Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Menyatakan Perasaan
Kami bermain bola lagi. Kaki Rey sedikit pincang karena tendangan Dera. Makin-makin saja aku menganggap diri ini lemah, karena diselamatkan oleh perempuan. Sungguh, sepertinya dunia ini mulai terbalik. Permainan pun selesai, aku mendekati Dera.
“Ra, terima kasih ya,” kataku.
“Iya Val, tenang saja. Lain kali jangan takut melawan Rey ya!” ucapnya.
“Iya.”
Sepertinya aku cuma bilang terima kasih, padahal kami ini teman loh. Rasanya kok seperti ada tembok besar dan canggung luar biasa.
Kenapa harus terhalang oleh perasaan yang tidak jelas ini? Malu-malu muntah kucing. Kenapa tidak kuat melihat wajahnya, padahal wajah itu ya biasa, wajah manusia pada umumnya. Aku tidak bisa seperti ini, harus menjauh. Aku berlari ke arah Rey yang sedang menunggu untuk pulang bersama. Kenapa pula harus menjauh dari dia?
“Kamu kenapa Val? Dari tadi ekspresi wajah dan tingkahmu aneh saat melihat Dera,” tanya Rey tiba-tiba.
“Ah payah! Kamu salah lihat kali, tidak ada apa-apa kok, sungguh,” balasku.
“Beda loh kalau sama Dera, serius sumpah,” kata Rey.
Apa? Aku tidak mengerti, tidak bisa menjelaskan perasaan ini.
“Tunggu, apa mungkin kamu menyukai Dera?” tanya Rey spontan.
“Bodoh! Dia teman kita, mana mungkin bisa.”
“Yah, kemungkinan itu pasti ada. Ayo bilang saja.” Rey pun tertawa.
Cuma bisa diam, rasanya memang ingin berteriak tentang perasaan ini, tapi tidak bisa. Nanti dia berpikir yang macam-macam. Biarkan saja nanti juga terbongkar dengan sendirinya, tapi semoga saja tidak.
Keesokan harinya, kami bermain bersama kembali. Lagi dan lagi, salah tingkah. Saat kami sedang bermain petak umpet, Dera menyentuhku dan berkata, “Kena kau!”
Tiba-tiba aku bengong melihat wajah Dera, seperti kosong tapi tidak, mataku seperti punya kepala sendiri dan sedang memikirkan dia. Tidak bisa melakukan apa-apa.
Dera yang bingung, langsung menampar pelan pipiku berulang kali hingga sadar. Dia tertawa melihat tingkahku yang katanya seperti orang kesurupan. Ya, mendengar itu cuma bisa menerima dan ikut tertawa. Seperti orang bodoh saja rasanya.
Setelah permainan selesai, kepala ini masih saja memikirkan hal tadi. Rasanya benar-benar ingin melarikan diri entah ke mana. Jika bisa aku ingin bersembunyi di luar angkasa sampai otak bersih dari bayangannya. Aku ingin fokus. Sungguh, tidak bisakah? Bagaimana caranya? Aku ini laki-laki, masa masalah seperti ini saja tidak bisa menemukan jalan keluar?
Bagian yang cukup menyedihkan adalah pulang dengan rasa gelisah, seakan-akan langkah kaki ini menjadi lambat. Sesampainya di rumah, adikku sedang nonton sinetron di televisi. Entah ada angin apa, aku ikut menikmati tontonan itu. Hingga sampai pada saat pemeran dalam sinetron itu berkata, “Jika kamu menyukai seseorang, cepatlah katakan!”
Rasa-rasanya kalimat itu ditujukan untukku walaupun sadar tidak mungkin produser sinetron itu tahu bocah cilik ini lagi punya perasaan kepada seseorang, tapi tunggu, aku sendiri masih bingung, sebenarnya perasaan ini cinta atau apa?
Gabut membuatku mencari info lebih dalam. Sampai ketemulah kata ‘cinta’ di kamus bahasa Indonesia. Dapat! Di sana tertulis, cinta itu adalah sayang benar, suka sekali, kasih sekali, terpikat antara laki-laki dan perempuan, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati atau khawatir.
Ribet amat sih? Apa ada rumus untuk membuatnya jadi lebih sederhana? Ayolah, aku mohon. Anggaplah apa yang aku rasakan ini adalah cinta. Entahlah, belum tahu pasti. Namun, satu yang menurutku pasti, menyatakan cinta adalah satu hal yang harus dilakukan. Apa pun risikonya, ya apa pun.
Keesokan harinya, saat bermain bersama, sedikit demi sedikit memberanikan diri mencoba mendekati Dera. Secara perlahan, mencoba memanggil namanya.
“Dera.” Lagi-lagi perasaan gugup itu datang, padahal baru memanggil namanya saja, tapi kok berat ya? Aku tersenyum berkali-kali di dekatnya, apa ini normal? Tidak kuat, sepertinya harus mencari satu atau dua topik untuk dibicarakan. Ketemu, membicarakan tentang bola. Sangat tidak nyambung, aku tahu itu.
Obrolan yang canggung itu membuatku mengurungkan niat untuk menyatakan perasaan aneh ini sekarang. Butuh teman rasanya, butuh dukungan lebih. Tidak bisa sendirian rasanya.
Dalam pikiran, langsung membayangkan Rey sebagai pendukung gerakan pengungkapan perasaan ini. Langsung kudatangi dia saat kami semua selesai bermain dan langsung bilang bahwa aku menyukai Dera. Ekspresi Rey begitu mengejutkan, dia tertawa terbahak-bahak. Apanya yang lucu, Gendeng? Baiklah, biarkan dia puas dulu tertawa.
“Sudah aku duga! Hahaha!” ucap Rey dengan girangnya.
“Kenapa Rey? Salahkah?” tanyaku.
“Tidak! Sama sekali tidak. Aku justru mendukung penuh. Mulai detik ini kita akan bergerak. Proses pengungkapan cinta dimulai!” ucap Rey sambil mengepalkan tangan ke atas, seakan-akan peperangan besar akan dimulai.
Keesokan harinya, Rey datang ke rumah. Dia bersama Dillo dan Reza yang saat itu kebetulan kakak beradik ini sedang liburan. Sebenarnya mereka berdua sangat sukar untuk diajak bermain, tapi saat ini mereka justru terlihat bersemangat. Kami seperti sekumpulan tentara yang siap menyerbu markas.
Kami langsung beranjak dari rumahku menuju lapangan tempat kami biasa bermain di perumahan Oka. Panjang umur, sesampainya di sana, orang yang menjadi target kami berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Dera sedang duduk bersama teman-temannya. Rey, Dillo, dan Reza langsung bergerak. Mereka bertiga berusaha menarik perhatian teman-temannya Dera, agar Dera sendirian. Mereka berhasil melakukannya.
Asli kok malah bikin panik begini? Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba Rey datang kepadaku dan memberikan sesuatu tanpa terlihat oleh Dera dan lainnya. Dia bilang, “Ayo! Kamu bisa, Val!”
Kulihat sejenak benda yang diberikan, ternyata adalah setangkai bunga. Rey tersenyum dan pergi sambil mengacungkan jempolnya ke arahku. Oh, jadi ceritanya aku harus memberikan bunga ini kepada Dera? Semakin gugup sudah diri ini, tapi sungguh terima kasih atas rencananya. Aku segera mendekati Dera.
“Hai, Dera, boleh duduk di sampingmu?” tanyaku.
“Tentu saja. Val, apa kamu tahu kenapa teman-teman meninggalkan kita berdua?” tanyanya.
Tentu saja karena aku harus menyatakan perasaan ini kepadamu. Memangnya untuk apa lagi? Ide bodoh ini, aku harus bertanggung jawab. Harus berhasil. Jika tidak, usaha teman-teman akan percuma, tapi sayangnya mulut ini tidak bisa mengatakan apa pun. Mulut ini bungkam seakan-akan ada plester raksasa yang melekat.
“Kamu membawa bunga buat siapa?” tanya Dera.
“Ah, ini? Bu ... bukan buat siapa-siapa.”
“Oh, aku kira kamu beda dari yang lain. Cowok yang suka sama bunga. Itu ‘kan manis. Hahaha … maaf. Keren kok, cowok yang suka bunga.”
Ya, di sini hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ucapan Dera. Entah apakah dia bermaksud mengejek atau memuji. Aku tidak peduli.
Lebih dari setengah jam duduk di sini dan tidak juga dapat menyatakannya. Apa teman-temanku akan marah? Terlalu lama menunggu. Sial, sungguh sulit. Seriusan rasanya lebih baik lari keliling kompleks satu putaran atau satu lapangan ini meskipun sambil dikejar anjing, daripada harus melakukan ini. Capeknya beda, sungguh.
“Eh Val, sudah sore. Aku pulang dulu ya,” kata Dera dengan wajah yang terlihat bosan.
“Eh, tunggu ….” Tamat sudah.
“Lain kali saja, aku punya pekerjaan di rumah. Selamat sore, Val.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...