Setelah Lita putus asa mencari keberadaan Tian, suaminya yang tidak pulang tanpa kabar, Lita tidak tahu harus kemana dan bagaimana agar bisa mencukupi kebutuhan hidup karena tidak bisa bekerja dalam kondisi hamil, tetapi juga tidak bisa melihat anak sulungnya kelaparan.
Di ujung keputusasaan, Lita bertemu Adrian, pria yang sangat ia takuti karena rasa sakit dan kekecewaan di masa lalu hingga membuatnya tidak mau bertemu lagi. Tetapi, Adrian justru bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang bertahun-tahun ia cari karena masih sangat mencintainya.
Adrian berharap pertemuan ini bisa membuat ia dan Lita kembali menjalin hubungan yang dulu berakhir tanpa sebab, sehingga ia memutuskan untuk mendekati Lita.
Namun, apa yang Adrian pikirkan ternyata tidak seindah dengan apa yang terjadi ketika mengetahui Lita sudah bersuami dan sedang mencari keberadaan suaminya.
"Lita, jika aku harus menjadi suami ke-duamu, aku akan lakukan, asalkan aku bisa tetap bersamamu," ucap Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HM_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang Ke Rumah Maya
Dua hari sudah kebersamaan Adrian dengan Lita dan Dava. Dua hari juga Adrian merasa hatinya sangat berbunga karena merasa menjadi suami dan ayah yang perhatian, lembut, rajin, sangat menyayangi keluarga, dan sempurna. Apalagi ketika Dava sedang membela ketika Lita memberi panggilan monster atau berkata-kata buruk tentang dirinya, sehingga ia merasa seperti seorang ayah yang sangat dicintai anaknya.
Selama dua hari Adrian selalu bangun lebih awal hanya untuk memandikan Dava dan mengurus keperluannya juga Lita. Lalu setelah merasa ibu dan anak itu rapi, Adrian akan langsung mengantar Dava ke sekolah sampai pergi bekerja.
Siang hari selama bekerja Adrian menyuruh sopir keluarga untuk menjemput Dava lalu diantara ke rumah sakit. Sedangkan untuk merawat Lita, ia membayar seorang perawat untuk menjaganya. Ketika malam hari Adrian akan pulang ke rumah sakit untuk menjaga dan menemani sampai pagi.
Selama dua hari mendekati Lita, Adrian masih sering menghadapi sikap marah, omelan, panggilan monster, dan tatapan kesal, tapi itu semua selalu ia tanggapi dengan senyum meledek atau kedipan mata menggoda karena ia suka kemarahan kekanak-kanakan itu, hingga tidak ada rasa kesal sedikit pun di hatinya.
Pagi ini adalah pagi ke-tiga Adrian bangun tidur di rumah sakit. Ia langsung melakukan kegiatannya mengurus Dava dan Lita. Hanya saja hari ini ia tidak mengantar Dava sekolah karena libur akhirnya pekan. Jadi ia memilih membawa Dava ke rumah Maya agar tidak bosan di rumah sakit terus.
"Ini rumah siapa, Om?" tanya Dava ketika mobil Adrian berhenti di depan pintu gerbang yang sedang terbuka.
"Ini rumah Papa dan Mamaku." Adrian kembali menginjak pedal gas ketika pintu gerbang sudah terbuka sempurna.
"Kenapa kita ke sini? Bukankah tadi Om Adrian bilang kita akan jalan-jalan?"
"Ini juga termasuk jalan-jalan, tapi tujuan jalan-jalan kita kali ini adalah rumah orang tuaku dan rumahku juga, Karena rumahku tidak jauh dari sini."
Dava diam tidak bicara lagi karena ingin menatap semua sudut rumah yang baru ia datangi.
"Bagus sekali rumah ini," batin Dava kagum.
"Ayo turun!" ajak Adrian.
"Apa semua orang di dalam rumah ini adalah orang baik, Om?" tanya Dava karena sedikit takut datang ke tempat yang baru ia datangi.
"Tentu saja. Papa dan Mamaku sangat menyukai anak kecil, jadi mereka pasti akan sangat baik padamu."
"Baiklah." Dava kemudian membuka pintu mobil lalu turun.
Setelah turun dari mobil, Adrian langsung menggandeng tangan Dava untuk berjalan bersama ke dalam rumah.
Setelah Adrian membuka pintu utama rumah, Dava terus memperhatikan detail rumah yang membuat hatinya kagum hingga ingin mempunyai rumah seperti ini.
"Pagi, Ma," sapa Adrian ketika melihat Maya duduk bermain HP di sofa ruang tamu.
Maya menoleh ke sumber suara sambil tersenyum karena ia memang sudah menunggu kedatangan anak pertamanya itu.
"Pagi." Senyum Maya hilang berganti rasa penasaran ketika melihat anak kecil yang Adrian bawa. "Siapa anak ini?"
"Dia anak temanku," balas Adrian sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaan Bertrand.
Maya menatap detail Dava sambil mengerutkan kening karena merasa tidak asing dengan wajahnya.
"Papa di mana?" tanya Adrian hingga membuat Maya mengalihkan tatapannya.
"Papa di halaman belakang bersama Lucy."
"Ya sudah, aku ingin menemui Papa sebentar." Adrian langsung melangkah tanpa melepas genggamannya pada tangan Dava.
"Jangan lama-lama! Mama ingin bicara serius denganmu," ucap Maya.
"Jika tentang Alicia lebih baik Mama telepon dia saja." Adrian menjawab sambil terus berjalan.
Maya tidak terlalu fokus pada jawaban Adrian karena ia terus memikirkan wajah Dava yang tidak asing baginya.
"Kita akan ke mana, Om?" tanya Dava.
"Kita akan ke halaman belakang untuk bertemu Papa dan Adikku."
"Setelah itu kita akan ke mana lagi?"
"Ke rumahku."
Dava kembali diam dan tersenyum mengikuti langkah Adrian.
"Pagi, Papa. Pagi, Lucy," sapa Adrian.
Bertrand dan Lucy yang sedang mengobrol kompak menoleh ke kanan.
"Pagi," balas Bertrand.
Sedangkan Lucy langsung beranjak dari duduknya untuk memeluk Adrian. "Kak Adrian, kenapa baru datang sekarang. Aku sangat merindukanmu."
Adrian membalas pelukan Lucy dengan satu tangan. "Aku sangat sibuk."
"Setidaknya datang sebentar saja ke sini."
"Jika aku sempat, aku pasti datang ke sini."
"Seharusnya Kak Adrian harus selalu utamakan aku."
Adrian tersenyum lalu mencubit lembut pipi Lucy. "Cerewet"
Lucy melepas pelukannya lalu matanya langsung menatap Dava yang hanya diam. "Kak Adrian membawa siapa?"
"Ini Dava, anak temanku."
Lucy langsung berjongkok untuk menyapa Dava. "Hai, aku Lucy. Siapa namamu?"
"Dava." Dava menjawab dengan penuh rasa takut pada orang asing.
Melihat ekspresi ketakutan Dava, Lucy tersenyum semakin lebar karena ia yakin Dava takut karena belum mengenal dekat dirinya. "Jangan takut padaku. Aku ini selalu bisa membuat anak kecil tertawa," hiburnya.
Dava mengangguk sambil mencoba tersenyum.
"Dava, kamu harus beri salam pada Papaku," perintah Adrian lalu kembali menuntun Dava mendekati Bertrand.
"Pagi, Kakek," sapa Dava.
"Pagi juga." Bertrand tersenyum lalu satu tangannya mengusap-usap kepala Dava. "Siapa namamu?"
"Namaku, Dava."
Tidak berbeda dengan ekspresi Maya ketika melihat wajah Dava. Ekspresi Bertrand juga sama, merasa tidak asing dengan wajah bocah kecil itu.
"Kenapa wajahmu mirip dengan Adrian kecil?" ucap Bertrand tak percaya.
Adrian tersenyum mendengar perkataan Bertrand karena hampir semua yang melihat Dava bersamanya pasti akan mengatakan hal yang sama.
Adrian duduk lalu mengangkat Dava untuk duduk di pangkuannya. "Kita duduk sebentar di sini baru ke kamarku," ucapnya.
"Iya, Om."
"Dava anak temanmu yang mana?" tanya Bertrand karena masih tidak percaya wajah bocah itu sama persis seperti Adrian kecil.
"Dia adalah anak Lit—" Adrian menghentikan ucapannya karena teringat ucapan Lita kemarin yang mengatakan tentang kemarahan keluarga dan ancaman hingga ia mengurungkan niat untuk menjawab jujur.
"Dia anak Dokter Mark," ralat Adrian.
Adrian berbohong bukan karena yakin keluarga sudah berbuat jahat pada Lita, tapi ia ingin mencari tahu dulu kebenaran yang terjadi saat ia pergi keluar kota dulu.
"Bukan, Om, nama ayahku bukan Mark," protes Dava yang mengerti pembicaraan Adrian dan Bertrand.
Lucy tersenyum lucu mendengar protes Dava.
"Lalu siapa nama ayahmu?" tanya Bertrand.
"Nama ayahku Tian."
"Maksudnya nama panggilannya Mark," ralat Adrian karena tidak mau ketahuan berbohong.
Dava langsung membuka mulut untuk melayangkan protes, tapi satu tangan Adrian dengan cepat menutup mulutnya agar tidak berkata jujur.
"Dava, apa kamu mau es krim?" tanya Adrian mengalihkan pembicaraan.
Dava mengangguk semangat karena ia bosan berada di tengah-tengah orang dewasa yang tidak ia kenal.
Adrian langsung beranjak bangun meskipun ia masih ingin bersama Bertrand dan Lucy.
"Kakak mau kemana?" tanya Lucy ketika melihat Adrian berdiri.
"Aku ingin ke dapur," balas Adrian.
"Kita baru saja duduk bersama, kenapa kamu pergi?" protes Bertrand.
"Aku harus menuruti keinginan Dava dulu. Nanti aku kembali lagi ke sini," balas Adrian.
Lucy juga berdiri lalu berjalan mengikuti Adrian karena ia masih merindukan kakak laki-laki kesayangannya itu.
Begitu Adrian kembali memasuki rumah, ia langsung menuju dapur, tapi tiba-tiba langkahnya berhenti ketika mendengar tawa yang tidak asing baginya.
"Seperti suara Alicia," batin Adrian.
"Aww!" teriak Lucy ketika menabrak punggung Adrian. "Kak Adrian, kenapa berhenti?"
"Aku seperti mendengar suara Alicia."
"Itu memang suara Kak Alicia."
"Kenapa dia ada di sini?"
Lucy langsung menatap Adrian heran. "Bukannya Kak Adrian dan Kak Alicia datang ke sini karena ingin bicara dengan Mama masalah perceraian?"
"Mama juga memanggil Alicia ke sini?"