Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Firewall Retak dan Ancaman Anonim
Sasha menarik tangannya dari genggaman Zega, sensasi dinginnya masih tertinggal di kulitnya. Ia menatap mata tajam itu sejenak, mengangguk sekali, seolah menandatangani pakta yang tak terlihat. “Aku tidak akan,” jawabnya, suaranya tenang, meskipun jantungnya masih memompa cepat. “Tidak akan pernah.”
“Bagus,” kata Zega, senyumnya sama sekali tidak melembut. “Sekarang, kita punya pekerjaan.”
Perjalanan kembali ke jantung kota terasa panjang. Zega duduk diam di kursi penumpang mobil Sasha, matanya memindai lanskap urban yang berubah dari kumuh menjadi gemerlap. Ia tak berkomentar tentang kemacetan, tentang gedung-gedung tinggi yang menjulang, atau tentang mobil mewah yang mengelilingi mereka. Ia hanya mengamati, seolah kota itu adalah sebuah sistem operasi yang sedang ia dekompilasi dalam benaknya.
“Kantor pusat DigiRaya ada di lantai teratas gedung itu,” ujar Sasha, menunjuk ke arah menara kaca yang berkilauan di kejauhan. “Kau akan punya seluruh lantai ruang server. Akses penuh, seperti yang kau minta.”
Zega mendengus pelan. “Seluruh lantai? Betapa borosnya. Kalian membangun istana dari data orang, lalu menguncinya di balik dinding kaca yang rapuh.”
“Itu metafora yang menarik,” balas Sasha, mencoba mengukur batas kesabarannya. “Tapi di balik dinding kaca itu ada jutaan data yang harus kita lindungi. Dan itu yang penting, kan?”
“Tentu saja,” jawab Zega, tanpa menoleh. “Prioritas kita memang berbeda, Victoria. Kau melindungi kerajaanmu. Aku melindungi yang seharusnya tidak pernah menjadi bagian dari kerajaan itu.”
Ketika mereka tiba di lobi DigiRaya yang megah, Zega menghentikan langkah di tengah marmer mengkilap, matanya menyipit menatap chandelier kristal yang menjuntai di atas. “Ini adalah tempat yang kau benci?” tanyanya, suaranya dipenuhi sindiran.
Sasha menghela napas. “Tempat ini mewakili Bara. Visi awalnya. Sebelum menjadi… seperti ini.”
“Semua visi pada akhirnya menjadi seperti ini,” Zega menyimpulkan, melangkah maju. “Sekarang, tunjukkan padaku sarang kalian.”
Di lantai ruang server, suasana terasa jauh berbeda dari kemewahan lobi. Udara dingin berdesir dari unit pendingin raksasa, mengisi ruangan dengan dengung konstan. Barisan rak server menjulang tinggi, lampu LED berkedip-kedip seperti mata robot yang tak terhitung jumlahnya. Tim IT inti DigiRaya, yang dipimpin oleh Rama, seorang pria muda dengan kacamata tebal dan raut wajah tegang, sudah menunggu.
Guruh melangkah maju, tangannya terjulur. “Sasha, siapa ini? Mengapa kau membawa orang luar ke sini?” Ada nada protektif dalam suaranya.
Sasha mengabaikan uluran tangan itu. “Guruh, ini Zega. Dia akan bekerja bersama kita. Dia akan membantu kita memperkuat keamanan sistem kita.”
“Membantu?” Guruh mengulang, alisnya terangkat. Ia melirik Zega dari atas ke bawah, menilai pakaiannya yang lusuh, rambutnya yang acak-acakan. “Aku tidak yakin kami butuh bantuan, Sasha. Tim kami adalah yang terbaik. Kami membangun dan mempertahankan sistem ini sejak awal bersama Bara.”
“Aku tahu itu, Guruh,” kata Sasha, suaranya tegas. “Dan aku menghargai loyalitas kalian. Tapi ancaman yang kita hadapi sekarang jauh lebih besar dari yang pernah kita bayangkan. Zega memiliki keahlian khusus yang kita butuhkan.”
Zega, yang sedari tadi hanya berdiri diam, kini melangkah maju. Matanya menatap Guruh tajam. “Keahlian khusus untuk melihat apa yang tidak kalian lihat, mungkin.”
“Dan apa itu?” tanya Guruh, nadanya menantang. “Kau pikir kami buta?”
“Aku pikir kalian terlalu lama berada di dalam gelembung,” jawab Zega datar. “Beri aku akses. Ke semua log, semua kode sumber, semua server. Sekarang.”
Guruh tertawa sinis. “Maaf, Tuan… Zega. Tapi tidak sembarang orang bisa mendapatkan akses itu. Ada protokol. Ada proses.”
“Proses?” Zega mencibir. “Apakah ‘proses’ itu yang membuat kalian nyaris dirobohkan enam bulan lalu? Atau apakah ‘proses’ itu yang memungkinkan orang dari dalam membocorkan informasi keuangan Sasha?”
Wajah Guruh memerah. “Itu tidak ada hubungannya dengan keamanan sistem utama kami. Itu adalah masalah internal.”
“Semua masalah adalah masalah keamanan, pada akhirnya,” potong Zega, suaranya dingin. “Terutama jika sistemmu terhubung ke dunia luar. Jadi, apakah kau akan memberikan akses, atau haruskah aku mengambilnya sendiri?”
Sasha melangkah maju, menempatkan dirinya di antara Zega dan Guruh. “Guruh, aku sudah memberikan otoritas penuh kepadanya. Itu adalah bagian dari kesepakatan. Aku butuh kalian untuk kooperatif. Ini perintah. Dan ingat tidak ada lagi tawar menawar dengan kami berdua. Yang ada hanya perintah yang harus kau laksanakan dengan tim kalian!”bentak Sasha geram
Guruh menatap Sasha, ekspresi terkejut di wajahnya. “Sasha, kau benar-benar memercayai orang ini? Dia… dia tidak punya latar belakang yang jelas. Dia bisa menjadi ancaman.”
“Ancaman yang lebih kecil daripada yang sedang mengintai kita di luar sana,” Sasha membalas, nadanya tak terbantahkan. “Aku butuh kalian untuk bekerja sama, Guruh. Atau kau bisa keluar, meninggalkan ruangan ini selamanya!”
Ketegangan memenuhi ruangan. Tim IT lainnya saling berpandangan, tampak tidak nyaman. Guruh mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Akhirnya, ia menghela napas, kekalahan terlihat jelas di matanya.
“Baiklah,” katanya pahit. “Tapi jika ada yang salah, Sasha, kau yang bertanggung jawab.”
“Aku tahu,” jawab Sasha. “Sekarang, tunjukkan kepadanya semua yang dia butuhkan.”
Dua hari berikutnya adalah neraka bagi tim IT DigiRaya. Zega bekerja tanpa henti, menolak istirahat, mengabaikan jam makan. Ia menyelinap di antara rak-rak server seperti hantu, jari-jarinya menari di atas papan tik, baris-baris kode memenuhi layar monitornya. Ia hanya berbicara untuk meminta akses lebih, atau untuk melontarkan pertanyaan tajam tentang arsitektur jaringan mereka.
“Mengapa ada celah ini di firewall utama?” Zega bertanya pada Guruh suatu sore, menunjuk ke sebuah baris kode yang rumit. “Ini bukan kesalahan manusia. Ini sengaja.”
Guruh menyipitkan mata ke layar. “Itu… itu adalah backdoor yang Bara gunakan untuk akses cepat saat keadaan darurat. Kami tidak pernah menutupnya karena Bara bilang itu penting.”
Zega menoleh, menatap Guruh dengan tatapan mencemooh. “Backdoor yang tidak terenkripsi? Tidak diaudit? Itu bukan pintu darurat, itu adalah pintu belakang yang terbuka lebar untuk siapa saja yang cukup pintar untuk menemukannya. Dan aku jamin, Express Teknologi cukup pintar.”
“Tapi Bara sendiri yang membuatnya…”
“Bara mungkin seorang visioner, tapi ia bukan dewa,” potong Zega dingin. “Dan sekarang ia sudah tiada. Ini adalah kerentanan yang mematikan. Siapa pun bisa masuk dan keluar sesuka hati tanpa jejak.”
Sasha, yang sejak Zega mulai bekerja selalu berada di dekatnya, mengamati interaksi itu. Ia melihat ketidaknyamanan Guruh, dan kengerian perlahan merayapi dirinya. Zega benar. Ini terlalu besar.
“Bisakah kau menutupnya?” tanya Sasha.
“Menutupnya?” Zega tertawa kecil. “Ini seperti menutup luka tembak dengan plester. Aku harus merombak seluruh arsitektur jaringan kalian dari awal. Dan aku tidak punya waktu untuk itu sekarang.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
Zega mengabaikan pertanyaan Sasha. Ia kembali ke keyboardnya, jari-jarinya bergerak dengan kecepatan yang membuat Guruh dan timnya tercengang. Monitor di depannya menampilkan visualisasi kompleks dari jaringan DigiRaya, garis-garis data melaju seperti sungai cahaya. Tiba-tiba, Zega berhenti.
“Ah,” desisnya, suaranya nyaris seperti dengusan kepuasan. “Di sana dia.”
“Ada apa?” Sasha bertanya, mencondongkan tubuhnya.
“Seseorang sedang bermain-main,” kata Zega, matanya terpaku pada layar. “Ada koneksi tidak sah ke server otentikasi utama. Sangat tersembunyi. Sangat rapi. Ini bukan hanya backdoor sederhana.”
Guruh terperanjat. “Mustahil! Kami punya sistem deteksi intrusi terbaik.”
“Sistem deteksi intrusi kalian seperti anjing penjaga yang buta dan tuli,” balas Zega tanpa menoleh. “Ini adalah celah zero-day yang ditanamkan jauh di dalam kode inti, bukan oleh Bara, tapi oleh pihak ketiga yang ingin memastikan mereka punya pintu masuk cadangan. Ini bukan kesalahan, Guruh. Ini sabotase.”jelas Zega tak acuh.
Zega mulai mengetik lagi, serangkaian perintah kompleks muncul di layar. Ia melacak jejak digital yang samar, mengupas lapisan demi lapisan enkripsi. Wajahnya tegang, fokusnya mutlak.
“Mereka ingin apa?” bisik Sasha.
“Mereka tidak ingin apa-apa sekarang,” jawab Zega, matanya menyipit. “Mereka hanya ingin memastikan mereka bisa masuk kapan saja mereka mau. Tapi… tunggu.”
Jari-jari Zega membeku di atas papan tik. Matanya membesar sedikit. Ia menekan beberapa tombol lagi, menggeser jendela-jendela kode, lalu memusatkan pandangannya pada satu bagian layar. Sebuah peta jaringan yang tadinya tenang, kini mulai berkedip-kedip di beberapa titik.
“Sial,” desis Zega, lebih pada dirinya sendiri. “Ini bukan sekadar pintu masuk cadangan.”
Sasha merasakan firasat buruk. “Ada apa?”
“Ini adalah pancingan,” kata Zega, suaranya rendah. “Mereka ingin kita menemukan ini. Mereka membiarkan kita melihatnya.”
“Untuk apa?”
Zega tidak menjawab. Ia menekan tombol enter dengan kekuatan berlebihan. Tiba-tiba, seluruh layar monitornya berkedip merah menyala. Sebuah alarm nyaring meraung, memecah kesunyian dingin ruang server. Suara alarm itu menggema, memantul di antara rak-rak server. Beberapa lampu LED pada panel server mulai berkedip tidak beraturan, lalu mati.
“Ini bukan pancingan,” kata Zega, matanya memancarkan urgensi yang mengerikan. Ia menatap Sasha, wajahnya pucat. “Ini adalah… deklarasi perang.”
Di layar utama, barisan teks merah menyala muncul: Initiating Phase One: Total Data Acquisition.
“Mereka menyerang,” Zega menggeram, tangannya sudah menari di atas keyboard dengan kecepatan kilat, “dan mereka menargetkan server utama kalian. Sekarang!”