Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANJI DI BAWAH LAMPU KOTA
Hujan baru saja berhenti.
Bekasi berkilau oleh pantulan lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang Jalan Ahmad Yani. Di antara barisan kendaraan yang mulai menipis, seorang pria berdiri memandangi gedung kantor Dirgantara Properti Cabang Bekasi dengan jas hitam yang mulai lembap di bahunya.
Arif Dirgantara tidak seharusnya berada di sini malam-malam begini. Tapi sejak Retno dipindahkan ke cabang Bekasi dua bulan lalu, pikirannya tak pernah tenang.
Setiap laporan kerja, setiap rapat, setiap makan malam keluarga — semuanya hampa.
Ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun.
Di tangannya ada setangkai mawar putih yang sudah sedikit layu. Ia menunggu di bawah lampu jalan, menatap ke arah lobi kantor yang perlahan sepi.
Pukul delapan lewat tiga puluh.
Retno baru keluar, membawa map kerja dan payung lipat yang masih meneteskan sisa hujan. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah, tapi mata itu masih menyala — mata yang dulu membuat Arif jatuh cinta tanpa sadar.
Retno berhenti sejenak ketika melihat sosok Arif berdiri di sana.
“Pak Arif?” suaranya bergetar, setengah tak percaya. “Apa yang Anda lakukan di sini? Ini sudah malam.”
Arif mendekat, menatap Retno tanpa bicara selama beberapa detik yang terasa panjang.
Suara hujan tipis di trotoar menjadi musik latar yang lembut.
“Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan.
Retno mengerutkan kening. “Saya baik. Bekasi tidak seburuk yang Bapak pikirkan.”
“Aku tahu,” jawab Arif, tersenyum kecil. “Tapi tempat ini terlalu sepi kalau kamu tidak di Jakarta.”
Retno menunduk. Ia tahu arah pembicaraan ini, tapi menolak larut. “Pak Arif, saya tidak ingin membuat masalah. Kita sudah cukup jauh membicarakan hal ini sebelumnya.”
“Retno,” potong Arif, suaranya dalam dan bergetar. “Aku tidak datang ke sini untuk membuat masalah. Aku datang karena... aku tidak sanggup lagi pura-pura.”
Ia menarik napas panjang, lalu menatap Retno dalam-dalam.
“Sejak kamu pindah, setiap malam aku merasa seperti kehilangan arah. Aku mencoba fokus pada pekerjaan, tapi di setiap keputusan yang kuambil, aku selalu berpikir... bagaimana kamu akan menilai aku.”
Hening.
Retno terdiam. Payung di tangannya meneteskan air ke trotoar. Ia ingin menolak, tapi kata-kata itu terlalu jujur untuk diabaikan.
“Aku tahu ini gila,” lanjut Arif, suaranya menurun. “Aku anak dari keluarga yang terlalu tinggi menatap dunia. Tapi apa artinya semua itu kalau setiap malam aku merasa kosong?”
Ia mendekat, jaraknya kini hanya beberapa langkah.
“Aku ingin menikah denganmu, Retno.”
Retno menatap Arif dengan mata yang membesar, tak percaya. “Pak... Anda tidak bisa bicara seperti itu. Keluarga Anda—”
“Aku tidak peduli.”
Nada suara Arif berubah tegas, seperti CEO yang menandatangani keputusan besar.
“Aku sudah memikirkan semuanya. Aku tidak ingin hubungan kita sembunyi-sembunyi, tidak ingin lagi sekadar menunggu waktu yang tak pernah datang. Aku ingin kita resmi, sederhana, tapi nyata.”
Retno menelan ludah. Hatinya berdegup cepat.
Ia tahu betul, cinta Arif bukan permainan. Tapi juga tahu, pernikahan dengannya akan mengundang badai yang besar.
“Kenapa sekarang?” tanyanya dengan suara hampir berbisik. “Kenapa harus aku, dari semua perempuan yang bisa kamu pilih tanpa harus kehilangan segalanya?”
Arif tersenyum.
“Karena hanya kamu yang membuat aku merasa jadi manusia, bukan pewaris perusahaan.”
Mereka berjalan menyusuri jalan kecil di belakang gedung. Angin lembap meniup rambut Retno, sementara Arif melangkah pelan di sisinya.
Di bawah lampu kota yang temaram, dua bayangan itu berjalan beriringan — seolah kota yang bising itu lenyap, hanya menyisakan dua hati yang tak lagi peduli pada dunia.
Arif berhenti di dekat jembatan kecil yang menghadap ke sungai. Ia menatap air yang berkilau diterpa cahaya.
“Retno, aku tidak ingin memaksamu. Tapi kalau kamu mau, minggu depan aku akan ke Bandung. Sahabatku di sana bisa membantu mengurus akad sederhana. Hanya kita, dua saksi, dan doa.”
Retno menatapnya lama, tak sanggup berkata apa-apa.
Ia tahu, jika ia berkata ya, maka jalan hidupnya akan berubah selamanya.
Hujan kembali turun, ringan seperti kabut. Retno membuka payung, tapi Arif menahannya.
“Biarkan,” katanya pelan. “Aku ingin mengingat malam ini apa adanya.”
Retno menatap wajahnya — basah oleh hujan, tapi mata itu tak berpaling.
Dan di antara deras air yang turun dari langit, Retno akhirnya berbisik:
“Kalau itu takdir yang kita pilih... maka aku ikut, Rief.”
Arif menggenggam tangannya erat, seolah takut dunia akan memisahkan mereka.
Hujan menetes di antara jari-jari yang saling berpegangan.
Malam itu, di bawah lampu kota yang redup, dua hati bersumpah dalam diam: bahwa cinta mereka akan bertahan, meski langit sendiri menentangnya.
Malam semakin larut. Bekasi perlahan tenang.
Sebelum berpisah, Arif menatap Retno sekali lagi.
“Aku akan menjemputmu minggu depan. Jangan takut apa pun, Retno. Aku sudah siap kehilangan segalanya — asal tidak kehilangan kamu.”
Retno tersenyum lembut, tapi di matanya sudah ada air mata yang belum sempat jatuh.
“Kalau sampai kamu menyesal nanti, jangan salahkan aku.”
“Aku tidak akan menyesal,” kata Arif mantap.
“Karena malam ini, di bawah lampu kota, aku akhirnya tahu arti kata rumah.
menarik