"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya.
"Jangan ..., jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lorong kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Ra, gimana mau kan malam minggu nanti jalan? Sekali-kali Ra,"
"Eh lo itu ngajak pergi apa maksa sih ...,"
"Ya,ellah lo cimui ikut nyamber aja,"
"Plak!"
"Auw," ringisnya sambil mengusap pergelangan tanganya.
"Enak aja Lo ngatai gue cimui. Emak bapak gue kasih nama bagus gitu Lo ganti sembarangan."
Rara justru menggelengkan kepala melihat dua sahabatnya bertengkar nggak jelas. Gadis itu masih asik menikmati bekal makanan yang tadi di bawanya. Membiarkan keduanya larut dalam perdebatan.
"Awas aja lo Ra."
Seorang siswi yang memperhatikan bahkan mendengar percakapan mereka. Mengepalkan tanganya erat, kesal marah melihat betapa dekatnya mereka. Terseyum sinis dengan penuh arti.
"Bagaimana Ra, bukankah sekarang jadi lebih menarik. Alden tidak akan lagi mendekatimu jika tahu statusmu."
"Ah ... rasanya aku bahagia," memeluk bantal membenamkan wajahnya. Dalam pikiranya dia sangat bahagia karena lelaki yang di taksirnya sejak lama tidak akan bisa mendekati Rara lagi.
"Tapi bagaimana aku membongkar jika Rara sudah menikah ya?"
"Ah, itu pikir nanti saja. Yang penting sekarang Rara sudah tidak bisa lagi dekat dengan Alden."
*
Di rumah sederhana seorang gadis remaja sudah bergelut dengan aktifitasnya. Dia juga di bantu oleh adik perempuanya, menyiapkan sarapan agar tidak terlambat sekolah. Seperti biasa hanya menu sederhana yang mereka bisa nikmati.
"Dino, kau masih belum siap-siap!" pelan tapi menekan dengan sedikit tegas.
"Iya kak jangan marah, ini Dino mau pergi mandi."
"Cepat! Kakak hari ini ada piket harus berangkat pagi."
"Iya iya kakakku sayang ...," Dino pun beranjak pergi ke arah belakang menyambar handuk.
"Biar nanti berangkat sama aku saja kak."
"Loh kamu juga kenapa belum siap Nin?"
"Kakak lupa yah? Hari ini kan ada acara study tour ke bali." Nina berusaha mengingatkan sang kakak.
"Maaf kakak lupa."
"Nggak apa-apa kak. Kakak nggak usah sedih, Nina juga kan mabuk perjalanan. Jadi emang kemauan Nina juga nggak pengin ikut." Nina bergelayut manja pada sang kakak.
Tanpa mereka sadari semua interaksinya di perhatikan oleh seseorang yang berdiri di ambang pintu. Pria itu ternyata sudah bangun sejak pagi. Karena aroma masakan yang sedikit pedas menusuk hidungnya.
Ketika dia ingin keluar, justru melihat sang istri yang terlihat lembut tapi juga bisa tegas pada adiknya Pria itu masih bersandar di ambang pintu. Wajah datarnya masih fokus pada kedua insya yang sedang duduk di ruang tengah.
"Eh Bang jangan dilihatin terus, Kakakku memang Cantik!" celetuk bocah belasan tahun itu mengejutkan dirinya.
"Kenapa Abang lihat aku seperti itu?" tanyanya bingung yang di tatap Athur.
Sedangkan Athur masih diam seribu bahasa. Memperhatikan sosok Pria di hadapannya, yang seperti tidak ada takutnya. Yang di tatap malah santai sambil mengeringkan rambut.
"Sekolah di mana kamu?" setelah lama memperhatikan akhinya pertanyaan itu lolos dari bibirnya.
"Aku sekolah di SMP Harapan. Kenapa memang?" matanya melirik ke Ahtur.
"De ...,"
Kedua lelaki yang sedang berhadapan menoleh ke sumber suara. Dino meringis memperlihatkan deretan giginya yang tidak begitu rapih. Dia tahu tatapan kakaknya saat ini. Bergegas pergi ke kamarnya, sedangkan Ahtur sama dengan wajah datarnya.
"Eh Mas, udah bangun? Maaf kami berisik yah?"
Athur masih memperhatikan perempuan di hadapanya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Wanita itu mengenakan seragam sekolah SMA. Namun, yang di tatap justru risih, menunduk malu.
"Tidak."
"Kamar mandi di mana?"
"Eh Iya, ayo ku antar," Rara yang bingung awalnya tersadar, kemudian berjalan di depan mengantarkan Athur.
"Ini mas," tunjuk Rara.
"Saya masuk dulu yah." Athur hanya membalas anggukan.
Di dalam kamar mandi, Athur cukup lama. Bukan masalah tidak bersyukur. Tetapi sedikit tidak nyaman ketika dia melihat sekeliling ada beberapa lubang kecil. Athur pun mendekati lubang itu ternyata dari luar orang bisa melihat aktifitas siapa saja yg ada di dalam.
"Sialan tu orang mau apa? Atau jangan-jangan dia pikir aku gadis itu?"
*
"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya
"Jangan ...,! Jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
"Kak." Dino memukul bahu kakaknya yang sudah beberapa kali dia panggil tapi tidak menyahut.
"Kakak sedang melamun apa?"
"Tidak."
"Kakak itu tidak pandai berbohong."
Memang benar yang di katakan Dino dia tadi sedang melamun kejadian kemarin. Rara berfikir bagaimana bisa warga tahu jika saat itu ada pria asing di rumahnya. Sedangkan waktu sudah menunjukan tengah malam. Rara juga masih ingat betul ketika di bantu Dino dan Nina membawa pria itu tidak ada siapapun yang melihatnya.
"Sudah jangan ngelantur. Kakak nggak lagi ngalamun cepat makan trus berangkat sekolah. Ingat jangan buat gara-gara lagi atau kakak akan memasukanmu ke pesantren."
"Iya iya bawel kakak. Bisanya ngancem trus."
Athur masuk dengan wajah segar, rambut yang masih basah. Aura ketampanannya benar-benar mengagumkan. Rara, Dino dan Nina mereka terpukau baru menyadari jika pria itu tampan.
Rara menyadari ada sesuatu yang mengalir di lengan pria itu bergegas pergi. Dino Nina saling pandang melihat Kakaknya pergi mereka masih belum sadar. Mengikuti arah langkah sang kakak pergi.
Athur duduk di tepi ranjang, melihat kearah lengannya di rasa sedikit nyeri dan perih. Entah kapan dan bagaimana tiba-tiba saja Rara sudah ada di sebelahnya. Menyeka darah yang mengalir sedikit di lengannya dan membersihkan luka.
Rara yang merasa sedang di tatap, "Maaf sedikit sakit."
Athur masih diam, memperhatikan wanita di sampingnya tidak lain adalah istrinya. Setelah semua selesai di bersihkan Rara bangun dan beranjak pergi. Namun, tiba-tiba saja pergelangan tanganya di cekal membuatnya berhenti.
"Terima kasih."
Rara terseyum manis begitu tulus, memang yang di lakukannya tulus. "Ayo sarapan dulu Kak, aku harus pergi ke sekolah."
Athur bangkit dan mengikuti Rara tanpa menyahut. Kemudian mereka duduk di ruang makan sederhana. Menu yang terhidang sayur kangkung tempe tanpa tepung dan sayur kuah.
"Maaf hanya bisa masak sederhana. Tapi ini sudah sangat nikma bagi kami." Rara berkata yang melihat Athur dari tadi diam memandangi menu yang ada di meja makan.
Menoleh, sadar jika Rara tadi memerhatikannya. "Tidak apa-apa?"
"Bang, entah aku mau pangggil kamu apa? Walaupun aku masih bocil. Tapi aku tahu apa itu pernikahan. Kami hanya hidup bertiga kakakku sudah sangat susah untuk memenuhi kebutuhan rumah ini. Jadi mohon hargai apa yang ada, dan jangan sakiti Kakakku. Walaupun hanya pernikahan sirih."
Rara dan Nina menatap Dino yang asik menguyah makanannya. Tidak di sangka adiknya yang sering buat kekacauan dia justru mengatakan hal sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran mereka Dino yang merasa di perhatikan menoleh, dengan mulut penuh.
"Kenapa kak? Aku gantengkan?" sambil memainkan alisnya naik turun.
"Ih narsis," ujar keduanya tertawa dengan tingkah sang adik.
"Hahahahah ..."
kok bisa dinikahkan sih ?
Duh kasihan sekali masih muda 17 tahun sudah dinikahkan, terlalu muda sekali, mana suaminya juga baru kenal.....kok begitu sih ?😭