“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 – Sandiwara di Meja Makan
Malam itu, rumah baru Arman dan Widya sudah dipenuhi aroma masakan dari katering yang dipesan ibunya Arman. Ruang makan terlihat hangat, lampu gantung menyinari meja panjang penuh lauk.
Kakek Arman duduk di kursi paling ujung, menatap pasangan pengantin baru itu dengan sorot mata penuh harapan. “Nah, akhirnya keluarga kita bisa bersatu juga. Perjanjian lama tidak sia-sia.”
Arman tersenyum kaku, lalu meraih tangan Widya yang duduk di sebelahnya. “Iya, Kek. Aku… bersyukur banget punya istri seperti Widya.” Suaranya dibuat selembut mungkin, padahal di bawah meja tangannya gemetar menahan malu.
Widya langsung menimpali dengan gaya manis ala sinetron. “Mas Arman itu suami yang pengertian, Kek. Baru sehari, tapi rasanya nyaman banget.” Ia melirik Arman sekilas, matanya bersinar nakal: ‘Ayo, mainkan peranmu, Mas.’
Arman membalas lirikan Widya dengan gigi terkatup rapat: ‘Nanti kita hitung-hitung utang aktingmu.’
Sementara itu, ibu Arman berdecak kagum. “Alhamdulillah. Mama lega lihat kalian cocok. Tuh kan, Papa….” ibunya Arman melirik suaminya, “Kata Papa nggak mungkin mereka cocok. Nyatanya, liat sendiri sekarang.”
Kakek Arman menepuk meja. “Bagus! Itu artinya cucu-cucu Kakek menepati janji leluhur. Rumah tangga kalian harus rukun. Tidak ada kata pisah, paham?”
Arman dan Widya serempak mengangguk. “Siap, Kek.”
Namun di balik meja, kaki Widya iseng menginjak sepatu Arman. Ia pura-pura tersenyum manis sambil menambahkan, “Iya, Kek. Aku nggak akan biarkan Mas Arman jauh dariku, seharipun.”
Arman hampir tersedak. “Betul, Kek… betul,” jawabnya cepat, meneguk air.
Kakek tersenyum puas, tak sadar bahwa di bawah meja, suami-istri pura-pura itu sedang saling adu gengsi.
—
Pintu rumah akhirnya tertutup rapat. Mobil keluarga Arman meninggalkan halaman, suara mesin makin jauh hingga benar-benar hilang. Rumah itu mendadak hening, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak malas.
Arman bersandar di pintu, menghela napas panjang. “Astaga… teater semalam suntuk.” Ia melonggarkan kerah kemejanya, lalu menoleh ke arah meja makan yang masih penuh piring kotor.
Widya sudah lebih dulu duduk di sofa, menyilangkan kaki sambil memainkan ponsel. Wajah manis yang tadi ia pamerkan lenyap total, berganti ekspresi santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Eh, Mas Arman,” Widya bersuara datar tanpa mengangkat wajah, “Kamu jago juga ternyata. Dari senyum palsu sampai akting mesra, nyaris dapat nominasi FTV.”
Arman mendengus, berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air. “Dan kamu kebangetan. Sampai ngerayu kakek segala, bilang aku pengertian. Kamu pikir aku nggak mau muntah dengerin itu?”
Widya menoleh, terkekeh. “Lho, bukannya benar? Kamu kan pengertian… pengertian sama diri sendiri.”
Arman hampir tersedak air minumnya. Ia menatap Widya tajam. “Kalau kamu nggak jadi menantu idaman di mata kakek, tadi pasti sudah aku seret keluar ruang makan.”
Widya menaruh ponsel, bangkit, dan berjalan mendekat sambil melipat tangan di dada. “Ya ampun, galak banget. Tadi pas di depan keluarga, tanganku kamu genggam erat-erat lho. Jangan bilang kamu baper?”
Arman langsung membuang muka, pipinya memanas meski ia cepat-cepat menutupi. “Itu hanya sandiwara. Jangan GR.”
Widya tersenyum nakal. “Tenang, aku tahu. Lagian aku juga jijik kalau beneran baper sama Mas Arman. Bayangin aja, serumah sama cowok yang hobinya ngatur-ngatur.”
Arman menepuk dahinya keras-keras. “Ya Tuhan, kenapa aku harus menikah sama perempuan bawel ini?”
Widya langsung menukas cepat. “Karena kakek kamu cerewet kayak kamu juga.”
Mereka saling beradu pandang beberapa detik, udara di antara mereka panas tapi entah kenapa juga menggelitik.
Arman akhirnya berjalan ke meja makan, mulai merapikan piring-piring kotor. “Udah ah, jangan banyak omong. Daripada kita berantem, mending kamu bantu bersihin meja.”
Widya menatapnya, lalu nyengir lebar. “Ohh… jadi kamu mau aku berperan jadi istri beneran? Masak, cuci piring, bersihin meja. Waduh, kesepakatan kita dilanggar, nih.”
Arman mendengus, mengangkat alis. “Kesepakatan kita cuma pura-pura mesra di depan keluarga. Urusan rumah tangga tetep harus jalan. Kalo kamu nggak mau, yaudah, tidur aja. Aku yang beresin.”
Widya terdiam sejenak, terkejut dengan nada serius itu. Tapi bukannya luluh, ia malah tergelak. “Wih, gentleman juga ternyata. Oke deh, aku bantu. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa lagi?” Arman menatap penuh curiga.
Widya mengangkat jari telunjuk, wajahnya penuh kemenangan. “Kamu yang cuci piring, aku yang ngelap meja. Kalau sebaliknya, bisa-bisa semua piring pecah karena aku nggak sabaran.”
Arman memutar bola mata, tapi akhirnya mengangguk. “Deal.”
Beberapa menit kemudian, dapur dipenuhi suara air mengalir dan dentingan piring. Widya sibuk mengelap meja sambil sesekali melirik Arman yang canggung mencuci.
“Mas,” panggil Widya dengan nada menggoda, “lihat deh. Adegan ini cocok banget buat iklan sabun cuci piring. Suami ganteng, istri cantik, kerja sama bersihin rumah. Sayang, kita cuma pura-pura.”
Arman menoleh sebentar, wajahnya setengah kesal setengah malu. “Kamu tuh ya… kalau nggak bisa diem, mending nyanyi aja.”
Widya langsung bersenandung asal, lagu sumbang yang bikin telinga sakit. Arman menutup wajah dengan kedua tangan, tertawa tanpa bisa ditahan.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka resmi menikah, rumah itu terasa… tidak sekaku tadi. Masih penuh sindiran, masih pura-pura, tapi ada celah kecil yang diam-diam membuka jalan.
Celah yang mungkin suatu saat berubah jadi sesuatu yang nyata.
---