Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Jangan Sombong
Kevia mencoba tersenyum, meski kecut. “Nggak sengaja jatuh, Yah. Nggak apa-apa kok.”
Ardi menghela napas berat, masih terlihat tegang. “Ya sudah, ayo masuk dulu.” Ia meraih lengan putrinya dengan hati-hati. Dea ikut memapah, membantu Kevia melangkah masuk ke rumah.
Begitu pintu terbuka, aroma obat dan bau khas rumah kontrakan langsung menyergap. Kemala yang duduk bersandar di kursi kayu sederhana sambil menonton televisi menoleh, matanya yang sayu seketika melebar. Tubuhnya bergetar ketika melihat darah yang masih merembes di perban.
“Sayang… apa yang terjadi?” suaranya serak, penuh kepanikan. Ia berusaha bangkit dari kursi, memaksakan tubuhnya yang lemah. Tangan kurusnya bertumpu pada sandaran, sementara lututnya bergetar hebat.
“Bu, jangan—” Kevia buru-buru menghampiri, meski langkahnya sendiri tertatih.
Kemala sudah berdiri dengan tubuh ringkih, wajahnya pucat pasi. Napasnya memburu, seperti habis berlari jauh. Namun mata itu menatap anak gadisnya dengan kekuatan yang hanya dimiliki seorang ibu.
“Kenapa kamu begini, Nak? Luka… darah…” Jemari dinginnya gemetar saat menyentuh perban di tangan Kevia.
Kevia tersenyum samar, berusaha menenangkan. “Cuma terluka sedikit, Bu. Aku jatuh. Kurang hati-hati tadi. Nggak apa-apa, sungguh.”
Air bening menggenang di sudut mata Kemala. “Kalau kamu sakit… Ibu nggak akan sanggup, Via. Tubuh Ibu ini sudah rapuh. Tapi kehilanganmu… Ibu lebih nggak sanggup lagi.”
Suasana ruangan itu hening sejenak. Dea menunduk haru, Ardi memalingkan wajah, menyeka ujung matanya.
Kevia langsung meraih ibunya, memeluk tubuh ringkih itu erat. “Bu… jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Lihat?” ia mengangkat perban dengan senyum yang dipaksakan. “Cuma luka kecil.”
Kemala balas memeluk, meski tubuhnya lemah. Getarannya terasa jelas di bahu Kevia, membuat gadis itu sadar betapa rapuh ibunya kini.
Ardi menepuk bahu Kevia pelan. “Sudah, jangan bikin ibumu cemas lagi. Kau harus lebih hati-hati, Via.”
Kevia hanya mengangguk, tapi dalam hatinya ia berjanji: ia tidak boleh lagi ceroboh. Karena sedikit saja ia terluka, ibunya bisa runtuh oleh rasa takut.
Malam merayap pelan, menutup kota dengan sepi. Hanya cahaya lampu jalan yang redup dan suara jangkrik dari kejauhan menemani Kevia di kamarnya yang hanya diterangi lampu tidur. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran masih sibuk pada kejadian sore tadi.
Tiiing!
Ponselnya bergetar.
Matanya langsung berbinar ketika membaca nama pengirimnya. Yoga.
Kak Yoga💬
Apa masih sakit?
Senyum otomatis terbit di bibirnya. Ia mengetik dengan hati-hati, meski setiap gerakan jari menusuk perih di telapak tangan yang terluka.
Kevia 💬
Sudah lebih baik. Cuma sedikit nyeri kalau dipakai bergerak.
Tak lama, balasan datang.
Kak Yoga💬
Syukurlah. Banyak-banyak istirahat ya.
Kevia mengerucutkan bibir, tersenyum.
Kevia 💬
Iya.
Notifikasi kembali masuk, kali ini dengan nada ringan.
Kak Yoga 💬
Udah, bobo sana. Jangan lupa mimpiin aku ya 😊
Emotikon dan kalimat sederhana itu membuat pipi Kevia langsung merona. Hatinya berdebar seperti remaja yang baru mengenal cinta. Jemarinya mengetik singkat, malu-malu.
Kevia 💬
Iya.
Ia menjatuhkan tubuh ke kasur, memeluk bantal dengan senyum tak bisa ditahan. Dadanya hangat, penuh rasa manis yang jarang ia rasakan.
Tiiing!
Notifikasi lain muncul. Dengan semangat ia meraih ponsel, namun senyumnya meredup ketika melihat nama di layar. Kevin.
Kevin 💬
Bagaimana keadaanmu? Apa sudah baikan?
Kevia menggigit bibir bawahnya, lalu membalas sopan.
Kevia 💬
Udah mendingan, cuma masih sakit kalau digerakkan.
Balasan datang nyaris seketika.
Kevin 💬
Cepat sembuh, ya.
Kevia 💬
Iya.
Kevia menghela napas panjang. Pesan dari Kevin selalu terasa sopan dan formal. Bukan karena hambar, tapi memang begitulah cara ia menjaga batas. Ia tahu Kevin menyukainya, dan justru karena itu ia memilih berhati-hati. Kevia tak ingin membuat Kevin menunggu sesuatu yang tak pernah bisa ia balas.
"Kevin baik… terlalu baik malah. Kadang aku merasa jahat, membiarkan dia tetap di sisiku padahal aku tak bisa memberinya apa yang ia harapkan. Bagaimana kalau aku menjauh sepenuhnya? Tapi.. aku tak mau kehilangan sahabat sebaik dia. Dan jika aku menjauh, itu pasti juga akan menyakiti hatinya. Aku bingung… harus bagaimana aku menghadapi Kevin?" batinnya, getir sekaligus ragu.
Pandangan Kevia kembali jatuh pada layar ponsel, pada chat-nya dengan Yoga.
Berbeda saat ia berkirim pesan dengan pria itu, tanpa sadar, senyum selalu merekah di bibirnya.
“Kak Yoga selalu lembut dan perhatian,” gumamnya lirih, senyum manis kembali menghiasi wajahnya.
Namun tanpa sengaja, matanya bergeser ke chat lama di layar. Chat bersama pria misterius. Jantungnya berdegup aneh. Senyum yang tadi merekah perlahan lenyap, berganti muram.
Bayangan pria itu muncul jelas di benaknya. Sikap tegas, tatapan menusuk, suara berat yang terkadang dingin hingga menakutkan. Tapi justru di balik semua itu, Kevia merasakan rasa aman yang begitu nyata. Bersamanya, ia tak perlu berpura-pura manis atau selalu kuat. Ia bisa marah, kesal, menangis… menjadi dirinya sendiri sepenuhnya.
Pria itu bukan hanya tempat bernaung, tapi juga cermin yang membentuk dirinya. Sikapnya yang dominan membuat Kevia belajar tegar, membuatnya percaya diri menghadapi dunia. Dan kini, kehilangan sosok itu seperti kehilangan pijakan.
“Dia benar-benar pergi dariku? Tak akan lagi menemuiku?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Namun tiba-tiba wajah Yoga muncul di kepalanya. Senyum teduhnya, suara lembutnya, tatapan hangatnya.
Yoga membuatnya nyaman dengan cara berbeda. Tidak mendominasi, tidak menekan, melainkan melindungi dengan kelembutan.
“Kenapa… aku merasakan rasa nyaman yang sama saat bersama mereka? Tapi dengan cara yang begitu berbeda?”
Kevia menutup wajah dengan kedua tangannya, hatinya kacau. Dua sosok pria hadir dalam hidupnya. Satu misterius, penuh intensitas, satu lagi terang, lembut, dan tulus. Keduanya membuatnya merasa aman, tapi hatinya tak tahu harus memilih arah mana untuk berlabuh.
Malam itu, Kevia tertidur dengan pikiran berkecamuk. Antara rindu yang tak selesai, dan harapan baru yang mulai tumbuh.
***
Keesokan harinya, langkah Kevin menapaki halaman kampus terasa berat. Pikirannya masih penuh oleh bayangan kemarin. Bagaimana Kevia tampak begitu nyaman dalam gendongan pria itu. Interaksi mereka… begitu akrab, begitu alami, hingga membuat dadanya remuk. Kevia bahkan terlihat patuh pada setiap ucapan pria itu.
"Kalau benar dia pria yang Kevia suka… berarti seleranya pria dewasa?"
Melihat wajahnya saja, jelas usianya sudah di atas dua puluh tujuh. Kevin menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun hatinya tetap terasa sesak.
Belum sempat pikirannya reda, sebuah lengan tiba-tiba melingkar di lengannya.
“Kita bareng ke kelas, ya,” suara Popy terdengar manja.
Refleks Kevin menghentikan langkah, wajahnya langsung mengeras. Ia menoleh dengan sorot tajam.
“Apa-apaan sih kamu?!” desisnya, berusaha melepaskan diri.
Namun Popy justru mengeratkan pelukan di lengannya. “Vin, kita kan sudah—”
“Cukup!” potong Kevin dingin. Nada suaranya tegas, menusuk, membuat beberapa mahasiswa yang lewat sempat melirik. “Aku sudah bilang, aku gak bakal nikah sama gadis yang gak aku suka.”
Popy menatapnya dengan wajah tersinggung, rahangnya mengeras. “Gadis yang kau suka? Anak tukang kelontong itu? Gadis miskin—”
“Berhenti!” potong Kevin lagi, kali ini lebih keras. Matanya berkilat penuh amarah. Ia mendekat, suaranya rendah namun tajam bagaikan pisau.
“Memangnya kau kaya? Kau pikir kekayaan itu milikmu? Kalau bukan karena orang tuamu, kau juga bukan siapa-siapa. Kita semua lahir telanjang tanpa pakaian, tanpa perhiasan. Dan ketika mati pun, cuma dibungkus kain kafan. Gak ada yang bisa kita bawa.”
Popy terperangah, bibirnya bergetar tapi tak ada kata yang keluar.
Kevin menatapnya tajam, telunjuknya menunjuk ke dada Popy.
“Jadi jangan sombong dengan harta yang bahkan bukan hasil kerja kerasmu. Itu semua milik orang tuamu, bukan kamu. Kau… bukan apa-apa tanpa mereka.”
Hening. Suasana di sekitar mendadak terasa berat. Beberapa mahasiswa yang mendengar, pura-pura sibuk tapi jelas menyimak.
Popy menggertakkan gigi, tangannya mengepal kuat, namun tak mampu membalas.
Sementara Kevin menarik lengannya dengan kasar, lalu melangkah pergi. Punggungnya tegap, sorot matanya dingin tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Popy berdiri kaku, wajahnya merah padam oleh malu dan amarah yang bercampur jadi satu.
Bisik-bisik mahasiswa mulai terdengar.
"Benar kata Kevin tadi, kita semua lahir gak pakai baju, mati pun hanya dibungkus selembar kain kafan.
Berlebihan kalau sombong karena harta orang tua."
“Si Popy ini emang kelewat sombong.”
“Iya, dia kira Kevin bakal suka sama dia?”
“Muka cantik sih, tapi itu pun karena make up tebal. Beda banget sama Kevia, cantiknya alami, ramah, pintar lagi.”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Kevia melirik sekilas ke arah depan kampus, dan nyaris tercekat. Dari jauh, dua sosok yang begitu familiar tampak nongkrong santai di trotoar, Joni dan Janto.
“Mereka…” jantungnya berdentum tak karuan. “Apa jangan-jangan mereka memang nyari aku?”
To be continued
Kevia ayo semangat untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah.
Langkah pertama Kevia mengetik pesan ke Yoga, minta nomer telepon dan alamat rumah klien yang ditemui di kafe.
ini udah masuk kategori fitnah ya,karena disebar di kalangan kampus...
apa ini masuk bullying juga...
siap siap aja Riri dan Popy...
pasti bakalan ada adu ngotot ini antara ortu Popy dan pihak kampus
jadi ketakutan sendiri kan... 🤣🤣🤣
hayo duo besti yang sudah berbuat akan dapat hukuman apa ya....
harusnya sih... di bikin malu juga iya ga sih.... 🤭🤭🤭