Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Tarikan napas kasar meluncur dari bibir Maura. Tangannya terlipat di depan dada sedangkan tubuhnya bersandar di tembok. Hampir setengah jam ia berdiri di depan ruangan Marvel—yang juga terdapat ruangannya di dalam sana. Pria itu memintanya keluar setelah Jessica datang.
Ia menatap layar ponselnya, jam tujuh malam, dan sepertinya Marvel belum berniat keluar dari ruangannya. Maura baru akan memejamkan mata ketika ketukan heels dan suara teriakan membuatnya tetap terjaga. Lantas ia menoleh ke arah pintu, Jessica berlari keluar dengan berlinang air mata. Ia menegakkan tubuhnya, hendak mengejar Jessica, tetapi maniknya justru menangkap sosok lain sedang berjalan ke arahnya.
"Ayah," gumamnya. Langkah pria paruh baya itu memelan, lalu tiba-tiba berbalik arah dan berjalan cepat.
"Tunggu!" teriak Maura. Saat akan mengejar, seseorang menahan lengannya.
"Apa yang kamu lakukan?" Marvel menatap wanita itu, heran.
Maura hanya bisa menatap ayahnya yang sudah berjalan menjauh dan Marvel bergantian, lalu menggeleng pelan. "Apa yang terjadi dengan kalian?" Ia malah balik bertanya.
Marvel mengedikkan bahunya tak acuh. "Tidak ada."
"Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa. Dia menangis dan saya mendengar dia berteriak."
"Dasar bajingan! Aku tidak akan memaafkanmu!"
Maura menatap Marvel lekat-lekat, matanya memicing curiga. "Pak Marvel benar-benar memutuskannya, ya?" tanyanya menuntut. Marvel tidak bereaksi, ia hanya menatap wajah Maura dengan raut datar. Melihat itu, maura sudah tahu jawabannya.
"Saya akan mengajukan pengunduran diri besok, tapi kenapa bapak malah melakukan ini? Jangan mengorbankan diri, juga masa depan untuk permainan seperti ini!"
"Dia memaksa mempercepat pertunangan."
"Lalu kenapa?" Maura nyaris berteriak. "Toh, pada akhirnya kalian akan bertunangan, menikah dan memiliki anak!"
"Kami belum siap."
"Kalian atau Pak Marvel yang tidak siap? Berhenti bicara omong kosong dan minta maaflah!"
Maura tidak menyangka bisa mengatakan kalimat itu, membuat jantungnya berdegup cepat, seperti ada amarah yang meletup di dalam dadanya. Akan tetapi, kenapa rasanya sakit sekali, seakan ia cemburu mendapati dirinya harus berbagi pria dengan wanita lain. Padahal, seharusnya ia sadar diri akan posisinya.
"Saya pasti akan menikahinya, tapi tidak dalam waktu dekat. Kamu tahu saya tidak mungkin mengkhianatinya, dan untuk sekarang saya belum selesai denganmu," balas Marvel dengan nada tenang, datar, seolah tidak ada emosi di dalamnya.
Maura tertawa miris. Pria itu sadar betul apa yang sedang ia lakukan. Bertingkah seperti pria baik-baik yang tidak ingin mengkhianati pasangannya, tetapi secara sadar menjadikan wanita lain sebagai objek pemuas dan enggan melepaskannya. Benar-benar brengsek.
"Mulai hari ini kita selesai. Menikahlah dengannya, dan jangan ganggu saya." Setelah mengatakan kalimat itu Maura kembali masuk ke dalam ruangan, berniat mengambil tasnya dan tidak akan pernah menginjakkan kaki di ruangan itu lagi.
Marvel meraup kasar wajahnya, berdecak, lalu menyusul Maura. "Jangan melakukan hal bodoh. Sepertinya kita hanya perlu bicara baik-baik. Saya akan membayar dua kali lipat gajimu jika itu membuatmu lebih baik."
Maura tercengang. Dalam benaknya bertanya-tanya, apa yang mereka bicarakan dari tadi soal uang? Ia tidak membutuhkannya. Demi apa pun ia tidak membutuhkannya!
Namun, Maura memilih untuk tidak menggubris, segera memasukkan semua barang-barangnya dan bergegas pergi, sedangkan Marvel hanya melihat pergerakannya tanpa repot-repot mencegah, mengira wanita itu akan berubah pikiran. Sampai di depan pintu, pintu yang biasanya terbuka otomatis kini tidak mau terbuka. Maura memukul pintu kaca itu beberapa kali sebelum berakhir dengan menendangnya dengan kasar. Ia menyerah.
Maura tahu ini ulah Marvel. Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini kalau bukan pria itu.
"Sudah kubilang, aku belum selesai denganmu."
Mendengar suara itu mendekat, Maura mengeratkan cengkraman pada tas yang tersampir di pundaknya. Bertengkar dengan Marvel akan selalu berakhir buruk, karena dengan mudah ia kembali menguasai kewarasannya, membuatnya berlutut dan memohon ampun. Namun, tidak untuk kali ini. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, lagi.
"Tidak! Mulai hari ini kita selesai. Anggap saja saya sudah mengundurkan diri, suratnya akan saya berikan besok." Ia kembali menegaskan.
"Sudah kukatakan, tidak ada yang berhak mengaturku. Sekali pun itu dirimu," desis Marvel seraya mengusap kedua lengan Maura dengan sedikit memberi tekanan, lalu meremasnya perlahan dan berubah menjadi cengkraman.
Wanita dua puluh tujuh tahun itu memejamkan mata, tubuhnya meremang, menahan nyeri juga takut.
Dengan sekali sentak Marvel membalikkan tubuh Maura. Ia masih memejamkan mata ketika pria itu mendekatkan wajahnya.
"Pulanglah, sebelum aku menghabisimu di sini." Marvel mengangkat dagu Maura dan dengan otomatis membuatnya membuka mata. "Bersihkan tubuhmu, pakai lingerie terbaik dan tunggu saya di apartemen." Ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, lalu detik kemudian pintu terbuka bersamaan dengan terbebasnya lengan Maura dari cengkeramannya.
Maura menggunakan kesempatan itu untuk berlari, secepat mungkin dan sejauh mungkin.
"Persetan!" umpatnya, enggan menuruti perintah pria itu.
"Kamu pikir hanya dirimu yang tidak bisa diatur, eh? Kamu pikir kamu siapa? Dasar bajingan mesum tidak tahu diri!" oceh Maura, kesal.
Setelah benar-benar keluar dari dalam gedung ia berhenti sejenak, menatap keseluruhan bangunan itu, lalu meludah dengan tatapan bengis. "Itu hadiah untuk perpisahanku dengan The Maverick sialan ini!" Ia meludah lagi, lalu menginjaknya dengan menggebu.
Dadanya bergerak naik turun sebab napas yang berembus tidak terkendali. Setelah merasa puas ia baru melangkah pergi. Tujuannya bukan apartemen sialan yang sudah ia tempati selama enam tahun ini, tetapi rumahnya. Rumah orang tuanya. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Ia merogoh tasnya, menemukan kunci mobil yang tersimpan di sana. Melihat benda itu beberapa saat, lalu membuangnya.
Itu mobil pemberian Marvel sebagai hadiah ulang tahun beberapa bulan yang lalu. Harganya diluar akal sehatnya, tetapi sekarang ia tidak membutuhkannya. Maura tidak akan memakainya karena tahu mobil itu dilengkapi peralatan canggih yang bisa saja membongkar keberadaannya. Selain kunci mobil itu, ia juga membuang ponselnya.
Maura pergi ke halte yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Menunggu, walau sebenarnya tidak yakin akan ada bus yang lewat malam-malam begini.
"Bus terakhir jam sembilan malam," ucap seseorang yang baru saja duduk di sampingnya.
Maura mengenali suara itu.
Ia menoleh setelah mengusap setitik air mata yang nyaris lolos. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap lelaki itu penuh penyesalan. "Maafkan aku," katanya seraya menghambur ke pelukannya, menumpahkan air mata dan penyesalan di dada laki-laki paruh baya itu.
Di dekat mereka, seorang pria menghentikan mobilnya di depan halte, setelah sebelumnya memperhatikan Maura yang tampak tidak baik-baik saja. Ia turun dari mobil dan melangkah cepat menghampirinya.
"Kalian butuh tumpangan?" tanyanya dengan dua sudut bibir tertarik ke atas.