Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.9 Kehancuran Klan Bunga Persik
Xio Lun membuka mata perlahan setelah ledakan batin yang menghentakkan jiwa dan tubuhnya. Di udara menggantung sisa-sisa kilau emas dan baja dari energi naga yang baru saja melewati tubuhnya. Ia berbisik lirih, suaranya seperti gema di antara pohon-pohon gelap:
“—Tulang Naga Baja… Ranah Jiwa Sejati… kekuatan ini… luar biasa.”
Di dalam kepalanya, suara dewa perang — yang selama ini menuntunnya — bergema lembut namun tegas, seperti bayangan tua yang menepuk pundaknya.
“Kau baru saja menapaki pintu, pewarisku. Ini belum seberapa. Carilah artefak-artefakku — temukan baja emasku, tempa tulang emas, lalu berlian. Dalam hayatku sendiri aku belum sanggup menempanya sempurna. Dengan tekadmu, kau bisa menembus alam para dewa.”
Suara itu menghilang seperti asap, memberi ruang pada Xio Lun untuk menghela napas panjang. Ia berdiri, menatap ke kejauhan. Mata naga di dalam dirinya berkaca-kaca, campur aduk antara dingin dan bara.
“Ayah… Ibu…” gumamnya pelan, suaranya pecah oleh emosi. “Dengan kekuatan ini aku akan… menuntut keadilan. Aku akan membalas untuk kalian.”
Lalu sejenak ia menyebut nama asalnya, sebagai pengikat janji pada akar dan darahnya sendiri.
“Klan Lembah Seribu Pedang… Tetua Yumeng… aku tidak akan pernah melupakan asalku.”
Namanya keluar seperti sumpah.
Ia mengingat wajah ayahnya, Xio Wu, yang gugur dalam konspirasi — ingatan itu kembali menyulut bara dingin di dadanya. Di benak Xio Lun seperti tersusun wajah-wajah yang pernah menjadi keluarganya: para tetua yang membimbing, murid-murid yang bersaing, canda tawa sebelum dikhianati oleh ambisi dunia.
Di antara ingatan itu muncul nama-nama yang selama ini mengikat jalannya:
Patriak Klan Lembah Seribu Pedang — Tetua Yumeng;
Para tetua yang menjadi tulang punggung klan: Tetua Han Mu, Tetua Qing Ze, Tetua Rong Tai;
Dan murid-murid elit yang dulu mengejarnya hingga ia terjatuh ke Jurang Iblis — para pengejar itu kini menjadi bayangan kelam masa lalunya: Lu Feng, Bai Shen, Mei Kuan, Zhao Er.
Ia menelan ludah. Nama-nama itu mati-matian cinta dan pengkhianatan, pengabdiannya sendiri kini bercampur darah dan bara.
Dari kejauhan, ia menangkap sesuatu—asap tebal yang membumbung tinggi. Hitam, pekat, memaku langit seperti tiang duka. Jantungnya seperti disayat.
Asap itu berasal dari arah yang pernah ia sebut rumah: Klan Bunga Persik.
Tanpa ragu, Xio Lun menyebarkan kesadaran jiwanya, memancarkan titik-titik kecil detak pengindraan ke segala arah. Cahaya spiritualnya merayap ke utara, ke selatan—berusaha meraba jejak.
Matanya membelalak saat apa yang dirasakannya menjadi jelas: kehancuran total. Jejak energi yang tertinggal bukan saja bara dari peperangan—ada cap energi yang jauh lebih pekat, dingin, seperti tangan raksasa yang mematikannya. Cap itu bergetar pada ranah tinggi—di puncak ranah jiwa: Ranah Jiwa Ilahi Puncak. Energi itu bukan milik manusia biasa.
“Siapa…?” gumamnya, tak mengerti mengapa kekuatan semacam itu bisa muncul di bentang benua yang selama ini ia kenal.
Kelopak hatinya menegang—kenyataannya nyaris mustahil: sesuatu yang berada di ranah di atas leluhur kini meninggalkan capnya sini; sesuatu yang tak seharusnya berada sedekat ini.
Seketika memori kecil tentang Xi Shi menyalak: wajahnya yang pucat, suara permohonannya, janji-janji yang belum sempat dijawab. Xio Lun mengepalkan tinju, darah di kukunya berkilat.
“Aku pergi,” katanya kepada dirinya sendiri. “Aku harus sampai ke sana.”
Dengan sekali lompatan, ia melesat—ke arah asap hitam itu, ke sisa-sisa rumah yang ia bayangkan masih bernafas.
Sesampainya di sana, pemandangan yang menjalari matanya membuat seluruh tubuhnya nyaris lumpuh: puing-puing yang tadinya indah kini menjadi tumpukan kayu hangus dan batu retak. Bendera-bendera klan terkoyak, tergeletak di tanah yang dipenuhi mayat. Para murid dan prajurit bergelimpangan — beberapa masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan rapuh, banyak yang tak bernyawa. Di antara reruntuhan, sosok yang paling ia kenal membuat dadanya remuk: Patriak Xi Bong — tergeletak di bawah serangkaian balok runtuh, tubuhnya amat ringkih, napas tipis meninggalkan dunia.
Xio Lun berlari, suaranya pecah: “Patriak! Patriak!” Ia menyingkap reruntuhan dengan tenaga baru yang ia miliki, namun terlalu lambat. Xi Bong terbaring tak bernyawa, mata terbuka menatap ke langit seolah menanyakan sebuah dosa. Di bibir Xi Bong masih tersungging kata-kata terakhir yang penuh kebencian dan penyesalan: “Dasar… licik…”
Xio Lun menjerit, suaranya meledak seperti badai. “Ini pasti kerja Klan Tengkorak Merah! Aku akan menghancurkan kalian sampai akar-akarnya!” Ia memandang ke arah utara, ke mana asap membumbung, dan merasakan jejak energi leluhur berkekuatan liar — tetapi lebih dari itu, ada tekanan asing yang menekannya, puncak jiwa ilahi yang menekan.
Sambil terhuyung, ia menoleh—sebuah suara lirih memanggil namanya. Dari balik tumpukan batu seorang tetua yang masih hidup, tubuhnya menipis dan berdarah, suara antara napas berat dan doa.
“Xio Lun… kau… kau anak itu?” suara parau itu. Wajah tetua itu dipenuhi debu, matanya setengah terpejam. Xio Lun segera merunduk, menahan tangan gemetar tetua yang tampak kini seperti sulur terakhir kehidupan klan itu.
“Apa yang terjadi di sini? Apa yang kau lihat? Xi Shi—apa dia—?” Xio Lun menumpahkan satu napas panjang, suaranya serak penuh harap.
Tetua itu mengangkat kepalanya dengan susah payah, tatapannya berkaca-kaca. “Xi Shi… diculik oleh… Tengkorak Merah… Mereka datang bukan sekadar dendam. Mereka diperintahkan. Ada… ada kekuatan dari langit yang turun. Patriak Patriak Xi Bong… dia hampir mengalahkan mereka… namun… aura itu—dari atas—membuatnya tak berdiri. Kami merasakan tekanan Ranah yang belum pernak kami rasakan sebelumnya,. Semua… begitu tiba-tiba.” Suara tetua itu melemah, napasnya semakin tipis.
Xio Lun menunduk, otaknya berputar. Semua yang diceritakan tetua itu seirama dengan rasa yang ditangkapnya: seorang dari ranah langit telah turun, menekan Xi Bong, lalu memberi Hong Ju celah untuk membunuh. Meskipun Hong Ju sendiri berada di ranah leluhur, kekuatan yang menekan Xi Bong bukanlah kekuatan hong ju, melainkan campur tangan yang jauh lebih berbahaya.
Tetua itu melanjutkan dengan suara yang hampir tak terdengar lagi: “Patriak… mampu mengalahkan mereka kalau bukan karena… kekuatan mengerikan itu, Ia menghela napas panjang, matanya kedip satu kali, lalu menatap Xio Lun dengan tajam seolah meletakkan amanat terakhirnya. “Cari… Xi Shi. Dalam tubuhnya… ada… peta dan artefak. Tanpa itu… dunia akan berubah. Pergilah… cepat… jangan biarkan mereka membawa pergi semua harapan kita.”
Xio Lun mendengarkan, setiap kata meresap sebagai belati panas. Ia merasakan dentang sumpah di dadanya. “Dimana mereka?” suaranya rendah.
Tetua itu menunjuk ke arah utara dengan gerak tangan terakhirnya, lalu menutup mata. Nafasnya keluar seperti angin terakhir yang menghilang — tubuhnya menjadi tenang. Kehidupan padam.
Xio Lun terdiam beberapa detik, menelan amarah dan duka. Kepalanya berdengung, tapi satu hal jelas: Xi Shi diculik, Patriak Xi Bong tewas oleh serangan yang dibantu kekuatan Ranah Jiwa Ilahi, Klan Tengkorak Merah bertindak atas perintah pihak yang lebih tinggi — pihak yang mengincar peta harta dan artefak kuno dalam tubuh Xi Shi. Di dalam dadanya, bara tekad menjadi kobaran.
Ia menunduk pada jasad tetua yang baru saja pergi, lalu berdiri. Angin malam mengibaskan rambutnya, mata naga di dalamnya menyala.
“Baik,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Untuk ayah… untuk ibu… dan semua yang mati… dan untuk Xi Shi—aku akan menebusnya. Aku akan menebas akar mereka hingga tak tersisa. Jika mereka mengundang dewa sekalipun, akan kupatahkan punggungnya.”
Dengan itu Xio Lun mengumpulkan sisa-sisa energi naga yang masih mengalir di tubuhnya, memusatkan jiwa pada satu titik: arah ke utara, ke tempat asap hitam masih menjulang seperti ungkapan malapetaka. Ia melesat, tubuhnya membelah malam, bayangannya menjadi mata pedang yang memburu balas.
Catatan ringkas
Klan asal Xio Lun: Klan Lembah Seribu Pedang
Patriak Klan Lembah Seribu Pedang: Tetua Yumeng dia yang menyebabkan xio lun sampai ke hutan terlarang
Para tetua klenya (yang disebut di atas): Tetua Han Mu, Tetua Qing Ze, Tetua Rong Tai
Murid elit yang dulu mengejar Xio Lun hingga ia terjerumus ke Jurang Iblis: Lu Feng, Bai Shen, Mei Kuan, Zhao Er
Orang tuanya: Xio Wu (ayah, sudah tewas dalam konspirasi), Lunting (ibu) masih jadi misteri nasibnya