Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Jeremy, ayah mereka, hanya mengangguk ramah, sementara Dasha membalas dengan senyum gugup. Ia tak menyangka keluarga Issa masih menyambutnya sehangat ini setelah semua yang terjadi lima tahun lalu.
“Ayo duduk, makan bersama kami,” ujar A
Jeremy lembut.
Issa menarikkan kursi untuk Dasha, di tempat yang dulu selalu menjadi kursinya setiap kali mereka makan di rumah ini.
Mereka makan dalam diam, lalu berpindah ke ruang tamu setelah selesai.
“Aku kangen banget, Dasha! Sudah lima tahun sejak terakhir kali kita ketemu. Kamu menghilang tanpa jejak! Syukurlah kamu kembali. Lihat, wajah kakakku tidak se-stres dulu. Pasti karena kamu,” canda Indie menggoda.
Dasha menatap Issa tanpa tahu harus berkata apa. Lelaki itu langsung berdiri dan berkata, “Permisi. Kami perlu bicara sebentar di kamarku.”
Semua mengangguk, tapi sang nenek menimpali, “Aku ingin bicara empat mata dengan Dasha setelah itu. Kita masih banyak yang perlu dibahas, sayang.”
“Baik, Grandma Poppy,” jawab Dasha lembut.
Begitu pintu kamar tertutup, Dasha langsung bicara, “Apa yang harus kukatakan nanti, Tuan? Bagaimana kalau kita ketahuan?”
“Jadilah dirimu sendiri, Dasha. Dan berhenti memanggilku Tuan. Itu mengganggu.”
“Tapi… kau bosku.”
“Aku bosmu, jadi turuti perintahku. Panggil aku Issa.”
“Baiklah, Tuan, eh, Issa.”
“Apapun yang terjadi, jangan mengaku bahwa kita sudah berpisah. Aku tahu kau lembut hati, apalagi pada Grandma. Kalau dia kecewa atau merasa sedih, kesehatannya bisa terganggu. Jadi tolong, bekerjasamalah.”
“Iya, iya. Tapi kalau berpura-pura, apakah itu termasuk melakukan hal-hal yang dulu biasa kita lakukan? Seperti makan malam tiap Jumat atau mengunjungi keluargamu tiap Minggu?” serunya panik.
“Jangan berteriak. Mereka bisa mendengar. Anggap saja kita tak pernah berpisah.”
“Aku tak keberatan, semoga kau juga tidak.”
“Tidak. Sekarang pergilah temui Grandma. Aku ingin beristirahat. Tutup pintunya, dan bangunkan aku kalau sudah selesai.”
“Oke. Tidur nyenyak, Issa.” Ia mematikan lampu dan keluar dengan hati berdebar.
Dasha mengetuk tiga kali pintu kamar Grandma Poppy.
“Masuk, sayang,” terdengar suara lembut dari dalam.
Grandma duduk di atas tempat tidurnya, senyumnya masih sama hangat seperti lima tahun lalu.
“Maafkan aku, Grandma,” itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Dasha. Ia sendiri tak yakin apa yang ia minta maafkan kepergiannya tanpa pamit, atau kebohongan yang sedang ia jalankan bersama Issa.
“Aku masih mengenalmu, bahkan setelah lima tahun. Katakan,” ujar Grandma lembut.
“Aku minta maaf, tapi aku belum bisa menjelaskan. Aku sudah berjanji pada Issa.”
“Aku mengerti. Tapi kau tahu, aku tahu sesuatu yang tidak diketahui siapa pun.”
Darah Dasha terasa berhenti mengalir.
“Aku tahu siapa Lea dan Leo,” kata Grandma tenang.
Bahunya langsung jatuh, matanya membulat.
“G-Grandma…” suaranya bergetar. Ia takut takut anak-anaknya akan diambil darinya, takut semua yang ia sembunyikan selama ini terbongkar.
“Tenang saja, sayang. Aku tidak akan memisahkan kalian. Waktu kau pergi dulu, akulah yang menghentikan penyelidikan Issa. Aku tahu segalanya, Dasha. Tapi tolong, kalau kau sudah siap, perkenalkan mereka pada ayah mereka. Mereka semua berhak saling mengenal. Tidak sekarang, tapi suatu hari nanti.”
Air mata Dasha jatuh tanpa ia sadari.
“Terima kasih, Grandma. Aku tahu kepergianku dulu salah, tapi aku benar-benar terluka waktu itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa.”
Grandma menghapus air matanya dengan lembut.
“Ssst… Aku selalu di pihakmu. Kau sudah seperti cucuku sendiri.”
Mereka berpelukan, lama.
“Aku tahu kalian sebenarnya tidak lagi bersama, tapi aku masih berharap kalian akan bersatu lagi suatu hari nanti,” ucap Grandma kemudian, tersenyum penuh arti.
“Grandma! Kalau Issa dengar, aku bisa dimarahi,” seru Dasha.
“Tak apa. Aku percaya padamu. Tapi bolehkah aku melihat cucu-cucuku? Aku hanya melihat mereka lewat foto, karena aku tak ingin membuatmu khawatir.”
“Tentu, Grandma. Aku akan membawa mereka. Hanya saja aku belum tahu apakah Issa akan mengizinkanku cuti. Aku baru mulai bekerja,” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Biar aku yang bicara. Katanya aku tak boleh kecewa, kan?”
“Ah, Grandma, tetap saja licik,” Dasha terkekeh.
Mereka tertawa bersama. Dasha merindukan perasaan seperti ini.
“Nanti saja saat Natal. Itu alasan paling sempurna. Aku akan mengatur semuanya,” janji Grandma sambil tersenyum nakal.
Beberapa jam berlalu tanpa terasa hingga seseorang mengetuk pintu.
“Masuk,” ujar Grandma.
Issa muncul, masih terlihat mengantuk.
“Kalian belum selesai juga?” katanya sambil mengusap mata.
“Namanya juga kangen,,” jawab Grandma. “Tapi sepertinya kau lebih kangen padanya daripada aku. Sudah, bawa pulang pacarmu. Dasha, datanglah lagi besok, ya?”
“Tentu, Grandma. Terima kasih.” Dasha mencium pipinya lalu berjalan bersama Issa keluar kamar.
“Lama sekali, sudah hampir malam,” ujar Issa dingin.
Ia melihat jam di ponselnya, sudah malam. Belum sempat menelepon anak-anaknya. Mereka pasti khawatir.
“Kalau begitu, aku pulang dulu. Aku jalan ke gerbang, naik taksi dari sana.”
Belum sempat ia melangkah, Issa menarik lengannya.
“Kau pikir mau ke mana?”