Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Takut Kehilangan
Kevin terus berjalan, menuruti firasatnya yang sejak tadi terasa tak beres. Mobil hitam yang melintas kencang meninggalkan jejak resah di dadanya. Langkahnya tanpa sadar makin cepat, menelusuri jalanan sepi hingga akhirnya berhenti di sebuah sudut.
Di sana, terlihat seorang gadis duduk dengan bahu terguncang.
Kevin menahan napas. Dari postur tubuh dan pakaiannya, ia langsung tahu siapa gadis itu.
"Via…" panggilnya, suaranya lirih namun penuh kecemasan.
Kevia membeku. Jantungnya berdegup kencang, hampir meledak di dalam dada. Dengan panik, ia buru-buru mengusap air mata, meski tangannya gemetar hebat. Ia tak berani menoleh, seakan jika menatap Kevin, semua yang ia sembunyikan akan runtuh.
Melihat itu, Kevin tak tinggal diam. Langkahnya dipercepat, menyusul hingga berdiri tepat di hadapan Kevia yang masih menunduk, seakan ingin menyembunyikan dunia dari tatapan mata pemuda itu.
Mata Kevin menangkap jelas, sisa air mata yang masih membekas di pipi, mata sembab yang berusaha Kevia tutupi dengan buru-buru menghapusnya.
“Via…” suaranya tercekat. “Kamu kenapa?” tanyanya dengan nada penuh khawatir.
Sejak pertama mengenalnya, ia tak pernah sekalipun melihat gadis itu menangis. Kevia selalu tegar, selalu menutup rapat sisi rapuhnya. Namun hari ini… untuk pertama kalinya, Kevin melihat air mata itu. Dan entah mengapa, hatinya seakan diremas kuat-kuat.
Kevia cepat-cepat menggeleng, memalingkan wajah. “Nggak apa-apa,” sahutnya pelan, suaranya bergetar.
Kevin merasakan dadanya kian sesak. “Siapa… siapa yang menyakitimu?” Suaranya meninggi, panik. Kedua tangannya refleks menggenggam pundak Kevia, mengguncangnya pelan. “Katakan, Via! Siapa yang bikin kamu kayak gini?”
Kevia menahan napas, mencoba tegar meski matanya kembali berkaca. Perlahan ia menghapus sisa air matanya, lalu menepis tangan Kevin dengan lembut.
“Maaf… aku ingin sendiri,” ucapnya lirih, kemudian berdiri dan melangkah cepat menjauh.
Kevin hanya bisa terdiam, matanya menatap punggung itu yang makin lama makin menjauh. Dadanya terasa sesak, napasnya berat. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, menahan gejolak yang membakar dalam dirinya.
“Kenapa… kenapa kau menangis, Via? Siapa yang sudah menyakitimu…?” bisiknya dengan suara yang pecah, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri.
***
Di Sisi Lain
Rima berdiri dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam menusuk ke arah dua lelaki di hadapannya. Ruangan itu terasa menegang, seakan hawa dingin memancar hanya dari sikapnya.
“Bagaimana?” tanyanya datar, nyaris tanpa emosi. “Kalian sudah dapat informasi tentang anak sialan itu?”
Joni dan Janto saling melirik, seolah tak ada satupun yang berani membuka suara lebih dulu. Akhirnya Joni menelan ludah, memberanikan diri.
“Pihak kampus tidak mau memberikan data, Nyonya. Bahkan setelah kami menunjukkan bukti surat nikah Anda dengan Pak Ardi…”
Rima mendengus keras, kepalanya sedikit menoleh dengan wajah penuh kejengkelan.
“Cih. Ketat sekali, rupanya.”
Keheningan sesaat, lalu suaranya kembali terdengar dingin.
“Kalau begitu, ikuti saja dia. Cari tahu di mana mereka tinggal.”
Kali ini Janto yang bersuara, dengan raut ragu.
“Itu akan sedikit sulit, Nyonya. Jadwal kuliah tidak menentu, tidak setiap hari, dan jamnya pun berbeda-beda. Tidak seperti anak sekolah biasa…”
Belum sempat kalimatnya selesai, Rima mengangkat tangannya, memotong kasar.
“Aku tidak mau tahu!” Suaranya tajam, membuat kedua lelaki itu serentak terdiam. Tatapan matanya bagaikan pisau, menusuk langsung ke arah mereka.
“Pokoknya, cari tahu di mana tempat tinggal mereka. Kalau kalian gagal, jangan harap aku masih akan membayar kalian. Aku tidak menggaji orang yang tidak berguna.”
Udara seakan membeku. Joni dan Janto serentak menunduk, wajah mereka pucat.
“Baik, Nyonya,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Cepat pergi.” Rima melambaikan tangannya singkat, seperti mengusir.
Dua lelaki itu segera bergegas keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa. Sementara Rima tetap berdiri di tempat, bibirnya melengkung tipis membentuk senyum dingin.
“Tak peduli apa pun caranya… aku akan tahu di mana kalian bersembunyi,” gumamnya pelan, penuh ancaman.
Begitu keluar dari rumah besar itu, Joni dan Janto berjalan sambil menunduk, wajah mereka sama-sama kusut.
“Haduh… kalau kayak gini terus, bisa habis umur kita cuma buat nyari alamat si anak itu,” gerutu Janto lirih.
Joni menghembuskan napas panjang.
“Ya, tapi kau tahu sendiri 'kan gimana Ny. Rima. Kalau sampai kita gagal, jangan harap gaji keluar. Dan kalau gaji nggak keluar… anak-istriku makan apa?”
Janto ikut mengangguk, wajahnya muram.
“Iya sih… anakku juga sebentar lagi masuk sekolah. Biaya buku sama seragam aja udah bikin pusing. Kalau kerjaan ini sampai hilang, belum tentu kita bisa dapat kerjaan baru dengan cepat.”
“Makanya, jangan main-main,” potong Joni cepat. “Kita udah nunjukin surat nikah Ny. Rima sama Pak Ardi aja pihak kampus nggak mau kasih data. Padahal jelas-jelas dia ibu tiri anak itu. Jadi satu-satunya cara ya… kita harus pantau langsung.”
Janto mendecak.
“Pantau gimana kalau kita gak tahu jadwal kuliahnya?"
“Ya, itu dia masalahnya.” Joni menendang kecil kerikil di lantai, wajahnya masam. “Jadwal kuliah mereka berantakan, nggak kayak anak sekolah yang tiap hari jam masuknya pasti. Kita bisa nongkrong di depan kampus, tapi belum tentu liat dia masuk atau keluar. Apalagi kalau pas jam rame.”
"Haiss... nongkrong kayak gitu alamat bikin perut laper dan rokok habis," Janto membuang napas kasar.
“Sudahlah,” sahut Joni dengan wajah kecut. “Lebih baik capek nongkrong di depan kampus daripada pulang tangan kosong. Kalau sampai gagal, kita berdua yang rugi. Ingat keluarga di rumah.”
Janto mendengus, lalu menatap kosong ke depan.
“Dasar nasib, jadi mata-mata buat orang kaya. Udah gajinya pas-pasan, kerjaannya bikin kepala pecah.”
Joni menepuk bahunya.
“Diamlah. Besok kita mulai nongkrong. Kita harus nemuin cewek itu, apapun caranya.”
***
Kevia akhirnya tiba di rumah kontrakan. Hatinya masih terguncang, tapi ia paksa menampilkan wajah tenang. Saat melangkah ke halaman, matanya menangkap sosok Ardi. Sang ayah sibuk melayani pembeli.
Ardi tengah menimbang telur, tangannya cekatan sementara wajahnya sedikit berkeringat. Di sisi lain, seorang wanita, rekomendasi dari pemilik kontrakan, tampak sibuk melayani antrian fotokopi yang tak kalah ramai.
“Sayang, baru pulang?” sapa Ardi sambil menoleh sekilas, masih menimbang telur.
“Iya, Yah,” jawab Kevia, suaranya datar. Ia berusaha sekuat tenaga terlihat biasa, padahal hatinya berantakan. Porak-poranda oleh pria yang bahkan tak ia kenali wajah dan namanya, tapi entah mengapa mampu membuatnya hangat, nyaman, sekaligus kacau.
“Ya sudah, istirahat dulu sana. Kalau capek, nggak usah masak. Kita pesan aja,” ujar Ardi sambil memindahkan telur ke wadah plastik.
“Iya, Yah,” sahut Kevia buru-buru, lalu masuk ke dalam rumah.
Begitu pintu kamar tertutup, pertahanannya runtuh. Kevia menjatuhkan diri di atas ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Hatinya riuh.
Ucapan pria misterius itu kembali menggema di telinganya. Tentang pernikahan, tentang masa depan.
“Aku masih muda… masa iya mau nikah?” gumamnya lirih, menutup wajah dengan lengan.
Dadanya sesak, pikirannya tak mau diam.
Apa dia menyerah karena aku menolak? Apa… itu sebabnya dia pergi?
Dengan tangan bergetar, Kevia meraih ponselnya. Layarnya menyala, menampilkan chat terakhir dengan pria itu. Ia menatapnya lama, seolah mencari jawaban di antara baris-baris kata yang terasa terlalu asing, tapi sekaligus begitu dekat di hatinya.
Layar ponsel menyala, cahaya birunya memantul di wajah Kevia yang sayu. Dengan jari gemetar, ia menggulir riwayat chat yang terasa begitu panjang. Penuh dengan percakapan yang dulu sering membuatnya kesal, tertawa, sekaligus terjebak dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Perlahan jarinya berhenti. Pandangannya membeku pada satu pesan.
Sinting 💬
Sayang, mimpi bisa jadi nyata… kalau diperjuangkan.
Kelopak matanya bergetar. Bibirnya menggigit pelan, mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak. Pesan itu bukan yang terakhir, tapi justru yang paling menusuk jantungnya. Setiap hurufnya terasa hidup, seakan pria itu masih ada di dekatnya, mengucapkan kata-kata itu langsung ke telinganya.
Kevia menarik napas dalam, namun justru dadanya terasa kian sesak. Sambil menatap layar, ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar.
“Kalau begitu… kenapa kamu pergi? Kenapa meninggalkanku dengan semua rasa ini?”
Jantung Kevia berdegup tak karuan. Ia membaca kalimat itu berulang kali, seolah mencari makna tersembunyi di balik kata-katanya.
Tangannya refleks menyentuh layar, jempolnya hampir mengetik balasan. Tapi ia urung. Napasnya berat.
Kenapa aku begini? Kenapa aku… seolah takut kehilangan dia?
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰