NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 2

Malam itu, udara pondok Nurul Falah terasa lebih dingin dari biasanya. Angin membawa aroma daun asam yang lembap, menembus celah jendela kayu asrama putri. Lampu-lampu neon di lorong luar memantulkan cahaya pucat ke dalam kamar, membuat bayangan ranjang dan lemari terlihat samar.

Dilara sudah berbaring di kasurnya, tapi matanya sulit terpejam. Pikiran tentang pertemuannya dengan Gus Zizan berulang-ulang muncul di kepalanya. Ia memandangi langit-langit kamar yang dicat putih kusam, telinganya samar-samar menangkap suara tawa santri dari kamar sebelah.

"Kenapa tadi dia perhatian sekali? Apa dia begitu ke semua santri baru, atau hanya ke aku?" batinnya bertanya.

Di sisi lain kamar, Salsa yang masih duduk di ranjangnya memandang Dilara. “Lara, kamu nggak tidur?”

“Belum ngantuk,” jawab Dilara singkat.

“Besok bangun subuh lho. Jam setengah lima udah harus siap-siap ke masjid. Nanti kalau kesiangan bisa kena teguran ustadzah.”

Dilara tersenyum tipis. “Iya, aku tahu.”

Salsa menghela napas, lalu merebahkan diri. “Yaudah, istirahat. Kalau nggak, kamu nggak akan kuat ikut kegiatan seharian penuh.”

Dilara mencoba memejamkan mata lagi, kali ini memaksa dirinya untuk tidur.

Adzan subuh berkumandang, membangunkan seluruh santri. Suara langkah kaki berdesakan di lorong, sandal-sandal berderit di lantai. Dilara buru-buru bangun, mencuci muka, lalu mengenakan mukena. Ia ikut berjalan bersama barisan santri menuju masjid. Udara subuh begitu segar, tapi juga dingin menusuk kulit. Salsa, Mita dan juga Dewi sudah pergi duluan, karena Dilara meminta ketiganya pergi dahulu.

Shalat subuh berlangsung khusyuk. Setelah itu, para santri biasanya mengikuti sedikit kajian singkat dari ustadz atau Gus Zizan. Pagi itu, Gus Zizan hanya memberikan tausiyah ringan tentang pentingnya menjaga adab kepada guru dan teman.

Selesai kajian tadi, para santri bubar menuju asrama atau dapur untuk sarapan. Namun Dilara tidak ikut arus itu. Ia mengingat janji tadi malam, lalu melangkah pelan menuju perpustakaan.

Perpustakaan pondok terletak di sisi timur, sebuah bangunan sederhana dengan pintu kayu lebar dan jendela kaca besar. Dari luar, tampak rak-rak buku memenuhi dinding. Aroma khas kertas dan kayu menyeruak begitu Dilara membuka pintunya.

Di tengah ruangan, Gus Zizan sudah duduk di meja panjang, kitab tebal terbuka di depannya. Ia menoleh ketika Dilara masuk.

“Duduklah,” ucapnya sambil menunjuk kursi di seberangnya.

Dilara duduk dengan hati-hati. “Maaf kalau saya telat, Gus.”

“Kamu tepat waktu,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Sekarang kita bahas soal najis mutawassithah.”

Ia mulai menjelaskan perlahan, suaranya tenang dan jelas. Dilara menyimak, sesekali mengangguk atau bertanya. Di sela-sela penjelasan, Gus Zizan kadang memberi contoh praktis, bahkan mengambil buku kecil untuk menunjukkan referensi.

“Kalau begini, termasuk mutawassithah ringan atau berat?” tanya Dilara sambil menunjuk catatan di kitab.

“Itu ringan. Pembersihannya cukup dengan membasuh hingga hilang sifat-sifatnya. Ingat, yang membedakan ringan dan berat bukan hanya bentuknya, tapi juga penyebabnya.”

Dilara menulis cepat, takut melupakan penjelasan itu.

Sampai-sampai ia tidak menyadari ada sepasang mata yang mengintip dari celah pintu. Wulan, berdiri di luar dengan temannya, memperhatikan mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.

“Pagi-pagi udah berduaan sama Gus Zizan di perpustakaan. Wah, wah…” bisiknya pelan.

Temannya menanggapi, “Ah, mungkin lagi belajar.”

“Belajar bisa di aula, nggak harus berduaan. Ini sih aneh,” sahut Wulan.

Mereka berdua pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan bayangan gosip yang akan segera menyebar.

Selesai belajar, Gus Zizan menutup kitabnya. “Kamu cepat paham, itu bagus. Tapi jangan segan bertanya kalau ada yang belum jelas.”

“Terima kasih, Gus. Saya senang bisa belajar langsung begini,” ucap Dilara tulus.

Gus Zizan mengangguk. “Baik, sekarang kamu sarapan dulu. Jangan sampai lemas di kelas nanti.”

Dilara berdiri, merapikan bukunya, lalu keluar dari perpustakaan. Udara pagi terasa lebih hangat sekarang. Ia berjalan menuju dapur umum sambil memikirkan betapa ramahnya Gus Zizan.

Namun begitu sampai di dapur, ia merasakan tatapan aneh dari beberapa santri. Ada yang membisik-bisik, ada pula yang langsung memalingkan wajah.

Salsa yang sedang menyiapkan piring melihatnya dan memanggil, “Lara, sini duduk sama aku.”

Dilara mendekat, duduk di bangku panjang. “Kenapa semua orang kayak… lihat aku aneh?” tanyanya pelan.

Salsa mengangkat bahu. “Ah, biarin aja. Nanti juga mereka lupa.” Tapi dari raut wajahnya, jelas ia tahu sesuatu.

"Dewi sama Mita?"

"Mereka udah makan, aku memang sengaja nungguin kamu. Udah yuk, makan dulu, nanti ke buru masuk kelas." Ucap Salsa sambil menyendok makanannya.

Dilara tak banyak tanya lagi, gadis cantik itu sibuk dengan makanan yang ada di depannya.

Tak lama kemudian, Wulan lewat sambil membawa nampan. Ia berhenti sebentar di depan Dilara, lalu berkata dengan suara yang dibuat-buat manis, “Wah, rajin banget ya, pagi-pagi udah belajar sama Gus Zizan sendirian.”

Beberapa santri yang duduk di sekitar langsung menoleh. Dilara menahan napas, mencoba tidak terpancing. “Itu cuma belajar kitab, Wulan,” jawabnya datar.

Wulan terkekeh. “Iya, iya. Belajar kitab. Tapi kok harus di perpustakaan, nggak di aula?”

Salsa menatap tajam ke arah Wulan. “Kalau nggak ada urusan, jangan ganggu orang lagi sarapan, Wulan.”

Wulan mendengus lalu pergi. Tapi jelas sekali bahwa kata-katanya tadi sudah cukup menyalakan percikan gosip.

Salsa menghela nafasnya kasar. "Udahlah ngga usah di dengerin tuh orang." Kata Salsa yang agak kesal dengan Wulan.

Dilara menundukkan kepalanya, ia tak berbicara lagi, namun hatinya merasa gunda..

Hari-hari berikutnya, gosip itu mulai menyebar. Beberapa santri mulai memanggil Dilara dengan julukan-julukan aneh di belakangnya. Ada yang bersikap dingin, ada pula yang terang-terangan menatap sinis.

Meski begitu, Dilara memilih diam. Ia menenangkan diri dengan mengingat bahwa ia ke sini untuk belajar, bukan mencari masalah. Tapi jauh di lubuk hati, ia tidak bisa menolak rasa tertekannya.

Sore hari, ketika ia sedang menjemur pakaian di halaman belakang asrama, Salsa mendekat.

“Lara, kamu nggak usah ambil hati, ya. Wulan memang suka begitu. Dulu juga pernah ada santri baru yang dia gosipin.”

Dilara tersenyum hambar. “Aku nggak apa-apa. Aku cuma takut kalau ini bikin Gus Zizan kena omongan juga.”

Salsa terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau soal itu, Gus Zizan udah biasa. Tapi kamu harus hati-hati. Gosip bisa jadi besar kalau kita nggak waspada.”

Malamnya, pengajian kembali diadakan. Kali ini Dilara sengaja duduk agak jauh di pojok, berusaha menghindari perhatian. Tapi entah kenapa, beberapa kali Gus Zizan tetap melihat ke arahnya.

Saat pengajian usai, dan para santri mulai bubar, Gus Zizan memanggilnya lagi. Kali ini bukan hanya Wulan, tapi hampir semua santri yang lewat menoleh.

“Dilara, besok pagi kamu ikut saya ke pasar pondok. Ada beberapa perlengkapan yang perlu dibeli untuk asrama putri.”

Dilara mengangguk pelan. “Iya, Gus.”

Ucapan itu singkat, tapi cukup membuat bisik-bisik kembali muncul. Dan tanpa disadari Dilara, gosip yang tadinya hanya beredar di lingkup kecil kini mulai merambat ke seluruh pondok.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!