Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Kenyataan Tak Terduga
"Bagaimana saksi, Sah?”
“Sah.”
Dika benar-benar merasa lega bisa melewati prosesi yang paling penting dalam pernikahan ini. Untuk acara selanjutnya tinggal menuruti pihak WO saja. Sebuah acara resepsi yang melelahkan. Tapi demi istri dan Papa mertua, ia mencoba bersabar, meski jam 12 malam baru kelar.
Tamu Papa Wisnu banyak, semua rekan bisnisnya diundang, Demikian juga dengan karyawannya dari sekretaris sampai satpam, semua diundang. Maklum Lea, adalah pewaris tunggal grup Wardhana, perusahan yang didirikannya.
Demikian juga dengan karyawannya sendiri, tak enak kalau meninggalkan mereka. Mereka banyak berkontribusi pada perusahaan, waktu pesta seperti tidak diikut sertakan meski dengan peraturan dilarang membawa kado atau amplop. Agar mereka tak segan untuk datang.
Semua tamu sudah pulang, bahkan Papa Wisnu juga sudah menuju ke kamarnya. Kini hanya tinggal beberapa orang dari WO yang sedang membereskan peralatan pesta dan juga dirinya.
Tubuh Lea tiba-tiba limbung, Dika segera menangkapnya agar tak jatuh. Beruntung ada sebuah kursi di dekat mereka. Dika pun mendudukkannya di kursi tersebut.
“Kenapa, Dek?” tanya Dika khawatir.
“Tak apa-apa, Kak. Mungkin aku hanya lelah,” jawab Lea dengan lemah. Matanya sebentar terpejam, sebentar menyala. Dan ada butiran halus memenuhi keningnya. Sesekali deheman keras keluar dari mulutnya. Huaaaikkkk….
“Tidak, kamu pasti sakit.”
“Ah, paling dengan minyak kayu putih dan istirahat akan hilang sendiri.”
Lea mencoba berdiri namun hanya sebentar kemudian duduk kembali. Wajahnya tampak semakin pucat dan matanya terpejam. Ia pun tak tahu lagi dengan apa yang terjadi.
“Lea Lea,” panggil Dika.
Namun sayang, tubuh Lea tak merespon, membuat Dika semakin panik. Ia pun segera menelepon dr. Aris, dokter keluarga papa Wisnu.
Tak lama, dr. Aris pun datang. Ia pun segera memeriksa keadaan Lea dengan seksama. Dahinya berulang kali berkerut. Nafasnya sesekali berhembus dengan kasar.
“Apa karena dunia sudah mendekati akhir ya, sehingga menikah harus pakai kecelakaan dulu.”
Dika yang mendengar gumaman Aris terperanjat. Dia memandang Aris bingung, lalu ia pun bertanya, “Maksudmu apa?”
“Begini nih, lelaki. Sudah melakukan tapi tak merasa,” ucapnya dengan kesal dan sedih.
Dika tersentak. Seolah dadanya dihantam oleh bongkahan batu seberat satu ton. Dia tak bodoh-bodoh amat dengan maksud Aris. Hanya saja ia tak mengira, kalau maksud Lea meminta pernikahan mereka dipercepat adalah karena hal ini.
“Bagaimana keadaannya?” Dika mencoba menetralkan suasana hatinya yang benar-benar kacau balau. Meski sakit hati, kecewa, marah, tapi dia tak boleh membongkar aib Lea yang notabene adalah istrinya saat ini.
“Keadaannya baik. Ini biasa terjadi pada ibu yang sedang hamil muda. Untuk sementara aku beri infus dulu, untuk menambah nutrisinya.”
“Ya,” jawabnya dengan diiringingi oleh nafas berat tertahan.
Aris segera menelepon seseorang untuk membawakan cairan infus dan juga barang-barang yang dibutuhkan. Lalu, dia pun memberi wejangan sedikit agar Dika bisa menjadi suami siaga untuk istri tercinta. Dika tampak dingin menanggapi nasehat-nasehat Aris.
Tak berapa lama seorang perawat perempuan membawa apa yang Aris perlukan. Orang kaya gitu lho…meski tengah malam, jika ada kebutuhan mendesak bisa langsung mendapat pelayana, di hotel pula.
Mereka segera berpamitan, meninggalkan Dika yang masih dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja.
Ia merasa terpukul. Dia duduk tertunduk di sofa yang ada di pinggir ruangan. Ia memandang sedih tubuh Lea yang kini terlihat terbaring lemah di atas kasur yang dipenuhi oleh hiasan dengan pernak-pernik layaknya sepasang pengantin yang akan menyambut malam pertama.
Impiannya pupus sudah. Hasrat keinginannya runtuh seketika. Ternyata ada lelaki lain yang mendahuluinya. Dia merasa tertipu, sakit hati dan marah. Ia merasa dipermainan oleh Lea.
Atau kah ini karena salah yang akhir-akhir ini meninggalkan Lea dalam kebebasan. Semenjak menginjak bangku kuliah, ia tak banyak menemani Lea. Ia memberi sedikit kebebasan pada Lea untuk menikmati masa mudanya. Toh, iia sudah dewasa.
Ia tak menampik kalau tersimpan cinta di ruang hatinya untuk Lea. Dan ia juga senang jika Lea bermanja-manja kepadanya. Namun ia takut akan terseret pada perbuatan dosa sebelum Lea sah miliknya.
“Kakak.” Terdengar suara lemah Lea memanggil. Dika mendiamkannya. Ia masih marah dan kecewa dengan kenyataan yang kini terpampang jelas di depan matanya.
“Kakak,” panggilnya sekali lagi. Suaranya yang lemah dan sedih seakan mengetuk belas kasihnya. Namun ia bergeming.
“Sudah berapa bulan?” tanya Dika dengan tatapan tajam.
“Tiga bulan,” jawab Lea sambil terisak.
“Kebebasan semacam inikah yang kamu inginkan saat kamu mencoba menunda pernikahan setahun yang lalu? Membiarkan dirimu disentuh orang lain!”
Dika sudah dikuasai oleh emosi. Ia sangat marah dan kecewa, ingin menumpahkannya saat itu juga.
“Kakak!” Tak sangka Dika yang selama ini menjadi separuh sandaran hidupnya telah tega berkata seperti. Ia benar-benar kecewa.
Tubuh Lea jatuh terkulai, dengan getaran hebat yang mengguncang dirinya. Isakan tangis penuh kesedihan menggema, semakin menghimpit dada dan menambah sesak yang tak tertahanan.
Dika pun tersadar. Tak seharusnya ia memarahi gadis yang sejak ia kecil ia sayangi. Justru yang patut disalahkan adalah dirinya. Mengapa tak bisa menjaganya dengan baik.
“Maafkan, Kakak,” kata Dika. Dia pun menghapus tetes air mata yang mengalir deras di pipi Lea. “jangan menangis lagi, kasihan baby yang ada diperutmu.”
“Terima kasih, Kak. Aku akui kalau aku salah tidak berterus terang dulu sebelum menikah, menjebak kakak hanya untuk menutui aib ini. Namun tahu kah Kak, mengapa aku melakukan itu?” kata Lea di tengah-tengah tangisnya yang mulai mereda.
“Tak usah kau ceritakan. Hanya akan menambah luka.” Dika belum siap menerima kebenaran yang Lea coba terangkan. Tentang lelaki yang telah menyesatkan dirinya atau rasa cinta yang mungkin tak pernah terbalaskan.
“Baiklah, Kak.” Lea menyadari kalau kesalahan ini terlalu besar, sehingga Dika perlu waktu untuk bisa menerimanya. Ia pun terdiam, merenungi nasib yang saat ini tengah mempermainkannya.
“Sekarang tidurlah. Jagalah baby itu dengan baik, sampai ia lahir.” Dika pun beranjak, meninggalkan Lea menuju ke tempat semula. Sebuah sofa yang mungkin bisa mengistirahatkan jiwanya yang saat ini sedang terluka.
Dika juga merasakan hal sama. Sepanjang malam matanya juga sulit terpejam. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman, namun tak berhasil juga membuat diri tertidur dengan lelap.
Ia pun beranjak, membersihkan diri dan berwudhu untuk melakukan sholat malam. Semoga Allah memberinya petunjuk agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.
“Lea, rencana bulan madu kita batalkan, ya. Aku takut dengan baby yang ada dalam kandunganmu. Dan kita akan kambali ke rumahku besok. Kamu tidak keberatan, kan?” kata Dika.
“Iya, Kak.”
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.