Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERASAAN ANEH
Livia tersenyum tipis memandangi putranya, tapi matanya mulai sayu.
"Bu?" suara suster terdengar khawatir.
Tiba-tiba Livia menggigil. Dadanya naik turun tak teratur. Monitor detak jantung berbunyi keras.
"Tekanan darah turun! Saturasi drop!"
"Pendarahan!" pekik dokter.
Darah merembes cepat dari bawah selimut. Wajah Livia makin pucat. Bibirnya membiru. Tangannya dingin.
"Cepat bawa ke ruang operasi! Siapkan transfusi!"
Elis yang melihat dari luar pintu langsung menjerit. "Ibu!"
Sementara bayinya menangis di inkubator. Sangat nyaring. Seolah tahu... ibunya sedang bertarung antara hidup dan mati.
"Mommy... minta maaf ya, Nak..." gumam Livia lirih, di antara kesadarannya yang masih tersisa.
Elis yang menyaksikan dari balik tirai menangis terisak. "Bu... Bu Livia... jangan tinggalin bayinya, Bu..." Ia menatap lemah tubuh majikannya yang kini nyaris tak bergerak.
"Detak jantung melemah, Dok!" teriak suster lainnya.
"Pasien syok pasca persalinan! Segera tambah oksigen dan siapkan transfusi!"
Sementara itu di luar ruangan, Elis yang takut terjadi apa-apa pada Livia, terpaksa harus mengingkari janjinya.
Dengan berat hati, Elis harus menelepon Sean yang nomornya masih ia simpan. Ia tak tahu lagi siapa yang harus dihubungi selain Sean.
Dengan tangan gemetar, Elis me-scroll handphone-nya
mencari nama 'Tuan Sean'. Seperti itu nama yang tercantum di daftar teleponnya.
Elis terus menangis ketakutan. Hingga saat ada jawaban dari Sean, tangis Elis semakin keras.
"Tuan Sean... ini Bi Elis. Bu Livia..." belum selesai bicara, tangisnya kembali pecah.
"Bi Elis, ada apa dengan Livia?" terdengar nada panik dari suara Sean.
Tapi Elis sudah tak mampu menjelaskan. Ia hanya terus menangis.
"Oke, kalau gitu share posisi kamu. Sekarang juga saya akan datang."
Elis pun langsung share location via aplikasi WhatsApp.
Sean menerima lokasi yang dikirim Elis. Dia sangat
Kaget saat mengetahui kalau itu adalah alamat sebuah rumah sakit bersalin di Bali. Dia menggerakkan jarinya, menghitung jumlah bulan yang sudah dilalui sejak Livia hamil di awal bulan.
Sean yakin, sekarang adalah bulannya Livia melahirkan.
Ada rasa bahagia menjalar di hatinya. Tapi saat mengingat tadi Elis menangis histeris, raut wajah Sean langsung berubah.
"Apa terjadi apa-apa saat Livia melahirkan?"
gumamnya resah.
Lelaki itu langsung memesan penerbangan paling cepat menuju Bali. Sepanjang perjalanan ke bandara, ia tak henti menatap layar ponselnya, menunggu kabar dari Elis. Jantungnya berdebar tak karuan. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah Livia yang tengah tak berdaya. Lemah, pucat, dan sedang berjuang antara hidup dan mati.
Livia sudah kembali ke ruang ICU. Dia sudah selesai menjalani operasi. Namun kondisinya masih kritis. Ia belum sadarkan diri. Tubuhnya dipenuhi selang dan kabel alat medis. Monitor jantung memancarkan garis-garis tak stabil, naik turun dalam irama yang membuat semua orang menahan napas.
"Bu Elis..." dokter memanggil pelan.
"Kondisi Bu Livia belum stabil. Kami sudah melakukan tindakan maksimal, tapi semuanya tergantung kekuatan fisik dan kemauan beliau untuk bertahan."
Elis hanya mengangguk pelan sambil menghapus air matanya. Ia menatap Livia dari balik kaca jendela ICU.
"Tolong bertahan, Bu... Dedek bayi butuh Ibu..."
Beberapa jam kemudian, suara sepatu berlari menggema di lorong rumah sakit. Sean tiba dengan memburu, wajah panik, mata liar mencari-cari sosok yang ia kenal.
"Bi Elis!" serunya saat melihat wanita itu di depan ruang ICU.
Elis berdiri buru-buru. "Tuan Sean..."
"Apa yang terjadi? Gimana Livia?" suara Sean bergetar.
Elis tak mampu menjawab, hanya menunjuk ke arah ruang ICU.
"Bu Livia baru selesai dioperasi... tapi masih kritis..."
Sean menghampiri kaca ICU. Napasnya tercekat saat melihat Livia tak berdaya di balik dinding kaca. Tubuh perempuan yang dulu penuh semangat itu kini terbaring kaku. Pucat, tak bergerak. Hanya suara mesin-mesin medis yang terus berdetak sebagai bukti bahwa nyawanya belum pergi.
Ia menempelkan telapak tangan ke kaca. "Livia... aku
Di sini."
Dalam ruang ICU, seolah Livia mendengar. Tangan kirinya yang semula diam, tiba-tiba sedikit bergerak. Monitor jantung berbunyi pelan. Detaknya sedikit meningkat.
Sean terpaku. "Dia dengar aku?" gumamnya.
Sean lebih mendekat lagi. "Livia... kamu kuat! Ayo bangun. Kamu tidak sendiri!" Sean menitikkan air mata.
Elis ikut menangis lagi melihat Sean begitu hancur.
Livia menggeliat sangat pelan. Bibirnya bergetar, meski tanpa suara. Kelopak matanya berkedut.
"Pasian bergerak!" ujar suster, tegang tapi sekaligus haru.
Sean menempelkan tangannya erat di kaca. "Aku tak akan ke mana-mana, Liv. Aku akan terus di sini sampai kamu bangun. Kalau perlu aku akan mengikatmu, supaya kamu tak bisa pergi lagi dari aku!"
Dan di ruangan bayi, tangisan bayi Livia terdengar lagi. Sangat nyaring dan memilukan. Begitu menyayat, seolah memanggil nyawa sang ibu untuk kembali.
Hati siapa yang tak merasa pilu saat melihat dan mendengarnya. Termasuk dokter Chiara Devandhitta, yang tadi menolong persalinan Livia.
Dia membuka sneli yang dipakainya dan menyampirkannya di atas kapstok. Lalu dengan hati-hati mengambil bayi Livia dari dalam boks bayi dan mulai menimangnya.
"It's okay, boy. Mamamu akan baik-baik saja. Dia wanita yang kuat. Doakan dia, ya!" ucapnya lembut, seperti berbicara pada seseorang yang mengerti ucapannya.
Ajaibnya, bayi itu berhenti menangis. Matanya yang terbuka menatap sang dokter. Seakan ingin meminta tolong untuk menyelamatkan ibunya.
Setelah beberapa saat ditimang dokter Chiara, bayi itu tertidur. Lalu seorang suster menemuinya.
"Dok, pasien Bu Livia sadar," katanya.
Dokter Chiara mengangguk dan langsung keluar dari ruangan bayi menuju ruang ICU.
Sementara itu, Sean masih tak bergerak dari depan kaca ruang ICU. Elis yang berdiri di sampingnya pun tak kalah cemas.
"Tadi sebelum operasi dilakukan, samar-samar saya mendengar Bu Livia sempat bilang minta maaf ke bayinya."
Sean mengepal tangan. "Kalian pergi dari Jakarta tanpa bilang apa-apa. Setelah semua yang saya lakukan, dia pikir saya akan membiarkan dia sendirian?"
"Tidak begitu..." gumam Elis pelan. "Bu Livia pergi karena dia tidak ingin menjadi pengganggu di antara Anda dan Bu Natalia."
"Omong kosong, aku nyaris seperti orang gila mencarinya."
Elis terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Sean kembali menatap ruang ICU dalam diam.
Kemudian, pintu ICU terbuka. Dokter Chiara keluar dengan masker masih terpasang.
"Bu Elis?" panggilnya.
"Iya, Dokter?" Elis langsung menyambut.
"Pasien sudah keluar dari masa kritisnya. Tapi kondisinya masih lemah. Kami akan observasi intensif di ICU selama 48 jam ke depan."
Sean mendekat. "Saya boleh lihat dia?"
Dokter mengangguk. "Sebentar saja. Dia masih setengah sadar."
Sean mengangguk dan berjalan pelan masuk ke ruang ICU, menghampiri ranjang tempat Livia terbaring. Wajah itu masih pucat, matanya terpejam, tapi napasnya sudah lebih teratur.
"Livia..." bisiknya lirih.
Tangan Livia bergerak sedikit, dan kelopak matanya bergetar.
Perlahan, Livia membuka matanya. Pandangannya buram, tapi ketika melihat siluet Sean, matanya melebar sedikit.
"Pak Sean..." suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa... Anda di sini?"
Sean mendekap jemari Livia lembut. "Karena kamu penting. Karena kamu tidak seharusnya hadapi semua ini sendiri."
Air mata Livia mengalir. "Saya... saya pergi karena tidak ingin terus-terusan menyusahkan Anda..."
"Kamu sama sekali tak pernah menyusahkan aku.
Kamu tahu, saat kamu pergi lah, aku jadi susah. Aku hampir seperti orang gila mencarimu. Kamu tahu tidak, kalau aku sangat khawatir padamu," ucap Sean sedikit emosional. Tapi tatapannya begitu lembut.
Livia balik menatapnya, lemah. Matanya sayu, tapi hangat. Tangis kecil mengalir di sudut pipinya.
"Bayiku... apa dia baik-baik saja..." gumam Livia.
Sean mengangguk. "Anakmu sama sepertimu. Dia sangat kuat dan dia baik-baik saja."
Sudut bibir Livia terangkat membentuk senyuman. Meskipun samar.
Sementara itu, di rumah Ishana, acara masih berlangsung. Para tamu yang tidak banyak tengah menikmati hidangan sederhana yang disediakan oleh tuan rumah.
Ishana dan Keysha tampak begitu bahagia. Tapi tidak
Dengan Alex. Seperti ada yang dipikirkan. Entah kenapa dadanya terasa sesak dan dia seperti kesulitan untuk bernapas. Yang anehnya, bayangan Livia terus menari di pelupuk matanya.
"Livia..." desah hatinya.
"Papa... aku mau makan..." rengek Keysha manja sambil menarik-narik tangan Alex.
Untuk pertama kalinya, Alex merasa jengah. Tanpa sadar, dia menepiskan tangan Keysha, membuat gadis kecil itu kaget dan kecewa.
Menyadari itu, Alex langsung menggendong anak itu dan memeluknya dengan sayang.
"Ayo kita ambil makanannya."
kewajiban x mendampingi suami ..
semoga selalu rukun ,saling melengkapi
kekurangan masing 2 ...