Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Niat Terselubung Ivana
Di depan meja rias kini menampilkan fitur lembut dengan bentuk wajah oval, mata yang besar dan ekspresif, dan bibir yang penuh. Kulitnya tampak halus dan cerah. Secara keseluruhan, Ivy memiliki fitur wajah yang menarik dan proporsional.
Namun, dibalik wajahnya yang menarik itu, ada ekspresi lain yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Seharusnya beritahu aku jika dia tidak pulang, Julie!" Ivy menggerutu karena kesal.
"Maaf, Nyonya. Saya tidak ingin mengganggu tidur Anda. Tuan juga melarang saya melakukannya." Julie menjawab dengan tenang di dekatnya, sementara beberapa pelayan tetap sibuk menata rambut serta pakaian yang dikenakan Ivy.
"Tentu saja. Memang begitu sifatnya," cibir Ivy sedikit melunak. Ia cukup puas dengan hasil penampilannya pagi ini. Dress selutut berwarna putih dengan gaya rambut messy bun.
"Aku mau ke kantor," ucapnya langsung. Dirinya masih sibuk mematut penampilannya. Berputar-putar dan berpose layaknya di depan kamera. Ivy mengagumi kecantikan yang ia punya.
"Kantor? Saya pikir Anda akan pergi belanja —"
"Belanja, belanja, dan belanja. Wanita yang kalian sebut gila sepertiku juga akan bosan melakukannya setiap hari." Itu juga terpaksa ia lakukan karena tidak memiliki teman. Daripada terkurung di rumah mewah ini, lebih baik keluar menghabiskan uang, bukan?
Nyonya tahu?!
Para pelayan hanya menunduk diam di belakang Julie, sedangkan Julie sudah menatap mereka dengan tajam. Wanita yang hampir berkepala empat itu tidak akan memaklumi para pelayan yang hanya tahu bergosip tentang majikan mereka hingga sang nyonya pun mengetahuinya.
“Saya akan menghukum pelayan yang bergosip, Nyonya. Maafkan keteledoran saya.” Julie menundukkan kepalanya dengan patuh.
“Biarkan saja. Aku tidak mempermasalahkan hal sepele seperti itu,” katanya acuh.
Sepele? Jika itu tuan, jangankan wajah, bahkan nama tidak akan terdengar lagi di rumah ini.
“Lagi pula aku memang sedikit gila,” sambungnya.
Sebenarnya bukan hal baru jika sang nyonya juga mengatai dirinya sendiri. Wanita itu terlalu terus terang dan apa adanya. Alasan ia tidak memiliki teman juga karena sifatnya yang dinilai sombong dan tidak ramah. Namun, tetap saja sebagai kepala pelayan, Julie akan berlaku tegas sesuai perintah tuannya.
Padahal, jika menilai lebih dekat, Ivy tidak lebih dari sekedar wanita ceria yang sangat terbuka tanpa kepalsuan. Namun, tuan mereka sendiri tidak bisa melihat itu, melainkan melihatnya seperti gadis manja yang membutuhkan tumpukan materi.
"Saya akan kabari tuan —"
"Tidak perlu! Aku mau lihat-lihat perusahaan saja. Aku, kan, belum pernah ke sana. Aku harus melihat suamiku bekerja sesekali." Ivy mengedipkan sebelah matanya, kemudian menepuk-nepuk pundak Julie.
"Kalian istirahat saja. Aku pergi!" Wanita itu tidak lupa memakai kacamata hitamnya.
"Hati-hati, Nyonya. Jangan meninggalkan sopir lagi," seru Julie, mengingat rekam jejak sang nyonya yang cukup membuat kerepotan.
Di sisi lain, pria yang dijuluki tuan, tidak lain dan tidak bukan yaitu Calix Theodore. Satu-satunya pewaris dari perusahaan Theodore Estates yang memiliki pengaruh besar di dunia. Perusahaan turun temurun yang mengelola banyak properti mewah, hotel, dan resort.
"Julie memberitahu jika nyonya akan ke sini, Tuan." Asisten pribadi dari Calix, Trevor Hill melaporkan.
"Apa yang akan dia keluhkan sekarang," gumam Calix hanya menarik nafas kecil. "Pergilah, tunggu dia di bawah."
"Sebenarnya — nyonya sudah di sini, Tuan."
"Apa?"
“Sepertinya Julie terlambat memberi kabar.”
...***...
Nyatanya tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Theodore Estates. Melaju kencang di jalanan sangat mudah saat kau memiliki kebiasaan menjelajahi kota.
"Sopir itu terlalu lambat!" gumamnya tanpa rasa bersalah. Paling-paling ia hanya akan dimarahi sedikit setelah menurunkan sopirnya di pinggir jalan. Tentu saja setelah memberikan sejumlah uang untuk memesan taksi sendiri.
Theodore Estates, perusahaan besar pencakar langit yang berdiri megah di ibu kota, New York. Memang benar pernikahan telah berjalan selama empat tahun, namun menginjakkan kaki di tempat ini adalah pertama kali sepanjang pernikahannya. Apakah aneh? Tentu saja tidak mengherankan di dalam pernikahannya sendiri.
"Istrimu ini kehabisan tempat, Calix. Rasakan itu." Ivy tersenyum puas. Kakinya melangkah ringan menuju lift yang mengarah ke lantai tertinggi di gedung tersebut.
"Anda mau ke mana, Ms?" Seseorang menghentikan langkahnya yang riang. Ia baru saja keluar dari lift dan berjalan beberapa langkah, tapi ada cukup banyak pekerja di lantai CEO.
Sebenarnya, ia sudah tahu dari Trevor jika Calix memiliki beberapa sekretaris dan divisi khusus CEO. Tidak terlalu banyak juga sebenarnya. Mungkin ada sekitar 10 orang di lantai ini. Sekarang mereka semua bertatap muka dengannya.
"Aku ... ada urusan dengan Calix — maksudku pak CEO." Ivy meralat ucapannya.
Semua orang itu lantas berhenti menatapnya, lalu berkumpul satu sama lain, membentuk sebuah lingkaran. "Aku tidak dengar tuan mencari sekretaris lagi. Trevor memberitahu kalian?" bisik salah satu dari mereka, namun Ivy bisa mendengar semuanya.
"Tidak."
"Dia terlalu cantik! Bukan — dia terlihat seperti adikku. Mungkin dia akan segera dipecat." Mereka semakin bergerombol. Beberapa dari mereka mengintip untuk melihatnya, lalu ikut melingkar lagi.
"Dia seperti wanita konglomerat!"
"Kita belum mengenalnya. Buat dia nyaman!"
"Mungkin nasibnya baik. Sekretaris baru yang waktu itu dipecat karena menggoda tuan, kan? Tapi, dia seperti anak manis yang polos."
Aku? Polos? Ivy yang mendengarnya pun menyentuh pipinya untuk memastikan.
"Jangan tertipu dengan wajah!"
"Sttt, diam! Dia masih melihat." Semuanya spontan tegak kembali sambil menghadapnya.
"Aku Audriel, calon rekan kerjamu." Wanita bernama Audriel itu menjabat tangannya dengan ramah.
Rekan — kerja?
"Ah, halo, Audriel. Namaku Ivana, tapi panggil saja Ivy." Meski tidak paham dengan apa yang terjadi baru saja, Ivy tetap mengikuti arus.
"Namamu saja cantik," celetuk wanita yang lain.
Tentu saja! Aku dilahirkan untuk sempurna!
"Pria disebelahku adalah ketua divisi CEO, Daniel." Audriel mulai memperkenalkan mereka satu-persatu.
"Duduklah dulu untuk menghilangkan ketegangan."
Seharusnya sudah dari tadi, batin Ivy sambil tersenyum paksa. Meski begitu, ia menikmati suasana baru ini. Semuanya terlihat ramah dan unik. Bagaimana jika mereka semua menjadi temannya?
Kalau begitu, apa seperti ini rasanya memiliki teman? Sejak kecil ia tidak memiliki satu pun seseorang yang bisa disebut teman. Ibunya sangat membatasi pergaulannya. Meski sering kali ibunya membawa teman bermain untuknya, namun mereka tidak lebih dari sekedar formalitas sebagai relasi bisnis. Tidak ada yang benar-benar tulus.
"Apa kau sudah makan? Kami berpesta kecil dengan pizza dan soda. Ikutlah sebelum menemui CEO." Audriel menariknya ke meja yang dipenuhi makanan.
"Mungkin ini terakhir kali kita bertemu," sahut wanita lain lagi.
"Ya?" Ivy memastikan pendengarannya.
"Tutup mulutmu, Mia!" tegur Audriel sambil tertawa canggung.
"Maaf, kami terlalu sering berganti rekan, jadi bertahanlah lebih lama. Aku sudah menyukaimu," kata Audriel.
"Karena aku mirip adikmu?" tanya Ivy polos.
"Dia punya adik perempuan sepertimu, tapi bukan berarti dia tidak menyukaimu jika dia tidak punya. Dia memang mudah menyukai orang." Daniel turun tangan untuk menjelaskan.
"Kalau begitu aku akan mencoba bertahan!" Ivy berkata dengan semangat. Mari buat kesalahpahaman ini menjadi kenyataan!
...~o0o~...
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪