Lisa Anggraeni , seorang gadis yang tengah berjalan dengan sahabatnya setelah dari aktifitas kuliah mengalami kecelakaan saat dia tengah menunggu bus yang ada di sebrang jalan. Dia menoleh dan melihat ada motor melanu cepat membuatnya mendorong Hani. Dan membuatnya menjadi korban kecelakaan. Lisa yang mengalami luka luka sempat di bawa ke rumah sakit. Namun sayang, saat dirinya sedang di operasi, nyawanya tak bisa di selamatkan.
Lisa yang tahu dirinya mengalami kecelakaan sebelumnya mengira dia selamat, dan berada di salah satu rumah sakit.
Tapi saat dia sadar justru, dia sedang di salah satu ruangan kosong gelap dan pengap.
Namun saat dirinya berusaha mencari jalan keluar, dia justru melihat bayangan seseorang dari kaca hias kecil.
"Aaaaaa... Wajah siapa yang ada di mukaku ini!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adira_Mutiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Baru
rumah sakit,
Keriuhan terasa menggema di sepanjang koridor rumah sakit saat ambulans tiba dengan sirene yang memekakkan telinga. Pintu belakang ambulans terbuka, para petugas medis segera menurunkan sebuah tandu darurat yang menopang tubuh Lisa, gadis yang seluruh pakaiannya tak lagi putih, kini berubah merah oleh darah yang berlumuran. Hani, yang berdiri terpaku di samping, hanya mampu menatap dengan air mata yang tidak berhenti mengalir, tangan tergenggam erat, bibir bergetar seraya berdoa dalam hati agar keadaan tidak lebih buruk dari yang terlihat.
Dengan cepat, Lisa di bawa ke dalam Unit Gawat Darurat, meninggalkan Hani yang kini mondar-mandir di luar ruangan, rasa cemas dan takut bercampur menjadi satu. Setiap detik terasa begitu lambat, menunggu kabar dari dalam ruangan yang terkunci itu.
Suasana menjadi semakin tegang ketika dua orang polisi tiba di tempat kejadian. Mereka mendekati Hani, wajah serius mereka seolah menyiratkan kabar penting. "Kami sudah menangkap pelaku yang bertanggung jawab atas kejadian ini," ujar salah satu polisi dengan nada yang mendayu. Hani, yang mendengar kabar itu, langsung terisak, "Tolong, beri hukuman setimpal karena ulah pelaku itu, pak," pintanya dengan nada memohon, mata sembabnya menatap dalam ke arah polisi, mencari secercah keadilan di tengah kekacauan yang terjadi.
Tak lama, pintu IGD terbuka, seorang perawat keluar dengan wajah terlihat serius. Hani segera mendekat meninggalkan polisi yang juga ikut mendekat ke arah perawat itu.
"Anda hani? "
"Saya"
"Pasien ingin bertemu"
Suasana di ruang IGD tegang dan penuh kecemasan. Hani yang baru saja mendengar permintaan perawat langsung berlari memasuki ruangan tersebut. Matanya langsung terarah pada Lisa yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Hani tergagap, tak sanggup menutupi rasa panik dan takutnya saat melihat sahabatnya dalam kondisi kritis.
"Li... Lisa," suara Hani bergetar, penuh kekhawatiran.
Lisa menoleh dengan susah payah, matanya redup namun masih mencoba memberikan senyuman yang paling hangat yang bisa ia berikan dalam kondisi seperti itu. "Aku mau minta tolong," suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah kebisingan ruangan itu.
"Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan?" tanya Hani, matanya berkaca-kaca, hatinya berdebar kencang menunggu permintaan Lisa yang tampaknya sangat penting.
Lisa menggenggam tangan Hani, cengkeraman yang lemah namun penuh dengan urgensi. "Titip Hanum ya. Aku udah ga kuat," ucapnya dengan napas yang semakin berat.
Hani menatap Lisa dengan mata yang terbelalak, rasa sakit dan ketakutan menghujam jantungnya. Ia tahu betapa dekatnya Lisa dengan anak semata wayangnya, Hanum. Permintaan itu seperti pengakuan bahwa Lisa mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi. Hani mengangguk, bibirnya bergetar, menahan isak tangis yang ingin meledak.
"Iya, Lisa, aku janji akan jaga Hanum sebaik-baiknya. Kamu tenang saja, dia kan anak aku" kata Hani, suaranya serak oleh emosi yang mencoba ia tahan.
Lisa tersenyum lemah, matanya perlahan terpejam, seolah-olah mendapatkan sedikit kedamaian setelah mendengar janji dari Hani. Hani terduduk di samping tempat tidur Lisa, tangan Lisa masih dalam genggamannya, berharap keajaiban akan terjadi meski realita pahit terus menghantui setiap detik yang berlalu.
Lisa membuka matanya dan menatap ke langit-langit kamar rumah sakit dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bayangan wajah Hanum gadis kecil berambut hitam dan senyum cerah terpampang jelas di benaknya. Meski Hanum bukan darah daging Hani, kasih sayang yang terpancar dari Hani begitu tulus, seolah gadis itu adalah anak kandungnya sendiri. Lisa pun merasakan hal yang sama, hatinya penuh dengan cinta dan kehangatan yang tak terucapkan untuk Hanum, seperti adik yang sangat ia lindungi.
“Lisa, aku ada hadiah buat Hanum di tas ini,” ucapnya dengan suara yang serak dan napas terengah-engah, tangannya gemetar saat mengulurkan sebuah tas kecil. “Tolong terima ya... Aku juga punya tabungan, tolong kamu yang pegang. Terserah kamu mau pakai tabungan itu untuk apa,” lanjutnya, kata-katanya tercekat oleh rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Suara nyaring dari monitor yang terhubung ke tubuh Lisa tiba-tiba menggema memenuhi ruangan. Garis di layar berubah menjadi lurus tanpa denyut, seolah menggambarkan keheningan yang menakutkan. Lisa menutup matanya perlahan, seakan ingin menyimpan momen terakhir itu bersama bayangan Hanum yang tetap menghiasi pikirannya.
"Lisaa... Engga engga Lis... Dokt,, dokter" Teriak Hani yang masih menggenggam tangan Lisa.
*
*
Di suatu tempat,
Seorang gadis cantik membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa lemas saat mencoba duduk. Suara burung berkicau dan desiran angin menyapa telinganya, namun yang terlihat di sekelilingnya adalah taman yang asing, rumput hijau terhampar rapi, bunga-bunga bermekaran dengan warna mencolok, dan bangku-bangku kosong yang tertata rapi di bawah pepohonan rindang. Hanya dia seorang yang berada di sana, kesunyian menyelimuti tanpa ada seorang pun yang lewat.
“Ini... ini di mana?” suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang ragu. Ia menatap sekeliling dengan mata yang mulai membelalak, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia tiba-tiba terbangun di tempat ini.
Ketika ia menggerakkan tangannya, matanya membelalak lebih lebar. Tangan itu, putih, halus, dan tak seperti miliknya yang selama ini biasa ia lihat di cermin. Jari-jarinya tertutup kuku berwarna merah menyala, warna yang sama sekali asing baginya karena ia ingat betul kuku jarinya selalu polos dan bersih tanpa cat.
“Looh... kenapa tangan gue putih begini?! Ini jari-jariku yang mana di tangan gue?!” Ia menatap tangan itu dengan campuran kebingungan dan panik, jari-jarinya bergetar kecil saat disentuhnya berulang kali, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukanlah mimpi.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, dada terasa sesak. “Ini tangan siapa? Ini bukan tangan gue!” gumamnya dengan nada hampir putus asa, tubuhnya bergemetar saat kenyataan aneh itu perlahan menjerat pikirannya, bahwa dirinya berada di dunia yang asing, dengan tubuh yang bukan miliknya.
Lisa menepuk pakaiannya yang kotor perlahan, langkahnya sedikit gemetar dan berat, seolah setiap jengkal tanah menuntut tenaga ekstra. Pusing yang menusuk di pelipisnya membuat pandangan menjadi kabur, membuat tiap detik terasa seperti tarian bayangan yang menyesatkan. Suasana koridor sekolah yang biasanya ramai kini berubah menjadi sunyi mencekam, hanya terdengar gema langkah kakinya yang tersisa. Dinding-dinding putih yang dingin dan lampu neon yang redup menambah kesan asing dan menyesakkan.
Gumamnya nyaris tak terdengar, "Ini dimana? Apa gue lagi mimpi ya." Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan dan ketakutan yang merayap di hatinya. Dengan tangan gemetar, Lisa menyusuri koridor panjang itu, matanya mencari-cari petunjuk di setiap sudut, tapi yang didapat hanyalah bayangan kosong dan suara hampa.
Saat pandangannya terpaku pada papan bangunan sekolah, sebuah kaca besar terpajang di hadapannya. Bayangan samar seorang wanita di balik kaca itu perlahan membentuk sosok yang begitu familiar namun asing. Mata Lisa membesar, jantungnya berdegup cepat tak terkendali. "Siapa wanita itu!!" bisiknya, langkahnya beringsut mendekat, tangan terulur seolah ingin menyentuh bayangan itu dan menghapus rasa takut.
Tiba-tiba, sosok dalam kaca itu bergerak, wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh ketakutan dan teriakan yang tak bisa dijelaskan. Lidah Lisa kelu, napasnya tercekat, lalu suara teriakannya meledak, "Aaaaaarrghh!" Ia berbalik dan berlari panik, tubuhnya gemetar hebat, dada sesak oleh kecemasan yang mencekam. Setiap langkahnya dipenuhi oleh desakan ingin lari dari kenyataan yang tak bisa ia pahami, meninggalkan jejak ketakutan yang membekas di setiap sudut koridor itu.
"Enggak... Enggak.. Pasti ini mimpi.. Hani, kamu dimana Hani,"
Lisa berlari tanpa arah yang jelas, napasnya tersengal dan keringat membasahi dahinya. Kepalanya terasa berdenyut tajam, seolah ada badai di dalam pikirannya. Saat melewati sekelompok siswa di lapangan basket, tubuhnya yang linglung tanpa sengaja mendorong beberapa dari mereka hingga terkejut dan mundur langkah.
"Itu Rubby, kan?" suara seorang pemuda terdengar dari belakang, nada bicaranya penuh heran sekaligus sedikit jengkel. Lisa semakin panik, matanya yang berkaca-kaca berkeliling mencari jalan keluar, tapi malah bertabrakan dengan sosok yang lebih besar.
Tangan kuat mencengkeram pergelangan Lisa, menariknya sampai tubuh mereka hampir bertabrakan. "Nggak usah cari perhatian ke gue lagi, Rubby," desis pria itu dengan nada dingin dan tajam, seolah menyembunyikan kemarahan yang membara.
Lisa menatap pemuda itu dengan alis berkerut, matanya berusaha menangkap wajah yang seolah sudah sangat dikenalnya tapi terasa asing. "Rubby!" suaranya tercekat, penuh kebingungan dan ketakutan.
Tiba-tiba, kepala Lisa seperti diremas, nyeri yang menusuk membuat ingatan-ingatan lama berhamburan ke permukaan, fragmen wajah, suara, dan peristiwa yang selama ini ia coba lupakan. Tubuhnya gemetar, dan pandangan mulai mengabur, seolah dunia di sekitarnya runtuh perlahan.
"Aaarrgghhhh,, "