Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Belajar menghargai sebelum kamu kehilangan, Mas.
Begitu dokter keluar dari ruang rawat dan memastikan kondisi Tuan Marvionne stabil, Amara menunduk sejenak, lalu melangkah pelan keluar dari ruangan.
Wajahnya tampak letih, mata sembab karena kelelahan. Namun begitu pintu tertutup, bayangan tinggi tegap di sisi lorong langsung berdiri dari tempatnya.
Shaka, melangkah mendekat, wajahnya tegang dan dipenuhi tanya. Suara langkah sepatunya bergema di lantai putih rumah sakit, hingga Amara akhirnya berhenti dan menatapnya datar.
“Aku cuma mau tahu satu hal,” ucap Shaka dengan nada berat. “Apa hubunganmu dengan keluarga Marvionne? Kenapa kamu memanggil Tuan Edward Marvionne dengan sebutan Kakek?”
Amara menatapnya lama, bibirnya menegang. Lalu, perlahan, ia menjawab dengan nada datar namun penuh penekanan,
“Karena memang beliau kakek kandungku, Mas Shaka. Aku adalah cucu dari Tuan Edward Marvionne.”
Shaka tertegun, matanya membulat, seolah kalimat itu sukar dicerna.
“Jadi selama ini ... kamu...”
Amara memotong cepat, “Bukan aku yang menyembunyikan siapa diriku, Mas Shaka. Tapi kamu yang tidak pernah peduli untuk tahu. Kamu bahkan tidak pernah menghargai keberadaanku.”
Kata-kata itu menghantam dada Shaka lebih keras daripada pukulan fisik. Ia mengingat dengan jelas, lima tahun lalu, Tuan Wirantara, pernah menyebut nama keluarga Marvionne dalam pembicaraan serius di ruang kerja.
[Shaka, suatu hari nanti kamu akan dijodohkan dengan gadis dari keluarga Marvionne. Itu kerja sama besar, masa depan perusahaan kita.]
Namun Shaka muda saat itu menolak keras. Baginya, pernikahan tidak lebih dari beban yang memenjarakan kebebasannya. Ia bahkan tidak pernah menanyakan siapa gadis itu. Dan kini, kenyataan itu menamparnya.
Amara, istri yang selama ini ia abaikan, ia anggap wanita biasa tanpa latar belakang berarti, ternyata adalah Nona muda keluarga Marvionne, pewaris dari kerajaan bisnis terbesar yang pernah ingin dijalin keluarganya.
Sebuah bayangan samar muncul di benaknya kejadian lima tahun silam, kecelakaan mobilnya membuat dia mengingat akan seseorang yang menolongnya. Ia hanya sempat melihat sekilas sosok perempuan dengan kalung kecil berbandul sayap perak, sebelum tak sadarkan diri. Shaka menatap Amara dalam diam, lalu perlahan mendekat.
“Jadi ... waktu itu, orang yang menolongku...” suaranya nyaris bergetar, “itu kamu, Amara?”
Amara tidak menjawab, hanya memalingkan wajah, menatap ke arah jendela rumah sakit yang memantulkan bayangan mereka.
“Kalau pun iya, apa bedanya sekarang?” suaranya dingin. “Kapten Shaka bahkan tidak pernah berusaha mengenalku. Dulu aku berusaha menjadi istri yang kamu inginkan, tapi kamu sibuk menilai dari apa yang kamu lihat, bukan dari siapa aku sebenarnya.”
Shaka menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba, tanpa pikir panjang, ia menarik Amara ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, bukan karena keinginan, tapi karena penyesalan yang menumpuk selama ini.
“Maaf...” suaranya serak di dekat telinga Amara. “Aku bodoh, aku terlalu angkuh ... Aku nggak tahu kalau ternyata kamu...”
Amara tidak membalas pelukan itu. Tubuhnya diam, kaku. Tatapannya kosong menembus bahu Shaka.
“Sudah terlambat, Mas Shaka,” katanya datar. “Aku bukan perempuan yang sama lagi.”
Dia lalu mendorong dada Shaka perlahan dan melepaskan diri.
“Sekarang yang aku pikirkan hanya Kakek dan anak yang aku kandung. Kamu tidak perlu ikut campur dalam urusan keluargaku.”
Shaka menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang menyeruak.
“Amara, tolong ... aku hanya ingin menebus semuanya.”
“Kalau kamu benar-benar mau menebus,” ujar Amara sambil menatap tajam, “belajarlah menghargai sebelum kehilangan.”
Setelah mengucapkan itu, Amara melangkah pergi meninggalkan Shaka yang masih berdiri terpaku di lorong. Di tangannya, Shaka merasakan hawa hangat dari tubuh Amara yang baru saja ia peluk, namun kini perlahan hilang, berganti dingin yang menyelinap ke seluruh dada.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya