Hujan..
Semua pasti pernah mengalaminya..
Ada banyak cerita dibalik hujan, ada cerita bahagia dan tidak sedikit juga yang menggambarkan hujan sebagai cerita sedih..
Hujan..
Yang pasti adalah sesuatu yang menyebalkan..
Tapi arti sesungguhnya dari hujan adalah anugerah TUHAN
HUJAN DI REL KERETA ini adalah sebagian kecil cerita dari yang terjadi dibalik hujan..
Hujan yang awalnya membawa bahagia…
Tapi hujan juga yang merenggut kebahagiaan itu..
Akankah hujan mengembalikan kebahagiaan yang pernah direnggutnya?
Sebuah kisah sederhana, berlatar belakang di sebuah desa terpencil, dengan kehidupan pedesaan pada umumnya.
Semoga bisa menambah pengalaman membaca dan menemani waktu teman-teman semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Toekidjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal
Dalam sebuah acara peluncuran novel, suasana masih sepi karena memang acara tersebut belum dimulai.
Tampak beberapa orang tengah sibuk menata tumpukan novel di atas meja yang bentuknya agak memanjang.
Ada juga beberapa orang sedang memasang banner yang berukuran cukup besar, yang mana banner tersebut dijadikan background panggung.
Banner tersebut berisi beberapa penggalan kalimat dan beberapa foto lukisan kemungkinan adalah menggambarkan isi dari novel yang akan diluncurkan.
Panggung yang tidak terlalu besar dan terlihat sederhana, terdapat dua kursi diatasnya.
Seorang pria dengan setelan tuxedo berwarna coklat, sedang duduk di kursi diatas panggung sambil membaca novel.
Tangan kanan nya memakai sarung tangan, sedang tangan kirinya terlihat lebih aktif membuka halaman demi halaman novel.
Sesekali tangan kirinya menyibakan rambut panjang sedagu dan menyelipkan diatas telinga, karena menghalangi pandangan mata kirinya
Sedangkan rambut di sisi kanan, seperti sengaja dibiarkan tergerai untuk menutupi bekas luka memanjang dari pelipis mata sampai ke atas telinga. yang masih jelas terlihat walau sudah tertutupi oleh rambut.
“Apa semua sudah siap mas?” tanya Eris kearah mas Edi yang terlihat sedang merapikan tumpukan novel di atas meja
“Sudah seharusnya, uda aku sisain juga beberapa novel di sanggar seperti yang kau minta” jawab mas Edi
“Terima kasih mas, rencananya itu akan aku kirim ke beberapa teman” ucap Eris sambil menutup novel yang sedang dia baca
Tangan kanan Eris mencoba untuk menggenggam novel, tapi seberapapun Eris mencobanya hanya mampu membuat jari-jarinya sedikit bergerak, seolah jari-jari tangan kanan nya menolak perintah dari otaknya.
Hal ini membuat pikiran Eris kembali membayangkan kejadian tragis yang menimpanya sepuluh tahun yang lalu, dan kisah inilah yang menjadi latar belakang novel yang akan dirilisnya tersebut.
...****************...
Sepuluh tahun yang lalu
Eris berasal dari sebuah desa pelosok di kaki gunung slamet. Tepatnya di sebuah desa kecil di daerah kabupaten Brebes
Sebuah desa yang masih asri, pepohonan tumbuh dengan rindangnya di kanan kiri jalan yang masih berbatu dan belum teraspal. Udara yang sejuk menenangkan.
Eris tinggal seorang diri di sebuah rumah sederhana, karena kedua orang tuanya pergi merantau. Ditemani neneknya yang tinggal di rumah berbeda tapi masih dalam deret bangunan yang sama.
Sabtu pagi, matahari sudah beranjak meninggi, sinarnya menerobos masuk melalui lubang diatas jendela kamar. Memaksa Eris menarik selimut untuk menutupi matanya, kembali bersembunyi meringkuk dibalik selimut. Tak lama berselang suara langkah kaki mendekat kearah pintu, terdengar ketukan,
“tok-tok-tok, Eris bangun sudah siang” teriak nenek dari dari balik pintu.
“Iya nek” sembari membuka pintu, Eris melangkahkan kakinya menuju tempat duduk diruang tamu.
“Itu sarapan sudah nenek siapkan, kamu buruan makan!” ucap nenek sambil berlalu ke ruang belakang
“Iya, nek” sambil menahan kantuk Eris mengucek-ucek matanya, mulut terbuka lebar terdengar suara huammmm…
Berjalan ke ruang belakang, Eris ke kamar mandi mencuci muka, kemudian melangkah ke meja makan, membuka tudung nasi dan mulai melahap sarapanya.
“Hari ini kamu libur kerja kan, nanti kerumah paman Tasmun ya, anterin barang titipan bapakmu” tanya nenek sambil terus menyapu ruang belakang kearah ruang depan.
“Dimana barangnya, nek?” tanya Eris sembari merapikan tudung nasi dan beranjak ke tempat cuci piring.
Dengan cekatan Eris mulai mencuci piring kotor yang barusan digunakan. Hal seperti ini sudah biasa Eris lakukan, mengingat dia hanya tinggal sendirian dirumah.
“Itu barangnya di kardus samping lemari” jawab nenek
Paman Tasmun adalah rekan kerja orang tua Eris di perantauan, karena masih ada urusan paman Tasmun berangkatnya belakangan.
Pekerjaan orang tua Eris adalah pembuat jamu tradisional dari bahan tanaman obat yang didapat dari para petani di desa, tumbuh liar di hutan, jika ada kekurangan baru beli di toko. Jamu-jamu tersebut dikemas dalam botol kemasan atau diminum langsung.
Setelah merapikan diri, mandi dan berganti pakaian. Eris sudah berada di depan pintu sambil memanggul kardus.
“Saya berangkat ke rumah paman ya nek,” kemudian melangkahkan kaki berjalan keluar rumah.
“Hati-hati dijalan, salam buat pamanmu” seru nenek
“Iya nek” jawab eris
Sepanjang perjalanan Eris hanya diam dan fokus di setiap langkahnya, sesekali tangannya bergantian kanan dan kiri memegangi kardus yang dipanggulnya.
Suasana kampung memang selalu sepi, karena kebanyakan penghuninya berada di ladang atau sawah di siang hari.
Letak rumah paman Tasmun agak jauh, berada di gundukan bukit sebelah. Jadi harus berjalan menuruni bukit, melewati rel kereta api, menyeberangi sungai kemudian melewati beberapa petak sawah.
Saat melintasi rel kereta, Eris agak berhati-hati menengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada kereta.
Masyarakat sekitar sudah memahami betul jadwal kereta api lewat, tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan malam hari. Karena di daerah pelosok, jadi penumpangnya tidak banyak, membuat jadwal kereta disesuaikan.
Walaupun sedikit bahaya tetapi tidak bisa dipungkiri jalur rel kereta ini sangat indah saat dipandang mata, besi sejajar sampai jauh di ujung meruncing menciptakan satu titik yang tidak dapat dijangkau oleh mata.
Kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon yang begitu kokoh dan tampak sejajar, menciptakan pemandangan yang sungguh indah dipandang, bak lorong yang lurus tak berujung. Rel kereta api ini juga persis melintasi area diantara dua bukit yang seolah mengapitnya
“Andai aku punya kekasih, suatu saat nanti aku pasti akan membawanya ke tempat ini” ucap Eris dalam hati
Keluar dari jalur kereta, menyusuri jalan setapak kemudian melewati jembatan kecil dari bambu.
Terlihat beberapa orang sedang sibuk di sawah, ada yang mencari rumput untuk pakan ternak, ada juga yang sedang sibuk bertani.
Tampak di kejauhan rumah paman Tasmun sudah terlihat, Eris mempercepat langkahnya sembari mengatur nafas yang sudah sedikit ngos-ngosan dan berhenti tepat di teras rumah paman Tasmun, menurunkan kardus dari pundaknya perlahan, kemudian duduk bersandar tiang teras rumah.
Waktu menunjukan hampir jam sebelas siang, terik sinar matahari seolah membakar kulit. Sembari mengibas-ngibas kerah bajunya Eris beranjak dari duduknya, berjalan perlahan mendekati pintu kemudian mengetuknya.
“Tok-tok-tok, permisi” ketukan pertama belum ada respon dari pemilik rumah. Eris mengulanginya untuk kedua kali
“tok-tok-tok, permisi paman Tasmun, ini Eris mau antar barang” seru eris sambil sedikit melongok melalui kaca jendela.
“Iya” suara seseorang menyaut dari arah dalam rumah, tidak lama kemudian “cetek” suara kunci pintu dibuka, dan keluarlah seorang gadis cantik, kira-kira seumuran dengan Eris.
“Eh mas Eris, maaf ya mas lama buka pintunya tadi dibelakang bantu ibu beres-beres dapur” seru Alfiah.
“Iya al, ndak apa-apa” jawab Eris.
Alfiah adalah anak pertama paman Tasmun, orangnya cantik kulitnya putih mulus, rambutnya lurus hitam lebat, badanya sedikit bongsor cenderung ke gemuk tapi masih dalam batas wajar.
“Taruh di dekat meja saja mas kardusnya” seru Alfiah, membuyarkan lamunan Eris yang sedari tadi terlihat mematung.
“Eh iya” jawab Eris dengan tergagap. Kemudian berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Alfiah.
Selesai menaruh kardus Eris kemudian berjalan mendekati kursi tamu lalu mulai duduk disana.
“Paman kemana” tanya Eris sambil menyandarkan punggungnya ke bahu kursi.
“Ayah sedang keluar, mungkin sebentar lagi pulang” jawab Alfiah sambil tersenyum “aku buatkan minum dulu ya mas, mau minum apa?” Tanya Alfiah.
“Apa aja deh, yang penting gak ngerepotin” jawab Eris
Tidak berapa lama, Alfiah keluar dengan nampan berisi gelas agak tinggi, terlihat air berwarna hijau ada es batu di dalamnya, bulir-bulir air mulai merembes dari gelas seolah siap melepas dahaga tenggorokan siapa saja yang meminumnya.
“Silahkan diminum mas, adanya ini sirup marjan” Alfiah berkata sambil tersenyum, lebih ke arah menahan tawa sebenarnya.
“Apa sebenarnya yang salah dengan diriku, apa aku salah pakai baju atau apa?” Bisik Eris dalam hati
“Kenapa kamu sepertinya ingin tertawa al, apakah ada yang salah denganku?” tanya Eris sedikit penasaran
“Nggak ada mas, cuman ya itu mas Eris matanya gak lepas melototin minuman yang aku bawa ini, sampai-sampe menelan ludah gitu” jawab Alfiah sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan
“Hahaha” Eris spontan tertawa
“Maaf-maaf, cuacanya panas banget soalnya” jawab Eris
Alfiah yang memang sudah menebak apa yang sedang Eris rasakan dan bersikap biasa aja.
“Silahkan diminum mas” Alfiah berkata sambil menyodorkan gelas minuman
“Iya terima kasih” dengan secepat kilat Eris meraih gelas, kemudian meminumnya teguk dan teguk lagi
“glek-glek-glek, ahhhh… mantab” menyisakan sedikit didalam gelas dan hampir habis.
“Haus ya mas?” goda Alfiah sambil tersenyum
“Hehe, iya” Eris menjawab sembari kembali bersandar di kursi.