“Diana … kamu akan diberi hukuman mati karena telah melakukan percobaan pembunuhan.”
Diana yang sudah sangat lemah diikat dan di arak ketengah tempat eksekusi. semua rakyat dan bangsawan melihatnya, mereka melemparnya dengan batu dan mengumpat kepadanya.
Kepala Diana ditaruh di tiang untuk di penggal.
Diana melihat kearah Wanita yang dicintai suaminya dan melihat ayah serta kakaknya yang masih tetap membencinya hingga akhir hayatnya.
“Kenapa kalian sangat membenciku?” gumam Diana.
Jika aku bisa mengulang waktu, maka aku tidak akan lagi mengemis cinta kepada kalian.
KRAK. Suara alat penggal terdengar keras memenggal kepala Diana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ellani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Bayangan di Perbatasan
Kabut tebal menggantung di atas hutan perbatasan. Udara lembap dan dingin, menciptakan suasana sunyi yang mencekam. Hanya suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin menemani langkah-langkah perlahan di antara pepohonan.
Selena berjalan di depan, matanya tajam memindai setiap jejak di tanah berlumpur. Di belakangnya, Rowan dan beberapa prajurit mengikuti sambil membawa obor. Cahaya oranye redup menari di wajah mereka yang serius.
“Jejaknya mengarah ke sini,” gumam Selena sambil berlutut, memperhatikan tanah. “Masih baru. Darahnya belum kering.”
Rowan ikut menunduk, mengerutkan alis. “Dia terluka parah. Tapi jika dia memang seorang bangsawan seperti yang dikatakan laporan, dia pasti punya pelindung atau kemampuan untuk bertahan.”
Selena berdiri lagi, menatap ke arah lereng batu yang tertutup kabut. “Atau dia bersembunyi,” ucapnya serius. “Tempat ini penuh gua. Jika dia cukup pintar, dia akan memilih bersembunyi sampai malam berlalu.”
Mereka berdua melangkah lebih dalam, mengikuti aliran sungai kecil yang mengarah ke sebuah tebing. Di sanalah, tersembunyi di balik semak rimbun, terdapat sebuah mulut gua yang nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan.
Rowan menunjuk. “Kau lihat itu?”
Selena mengangguk. “Kita periksa.”
Mereka masuk perlahan. Udara di dalam gua terasa lembap dan berat. Hanya suara tetesan air dari langit-langit yang memecah keheningan.
Selena mengangkat lentera lebih tinggi, matanya menyapu dinding-dinding batu yang dingin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan — tapi ada sesuatu yang ganjil. Sebuah kain robek berwarna hitam tergeletak di tanah, dan jejak darah tipis memanjang ke arah dalam.
“Dia di sini,” ucap Selena pelan. “Tapi bersembunyi.”
Rowan menatap sekeliling. “Kenapa dia tidak menyerang kita? Atau lari?”
Selena menjawab cepat, “Karena dia tahu tidak akan menang. Luka seperti ini... pasti parah. Dia hanya menunggu kesempatan.”
Mereka berhenti sejenak, menyimak sekeliling. Tapi gua itu benar-benar sepi.
Rowan menarik napas, lalu memberi isyarat mundur. “Kita tidak bisa gegabah. Kita pasang perangkap di luar, dan beberapa dari kalian berjaga. Jika dia keluar, kita tangkap.”
Selena mengangguk. “menurut Yang mulia apa dia masih di dalam?”
“Jika dia masih hidup, ya.” Rowan melangkah ke luar gua. “Dan orang yang terluka tidak akan jauh dari tempat aman.”
Sementara itu, di kedalaman gua, Lucien membuka matanya perlahan. Nafasnya berat, keringat dingin membasahi dahinya. Dari celah batu tempat ia bersandar, ia bisa melihat cahaya lentera samar di kejauhan — tanda bahwa musuh baru saja pergi.
Ia menahan suara erangan ketika mencoba menggerakkan bahunya. Luka di sisi tubuhnya mengeluarkan darah, tapi lebih buruk dari itu — racun dari panah yang mengenainya mulai menyebar.
Ia menekan luka itu, menggertakkan gigi.
“Aku tidak bisa tertangkap… bukan di sini…” gumamnya lirih.
Di sampingnya, aura samar biru bergetar pelan — spirit pelindungnya, Aether, muncul sebagai cahaya halus.
“Tuan, mereka hampir menemukan Anda. Saya hanya bisa menyamarkan keberadaan Anda untuk beberapa jam lagi.”
Lucien mengangguk lemah. “Itu cukup… Aku hanya perlu waktu untuk pulih sedikit.”
“Anda kehilangan terlalu banyak darah. Kita harus keluar dari sini sebelum fajar.”
Lucien menutup matanya, memusatkan tenaga yang tersisa untuk menahan kekuatannya agar tetap aktif. Ia tahu orang-orang di luar bukan sekutu. Dari pakaian mereka, dari cara mereka mencari — mereka bukan pasukan dari kerajaannya.
“Mereka ingin aku mati.” Kesadaran itu menyelinap seperti bayangan dingin di pikirannya.
Ia meraih kantong kecil di sabuknya, mengeluarkan ramuan yang tersisa. Cairan itu pahit dan membakar tenggorokannya, tapi memberi sedikit kekuatan untuk menahan rasa sakit.
“Kau harus bertahan hidup,” bisik Aether. “Kau adalah satu-satunya pewaris yang tersisa.”
Lucien menatap ke arah mulut gua yang gelap. “Dan mereka tahu itu.”
Di luar, Selena duduk di dekat api unggun kecil. Matanya tak lepas dari gua, sementara Rowan sibuk memeriksa perangkap tali di sekitar area.
Selena memikirkan novel yang ia baca. Mengapa aku melupakan bagian ini?
Selena mengeluarkan batu spirit dan memberikan darahnya lagi.
SRAAAA. Cahaya terang muncul di malam yang gelap ini.
Rowan dan prajurit lainnya terkejut. “Apa yang terjadi?” teriak Rowan sambil melindungi wajahnya dari angin yang kencang.
“Yang mulia … berlindunglah.”Owy segera melindungi Rowan. Ia tidak akan membiarkan Putra Makota terluka.
Selena yang berada didalam cahaya itu perlahan membukan matanya dan melihat sebuah spirit berbentuk burung kecil yang imut.
“Pii?” burung itu memiringkan kepalanya.
Melihat ini mata Selena berbinar. Spirit penyembuh, ini dia!!
Spirit itu terbang mengelilingi Selena dan berdiri dibahu Selena sambil mengelus kepalanya kewajah Selena.
“Hahaha … ini sangat geli.”
“Kau berbeda sekali dengan Love.”
“Karena kami spirit yang berbeda,” jawab Love.
Rowan dan prajurit lainnya melihat burung yang bersandar dipundak Selena.
“Apa itu spriti?” tanya Rowan dengan tatapan penasaran.
Selena mengambil spirit itu dan memperlihatkannya kepada Rowan.
“Ini adalah Pii spirit penyembuh,” ucap Selena dengan senyum cerah.
Rowan maju dan melihat burung itu dari dekat. Ini pertama kalinya ia melihat spirit, putra mahkota Lucien memiliki spirit tetapi tidak seorangpun pernah melihatnya.
Rowan mengelus spriti itu dan melihat Selena. Wanita ini cukup berguna.
Suasana menjadi cair setelah spirit muncul, setelah memasang jebakan mereka semua Kembali ke camp untuk beristirahat dan akan Kembali besok.
Dalam perjalanan Selena sangat bangga dengan dirinya. Ia hanya bisa menunjukkan Pii didepan umum. Sedangkan untuk Love ia akan terus menyembunyikannya, karena spirit cinta bisa dicurigai orang – orang.
Didalam goa yang gelap dan dalam.
Tanpa mereka sadari, di dalam gua, Lucien perlahan mulai bergerak lebih dalam, mencari jalan keluar rahasia. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya.
Jika ia tetap di sana saat fajar, kekuatannya akan habis dan ia akan menjadi mangsa yang mudah ditangkap.
Di balik bayangan, cahaya biru spirit-nya menuntun langkahnya.
Perburuan baru saja dimulai dan di antara kabut perbatasan, dua dunia yang berseberangan perlahan saling mendekat.
Pagi hari di Istana
“Kalian sangat imut,” Iner mencubit pelan pipi Arel dan Fey.
“Jangan berlebihan,” ucap Diana sambil menyingkirkan tangan Iner.
“Maafkan aku.” Iner menurunkan tangannya.
Pagi ini Iner datang ke istana tanpa undangan sama sekali, karena ini adalah hal yang mendesak jadi Iner segera datang menemui Diana.
“Jadi apa hal yang mendesak itu?” tanya Diana.
“Yang Mulia .. Toko teh kita sudah mulai bisa dibuka besok,” ucap Iner dengan bangga.
“Secepat itu?!” Diana tidak menyangka akan membangun sebuah toko atau sebuah café secepat ini.
Mendengar ini Iner tersenyum. “Hehe … aku mempekerjaan tukang yang memiliki sihir,” ucap Iner.
“Apa ada yang memiliki sihir?” tanya Diana. Ia baru pertama kali mendengarnya.
“Aku dengar dia pernah bekerja di Menara sihir, tetapi karena dia ingin hidup sederhana dia merubah profesinya.”
Diana sedikit kagum. Sepertinya masih ada hal yang mengagumkan yang tidak tertulis dalam novel.
“Kalau begitu aku akan segera mengantar stok racikan teh yang telah aku buat dengan berbagai macam aroma,” ucap Diana.
“Baik yang mulia,” ucap Iner dengan senyum.
Mereka lanjut berbicara dan tertawa di taman sambil meminum teh.
jangan lengah jangan lelah