Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 — Lokasi Angker Baru
DAVIN melarikan motor bebeknya ke rumah Rayan di komplek tetangga. Secara kasatmata perumahan itu tampak lebih elite dan tenang dibanding lingkungan tempat tinggalnya. Pohon-pohon berjajar rapi di kedua sisi jalan, bangunan besar dengan eksterior modern-minimalis berderet rapat, pagarnya tinggi-tinggi, dan suasananya sunyi di sore hari.
Rumah Rayan berdiri di pojok jalan. Fasadnya modern dengan dinding abu-abu tua dan kaca besar di lantai dua. Tidak terlalu mewah. Tapi hunian pribadi itu cukup lugas untuk menunjukkan kalau pemiliknya bukan kelas menengah ke bawah.
Davin memarkir motor bebeknya di belakang mobil Sasha, lalu mematikan mesin. Dia melihat beberapa pasang sepatu dan sandal berserakan di teras. Bukan alas kaki keluarga. Tapi sepatu sneakers Sasha yang putih bersih, sepatu sneakers merah Tari, sandal kulit Naya dan sandal slip-on Elisa. Rupanya Rayan tak sendirian.
Mau bareng-bareng main skate?
Dia menaruh skateboard-nya di sudut teras, lalu melangkah masuk rumah tanpa salam dan tanpa memencet bel.
Ruang santai keluarga rumah itu luas, tapi sedikit berantakan. Beberapa bungkus camilan robek dan kaleng kopi instan kosong tergeletak di meja. Di sudut ruangan, tripod kamera Rayan berdiri miring, sementara di kursi ada laptop yang menampilkan timeline video setengah jadi.
Rayan duduk di lantai sambil mengutak-atik remote control drone. Dia mengangkat wajahnya sesaat. “Akhirnya lo muncul juga, Prof.”
Davin hanya mendengus pelan sambil menaruh helmnya di sudut ruangan. Rayan sudah sangat fasih memanggil dia dengan sebutan “Profesor” dan ayahnya dilabeli Rayan dengan sebutan “Prof. A.”
Sekilas Davin mengedarkan pandangannya.
Di meja makan, Tari duduk diam dengan tablet di depannya. Dia jarang ikut terlibat dalam senda-gurau—atau perdebatan—teman-temannya. Tapi telinganya selalu menyimak suara-suara di sekitarnya. Dia bukannya sengaja bersikap sok misterius. Tapi dia hanya tidak suka mengatakan hal-hal yang tak perlu.
Di sebelahnya, Sasha sibuk men-scroll ponselnya. Rambut panjangnya yang hitam alami terikat rapi. Kaus putihnya dimasukkan ke celana jeans high waist. Dia seakan secara alami tampak menarik dalam setiap penampilannya. Dia hanya melirik sekilas pada Davin—dan, entah mengapa, dia merasa rada kesal melihat sikap Davin yang kelewat cuek.
Elisa, seperti biasa, hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Dia duduk di karpet sambil mencoba pose selfie dengan latar tripod kamera Rayan di belakangnya. Sesekali terdengar keluhan bosannya.
Dia masih tak habis pikir kenapa Sasha mau bergabung dengan kelompok aneh ini. Oke, Sasha ngebet pada Rayan. Tapi ngapain sahabatnya begitu bersemangat ingin ikut kegiatan “ekstrem” mereka? Dia merasa tak cocok dengan Davin dan Rayan yang dinilainya sama-sama weirdo. Dan Tari juga kerap bersikap seperti paranormal remaja. Meskipun dia cukup akrab dengan Tari, namun tingkah aneh gadis itu—jujur saja—sering membuat bulu kuduknya berdiri.
Sejak di kelas sebelas, rumah Rayan secara tak resmi menjadi markas mereka. Orang tua dan kedua adik Rayan tinggal di BSD. Adik-adiknya bahkan bersekolah di sana—membuat dia seakan dianaktirikan.
Tapi dia sekaligus merasa bebas seperti tinggal di kos. Di sanalah mereka sering (pura-pura) mengerjakan tugas kelompok. Secara resmi kelompok mereka hanya empat orang—Davin, Rayan, Tari dan Naya. Davin satu kelas dengan Rayan dan Naya. Sedangkan Tari di kelas sebelah dengan Sasha dan Elisa.
Namun dalam beberapa hari terakhir Sasha memaksa ikut dengan Tari karena suatu alasan yang sama sekali bukan rahasia. Mau tak mau Elisa ikut terseret ke dalam kelompok itu. Bagaimanapun, dia seperti kembaran Sasha. Di mana ada Sasha, di situ ada Elisa. Bahkan pada saat lagi suntuk pun, dia memaksakan diri untuk ikut Sasha. Atau secara halus dipaksa Sasha untuk ikut.
Makanya rumah Rayan sekarang tampak ramai dengan empat orang gadis.
Menurut Davin, Elisa cuma bikin berisik dengan mulutnya yang jarang bisa diam. Sementara Sasha, entah mengapa, sering membuat dia merasa tak nyaman.
Tapi, seperti biasa, dia nyaris tak pernah menyuarakan pikirannya. Apalagi jika itu bisa menyinggung perasaan orang lain. Dia hanya asyik dengan kegiatannya sendiri. Dia juga bicara seperlunya saja. Bercanda pun sekedarnya. Namun dalam loyalitas kelompok, dia selalu bisa diandalkan. Sama seperti Rayan.
Davin duduk di kursi. Dia begitu saja memperhatikan tumpukan peta dan catatan di atas meja kaca. Ada beberapa foto yang tampak baru.
Dari dapur, Naya muncul sambil membawa segelas cokelat hangat. Dia tersenyum kecil pada Davin, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. “Rayan udah punya lokasi angker baru. Tantangan followers-nya.”
Rayan berdiri sambil menyeringai lebar pada Davin. “Kita perlu satu lokasi yang beneran fresh. Bukan rumah tua yang udah jadi video sejuta umat.”
Davin menatap lurus ke arahnya. “Lalu ngapain lo nyuruh gue bawa skate?”
“Rileks, Prof. Kita berubah pikiran.”
Davin mengerjap pelan. “What? Lo baru WA gue lima belas menit lalu, Bro.”
Rayan tertawa kecil tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dia memungut controller dari meja dan memainkan tombolnya tanpa benar-benar fokus. “Well, kita berubah pikiran tujuh menit lalu. Payah. Tapi nggak usah kita pikirin. Kita punya prioritas lebih penting sekarang.”
Davin menggelengkan kepala. Mungkin di seluruh dunia hanya Rayan yang berani mengatakan kalimat itu—seolah-olah satu kelompok bisa berubah pikiran bareng tanpa dialog dan diskusi.
Tapi percuma saja dia berdebat dengan sahabatnya. Entah kenapa pikirannya begitu saja lari pada buku catatan rahasia ayahnya ketika mendengar lokasi angker baru yang akan mereka eksplorasi.
Umbral.
Sepotong kata itu terus berputar-putar di sudut otaknya. Dia sudah berusaha membuang pikiran itu dari benaknya. Tapi tak bisa.
Rayan tiba-tiba menarik lengannya ke dekat pintu beranda samping. Dari situ, ruang santai keluarga terlihat jelas—Naya duduk di sofa, mulai sibuk menulis di notebook kecilnya—Elisa masih duduk di karpet sambil asyik men-scroll ponsel dan sesekali tertawa kecil. Sementara Sasha dan Tari duduk agak jauh di meja makan—terlalu sibuk untuk mendengarkan percakapan mereka.
Rayan berbisik cepat. “Tadinya gue pengen bikin escape plan. Kalau feeling gue bener, gue harus prepare.”
Davin melirik ke arah sofa seolah ingin memastikan Naya dan Elisa tidak mendengar. Kedua gadis itu asyik dengan kegiatan masing-masing.
“Feeling apa?”
Rayan mencondongkan badan. Matanya melirik sekilas ke arah meja makan. “Sasha.”
Davin mengerutkan kening. “Kenapa dia?”
“Tadinya gue aman, Prof,” sahut Rayan dengan nada lebih pelan. “Tadinya dia cuma fokus ke gue. Tapi gue punya firasat jelek. Dia mulai naksir lo.”
Davin nyaris tertawa. “Bullshit!”
“Sstt!” Rayan hampir saja membekap mulut sahabatnya. “Jaga harga diri gue, Prof.”
Davin tersenyum tipis. “Sori.”
Di ruang santai keluarga, Naya dan Elisa melirik curiga. Tapi dari ekspresi mereka, jelas mereka tidak bisa mendengar bisik-bisik kedua cowok di pojokan itu.
“Makanya gue harus punya escape plan,” ujar Rayan melanjutkan. Nadanya serius seolah sedang merencanakan misi rahasia. “Dan lo harus ikut tanggung jawab.”
Davin menyipitkan mata. “Tanggung jawab apa?”
“Renita. Tadinya dia mau jogging di Monas. Tapi dia berubah pikiran. Jadi, kita juga berubah pikiran. Dia escape plan gue. Gue harus punya gebetan sebelum kuliah.”
“Renita mana? Renita dari kelas sebelah?”
Rayan menyeringai miring. “Real challenge, huh? Tapi cepat atau lambat, gue pasti bisa ngerebut dia dari Sahrul.”
Davin mendengus lagi. “Lalu, kalau feeling lo salah, dan ternyata Sasha tetap fokus sama lo?”
Rayan menghela napas panjang seolah dibebani masalah yang begitu pelik. “Yah, terpaksa Renita gue kasihin buat lo.”
Davin memandangnya tak percaya. “Semudah itu?”
“Siapa bilang mudah? Soal ini rumit banget, Prof. Lo nggak ngerti. Tapi biar gue yang beresin semua prosesnya. Lo duduk manis aja. Tahu-tahu lo nanti udah punya gebetan cakep.”
Davin hanya bisa menggeleng antara heran dan mulai mumet. Di kepala Rayan, semua masalah bisa diatur. Bahkan perasaan orang lain pun seolah bagian dari rencana besar yang dapat dia kontrol.
“Lo tahu, nggak? Lo lebih parah dari monyet, Bro,” gumamnya.
Rayan mengangkat alisnya. “Maksud lo?”
“Monyet aja masih ada cintanya. Lo sama sekali nggak ada.”
Rayan tertawa gelak.