NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:312
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: GEOMETRI DI DALAM GELEMBUNG

Pintu baja bertuliskan "4" itu berdiri di depannya.

Bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah artefak. Sebuah monumen kecil yang menandai perbatasan antara dunia yang dia kenal dan dunia yang telah merusaknya.

Pintu itu *melengkung*.

Arsitek di dalam diri Rania menganalisisnya dengan kengerian yang dingin dan terpisah. Logam itu menonjol ke luar, seolah-olah tekanan gas yang sangat besar telah mendorongnya dari dalam. Cat krem-nya menggelegak dan terkelupas, menampakkan baja telanjang di bawahnya, yang berwarna kebiruan seperti telah dipanaskan dengan obor las.

Dan dari bawah celah pintu, cahaya oranye yang sakit-sakitan itu berdenyut.

*Th-thump. Th-thump. Th-thump.*

Lambat, stabil. Seperti detak jantung yang sangat besar dan sedang tidur.

Amulet obsidian di dadanya terasa panas. Bukan lagi hangat. *Panas*. Panas yang menyakitkan, seolah-olah dia menekan sepotong es kering ke kulitnya. Benda itu bergetar selaras dengan denyutan di balik pintu.

Dia "buta", tapi tidak sepenuhnya. Cahaya dan denyutan ini terlalu kuat. Amulet itu hanya bisa meredamnya, mengubah raungan menjadi bisikan yang pekak.

Dia bisa merasakan Reza, dua blok jauhnya di dalam truk, gemetar di malam yang dingin. Dia bisa merasakan ketakutan temannya sebagai data statis yang samar.

Dia memalingkan muka dari pintu. Dia menyorotkan senternya ke dinding tangga darurat di sekelilingnya.

Minyak hitam itu.

Cairan kental itu menetes *ke atas*.

Dia mengamatinya. Dia memaksa otaknya yang logis untuk memprosesnya. Tetesan-tetesan itu terbentuk di lantai yang licin, lalu *menetes* ke atas, melawan gravitasi, menempel di langit-langit sebelum diserap oleh retakan porselen yang tak terhitung jumlahnya.

*...struktur menuntut keseimbangan...*

Bisikan "Sang Geometer". Lemah, seperti gema dari gema, menembus perisai amuletnya.

Ruangan ini—seluruh bangunan ini—sedang "dikoreksi" secara aktif.

Rania mematikan senternya. Cahaya oranye dari balik pintu sudah cukup untuk menerangi pendaratan kecil itu.

Dia harus masuk.

Dia meraih pipa rebar berkaratnya. Dia bisa saja menghancurkan kuncinya. Tapi itu akan berisik. Itu akan mengumumkan kedatangannya pada... *apa pun* yang ada di dalam.

Dia berjongkok, memeriksa gagang pintu dan lubang kunci.

Logam di sekitar lubang kunci itu sendiri *lunak*. Seperti timah yang dipanaskan. "Koreksi" itu telah merusak integritas strukturalnya.

Dia tidak perlu kekuatan. Dia butuh presisi.

Dia menyelipkan ujung pipanya yang pipih ke dalam celah antara pintu dan kusen, tepat di tempat selot (latch) seharusnya berada. Dia tidak mengungkit. Dia *mendorong*.

Logam yang melunak itu menyerah tanpa suara.

*Klik.*

Pintu itu terbuka. Hanya beberapa sentimeter.

Sebuah hembusan udara panas menyengat wajahnya.

Bau itu.

Itu adalah bau dari Bab 4, tapi diperkuat seribu kali lipat. Ozon yang menyengat, begitu kuat hingga membuat matanya berair. Bau plastik terbakar. Dan bau debu kuno yang kering, yang kini bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang sedikit manis dan memuakkan. Bau tembaga dan... daging busuk.

*Nyonya Tjitro...*

Pikiran itu—sebuah data emosional—menyelinap masuk. Dia membantingnya hingga tertutup. Tidak efisien.

Dia mendorong pintu itu. Pintu itu bergeser tanpa suara di atas engselnya yang bengkok.

Rania melangkah melewati ambang pintu, masuk ke dalam apartemennya.

Masuk ke dalam *Luka*.

Dia tidak lagi berada di apartemen studio yang berantakan.

Dia berdiri di dalam sebuah katedral alien.

Ruangan itu bernapas.

Cahaya oranye yang sakit-sakitan itu tidak datang dari satu sumber. Cahaya itu memancar *dari* dinding itu sendiri. Dinding gipsum yang dulu dia kenal kini telah lenyap, digantikan oleh... sesuatu yang lain. Sesuatu yang organik dan geometris pada saat bersamaan.

Dindingnya *melengkung*. Seperti di ruang bawah tanah Reza. Tidak ada lagi sudut 90 derajat. Seluruh ruangan—yang dulu berbentuk persegi panjang sederhana—kini meliuk dan melengkung dalam sudut-sudut yang mustahil, seolah-olah dia sedang berdiri di dalam kerangka rusuk makhluk raksasa.

Dan dinding itu *hidup*.

Di baliknya, seperti pembuluh darah di bawah kulit tembus pandang, Rania bisa melihat "Ikan Gema" oranye. Mereka tidak lagi berenang bebas. Mereka *terperangkap* di dalam dinding, berenang panik dalam pola-pola yang berulang, membeku dalam arsitektur yang baru. Mereka telah menjadi bagian dari desain.

Minyak hitam itu ada di mana-mana. Benda itu merayap di langit-langit yang melengkung dan menetes *ke atas* dari lantai, berkumpul di satu titik pusat di langit-langit—tepat di tempat retakan porselen pertama kali muncul.

Dan *suaranya*.

Itu adalah *TH-THUMP* yang dia dengar dari luar. Denyutan jantung yang konstan dan dalam, yang dia rasakan di sol sepatunya. Seluruh bangunan berdenyut selaras dengan cahaya oranye itu.

Amulet di dadanya kini *terbakar*. Rasa sakitnya tajam, seperti logam panas menekan kulitnya. Perisainya hampir hancur.

Dia mengabaikannya. Dia harus bergerak.

Dia berjalan ke tengah ruangan. Lantai kayunya yang dulu kini tertutup lapisan tipis oli hitam yang licin.

Dia melihat "dapurnya". Kulkasnya terbalik, menyatu dengan dinding.

Dia melihat "area tidurnya". Rangka tempat tidurnya telah *ditarik* ke atas, keempat kakinya kini menempel di langit-langit, seperti serangga yang mati.

Lalu dia melihat mejanya.

Meja *drafting* kayu solidnya. Lampu *Artemide Tizio*-nya. Buku-buku teks arsitekturnya.

Mereka ada di sana. Relatif tidak tersentuh. Seolah-olah mereka berada di mata badai.

Gema itu... *menghormati* area ini. Atau mungkin, area ini *beresonansi* dengannya.

Dia berjalan ke sana. Minyak hitam itu membelah di sekitar sepatunya, seolah-olah benda itu tidak mau menyentuhnya.

Lampu Tizio itu mati. Tapi buku-bukunya... *Neufert's Architects' Data*... terbuka.

Halamannya terbuka di bagian "Proporsi Ilahi dan Golden Ratio".

"Bima..." bisiknya.

Dia tahu itu. Ini bukan Gema. Ini adalah sentuhan manusia. *Bima sudah ada di sini.*

Dia melihat ke sekeliling, paranoid. Amuletnya membisukan Gema, tapi tidak membisukan *manusia*.

Dia melihatnya. Di sudut, di dekat kusen jendela yang meleleh, sebuah titik hitam kecil yang tidak seharusnya ada. Sebuah lensa kamera mini.

Dan satu lagi, di rak buku, tersembunyi di antara tulang buku.

Dia sedang diawasi.

Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan Gema menjalari tulang punggungnya.

*...biarkan dia mengambil mainan kecilnya...*

Dia tidak tahu dari mana pikiran itu berasal, tapi dia tahu itu benar. Ini adalah jebakan. Bima *ingin* dia ada di sini.

Dia harus cepat.

Dia mengabaikan kamera. Dia mengabaikan buku yang terbuka. Dia melihat ke laptopnya. Laptop itu ada di meja, terbuka. Layarnya hitam. Mati. Terbakar oleh energi Gema.

Dia tahu *hard drive* internalnya sudah hangus.

Dia berlutut. Laci meja. Dia selalu menyimpan cadangan. *Skripsi*. *Hard drive* eksternal kecil berwarna perak.

Dia menarik gagang laci. Laci itu terkunci.

Dia tidak punya kuncinya.

"Sialan!" desisnya.

*TH-THUMP. TH-THUMP.*

Detak jantung ruangan itu semakin cepat.

Cahaya oranye di dinding berdenyut lebih terang.

Ruangan itu tahu dia ada di sini.

Dia meraih pipa rebar-nya. Dia tidak punya waktu untuk diam. Dia menancapkan ujungnya ke celah laci dan mengungkitnya.

*KRAK!*

Suara kayu yang patah terdengar seperti ledakan di ruangan yang berdenyut itu.

*TH-THUMP-TH-THUMP-TH-THUMP!*

Detak jantung itu menggila.

Dia merogoh laci yang hancur. Kertas-kertas. Pena. Dan... ini dia. Benda persegi panjang kecil dari logam yang dingin. *Hard drive* eksternal.

Dia menggenggamnya.

Dan saat itulah ruangan itu *menyerang*.

*SKRRRRREEEEEEEEEECH!*

Suara itu adalah jeritan mental dan fisik. Amulet di dadanya *terbakar* begitu panas hingga dia berteriak, bau dagingnya sendiri yang hangus sesaat tercium. Perisainya hancur berkeping-keping.

Dunia *meledak* dalam data.

Semua yang amulet itu tahan—lolongan psikis kota, ribuan Gema panik di atas kepalanya, denyutan Titik Buta di bawah fondasi—menghantam pikirannya pada saat bersamaan.

Dia roboh, berteriak, menjatuhkan rebar dan *hard drive* itu.

Cahaya oranye di ruangan itu berubah menjadi *putih* menyilaukan.

Dan minyak hitam di dinding... *bergerak*.

Minyak itu mengalir turun dari dinding dan langit-langit, berkumpul di lantai di antara Rania dan pintu keluar. Benda itu menggeliat, membentuk gundukan, lalu *bangkit*.

Benda itu membentuk sebuah sosok.

Sosok yang tinggi dan ramping. Dengan lengan dan kaki yang terlalu panjang. Sosok itu tidak memiliki wajah. Hanya permukaan hitam licin yang memantulkan cahaya putih yang menyakitkan.

Itu adalah *Mimic*. Gema mentah yang telah mempelajari satu-satunya hal yang ada di ruangan ini: *dirinya*.

Itu adalah bayangannya yang tersenyum di cermin kamar mandi. Kini benda itu *fisik*.

***

**(Interlude: Menara Aeterna)**

"Dia mendapatkannya," kata teknisi itu, suaranya tegang. "Dia memegang *drive*-nya."

Di layar utama Bima, dia melihat Rania menggenggam *hard drive* itu.

"Bagus," kata Bima, tersenyum.

"Tapi, Pak... Gema-nya... segelnya pecah. Dia menjerit. Tunggu... *lihat itu*."

Di layar, teknisi itu memperbesar gambar.

"Ya Tuhan... itu... itu *Mimic* Tipe-Alfa. Itu mengambil bentuknya! Pak, Gema itu akan membunuhnya!"

"Tentu saja," kata Bima, tidak mengalihkan pandangannya dari layar. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, terpesona.

"Haruskah kita... haruskah kita mengirim tim? Atau... mengaktifkan 'Perisai Akustik' yang kita pasang di sana?"

"Jangan," kata Bima, suaranya nyaris berbisik. "Jangan lakukan apa-apa. Diam."

"Tapi, Pak! Dia akan mati! Kita akan kehilangan Arsitek-nya!"

"Kita tidak akan kehilangan apa-apa," kata Bima. Dia menatap layar, di mana Rania yang lumpuh kini berhadapan dengan bayangannya sendiri yang terbuat dari oli hitam. "Saya ingin melihat ini. Saya ingin melihat apa yang dilakukan oleh seorang idealis yang terpojok. Saya ingin melihat... bagaimana dia *mendesain* jalan keluarnya."

***

**(Kembali ke Apartemen 407)**

Rania terbatuk di lantai, pikirannya terbakar oleh kebisingan.

Di depannya, Gema-Mimic itu berdiri, menghalangi pintu. Benda itu memiringkan kepalanya, meniru gerakan Rania dengan penundaan sepersekian detik.

Dia terjebak.

Dia buta, tuli, dan lumpuh karena data.

Dan di antara dia dan jalan keluarnya, berdiri sebuah desain yang mustahil. Sebuah bayangan yang terbuat dari tatanan murni.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!