkan air ke tanaman di pot lain. "Bunga-bunga ini indah sekali, seperti... pemiliknya."
Aruni tersipu, jantungnya berdebar. Ia menatap Rico, yang kini menatapnya dengan senyum lembut dan mata penuh arti. Ada keheningan yang tiba-tiba terasa begitu dalam di antara mereka berdua. Rico mengulurkan tangan, menyentuh lembut kelopak bunga mawar di dekat Aruni.
"Aruni," panggil Rico pelan, suaranya terdengar lebih serius. "Aku ingin mengajakmu nonton, dan makan malam di luar. Apa kamu mau?" tanya Rico hati-hati.
Keheningan yang mencekam itu tiba-tiba terasa begitu berat, mengisi celah di antara Aruni dan Rico. Kenapa tiba-tiba Rico mengajaknya keluar?
Dan apakah Aruni , mau menerima ajakan Rico yang tiba-tiba itu? Apakah ini kencan dan tidak terburu-buru?