NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2

Ara baru saja menarik kursi ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan—cepat dan kencang, seperti mengetuk sesuatu yang belum siap dibuka.

Tubuhnya kaku seketika. Napasnya tersangkut. Matanya mencari Elvero, cemas.

Sepupunya itu hanya menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, lalu mengangguk ringan sambil berkata malas, “Buka saja. Itu teman-temanku.”

Ara menghela napas perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu bukan siapa-siapa. Bahwa suara ketukan tadi bukan suara masa lalu. Ia melangkah ke pintu dengan hati-hati, menelan ketakutannya bulat-bulat.

Pintu terbuka perlahan, dan yang menyambutnya adalah tatapan dingin dari seorang pemuda dengan rambut hitam ikal yang sedikit berantakan. Matanya tajam, curiga, bahkan sedikit tidak suka—seolah kehadiran Ara di tempat itu adalah sebuah gangguan yang tak diundang.

Di sampingnya, seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang cokelat kemerahan tampak tertegun sesaat. Matanya—lembut dan berkabut, seperti awan sebelum hujan—menatap Ara dengan keheranan yang tidak ia tutupi. Bukan pandangan sinis, bukan pula iri, tapi sedih. Seolah ia sedang melihat potongan luka yang tak dimengerti tapi ingin dipahami.

Ara hanya berdiri di sana, mematung, menatap keduanya dengan sikap defensif yang nyaris tak kentara.

“Halo,” kata gadis itu pelan.

Pemuda di sampingnya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memalingkan wajah sedikit, seperti mencium bau sesuatu yang tidak ia suka.

Dari dalam dapur, Elvero berseru seenaknya, “Masuk aja! Jangan berdiri di sana kayak pintu toko!”

Suasana menjadi aneh sejenak. Gadis itu melangkah masuk lebih dulu, perlahan dan sopan. Si pemuda menyusul, masih dengan sikap tertutup dan tatapan menusuk yang sesekali kembali melirik Ara.

Ara pun menutup pintu kembali. Di dalam dadanya, perasaan aneh mulai tumbuh. Ia belum tahu siapa mereka, tapi satu hal terasa jelas:

Dia tidak disambut sepenuhnya.

Elvero masih duduk di meja makan dengan santai, menyendok nasi goreng buatan Ara tanpa terlihat terganggu sedikit pun oleh kehadiran dua temannya yang baru saja masuk. Ia masih hanya mengenakan celana seragam, sementara handuk putih yang belum sempat dia lipat tergantung di bahunya, meneteskan sisa air dari rambutnya yang masih basah.

Ia tidak repot-repot bersikap lebih sopan. Bagi Elvero, pagi hari bukan waktu untuk berpura-pura.

Sebaliknya, Ara tampak jauh lebih rapi. Ia mengenakan pakaian rumah sederhana, longgar dan bersih, meski rambutnya masih lembap dan menempel di sisi wajah. Ia memang tidak sempat mengeringkannya dengan baik—terlalu sibuk menyiapkan sarapan sebelum Elvero turun dari kamar.

Meskipun bukan pembantu dan tidak pernah diminta, Ara melakukannya sendiri. Sebagian karena rasa sungkan telah ditampung diam-diam di rumah milik keluarga bangsawan, sebagian lagi karena ia ingin membalas kebaikan Elvero dengan cara yang bisa ia lakukan.

Gadis berambut cokelat kemerahan itu masih memandangi Ara seolah ingin berkata sesuatu, tapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Sementara pemuda berambut ikal hanya berdiri dengan ekspresi datar, memandangi Elvero yang santai, dan Ara yang terlalu cepat menyembunyikan tangannya yang sempat gemetar saat menutup pintu.

“Ara, duduk saja,” kata Elvero akhirnya, tanpa melihat ke arahnya. “Makan, kamu juga lapar kan?”

Nada suaranya tetap malas seperti biasa, tapi kalimat itu terdengar lebih seperti perintah daripada ajakan.

Ara mengangguk kecil. Perlahan, ia kembali ke meja makan, duduk di hadapan Elvero. Tangannya bergerak tenang mengambil piring, meski isi perutnya masih terasa bergejolak.

Ia bisa merasakan tatapan dari dua orang asing itu masih tertuju padanya.

“Oh ya, perkenalkan,” kata Elvero ketika keduanya sudah duduk di seberang meja makan. Suaranya terdengar santai, seolah tidak ada yang aneh dari suasana pagi itu, atau dari gadis asing yang tiba-tiba muncul di rumahnya. “Ini Ara. Mulai hari ini dia akan tinggal bersamaku. Dia juga akan bersekolah bersama kita.”

Kael dan gadis di sampingnya saling bertukar pandang. Kael masih menatap Ara dengan sorot tak ramah, seperti sedang mencoba membaca lebih dari yang dikatakan Elvero. Tatapannya menusuk, tenang, namun mencurigai.

Ara menunduk perlahan, tubuhnya menegang.

“El, kamu serius?” tanya gadis itu, suaranya lembut tapi nada terkejutnya tak tersembunyi. “Tinggal bersamamu?”

Elvero hanya mengangkat alis. “Kenapa tidak?”

Kemudian dia melanjutkan, seolah itu bukan topik penting, “Ara, ini Kael. Sahabatku.”

Kael hanya mengangguk pelan tanpa bicara.

“Dan ini…” Elvero menaikkan alisnya sedikit, memberi jeda yang tidak perlu seperti sedang berpikir keras, lalu tersenyum tipis. “Pacarku.”

Ara sedikit terkejut tapi segera menyembunyikannya. Ia menunduk sopan, kedua tangannya saling menggenggam di depan.

“Aku Ara,” ucapnya dengan suara pelan. “Teman masa kecil Elvero.”

Kael masih menatapnya tanpa ekspresi. Tapi gadis di sebelahnya—yang baru saja disebut sebagai pacar Elvero—menyunggingkan senyum yang samar, tak bisa ditebak apakah ramah atau tidak.

“Teman masa kecil?” gumamnya lirih.

Ara tak membalas. Ia hanya tersenyum tipis sebelum kembali menunduk, menyibukkan diri mengatur serbet di pangkuannya.

Elvero mengunyah sarapannya perlahan. “Kalian mau makan? Ara masak banyak.”

Kael hanya menggeleng, tapi pandangannya masih belum lepas dari Ara. Seolah dia melihat sesuatu yang belum bisa dia pahami—atau percaya.

Elvero merogoh saku dalam tas samping mejanya dan mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang hitam dengan logo kerajaan di sudutnya—sebuah Gulf, alat komunikasi mutakhir yang digunakan di kalangan bangsawan dan pejabat tinggi Argueda. Ia mendorongnya ke hadapan Ara di meja makan.

“Ini untukmu,” katanya tanpa basa-basi. “Kau tidak bisa menggunakan yang lama, kan?”

Ara menatap kotak itu sejenak. Tangannya terangkat ragu, sebelum akhirnya mengambil Gulf tersebut dan membukanya. Jari-jarinya menyentuh permukaan layar kristal halusnya. Model terbaru—jauh lebih canggih dari miliknya yang lama. Wujudnya ramping, dengan pelindung privasi otomatis dan sistem pelacak tersembunyi yang hanya bisa diakses pemilik resmi.

Dia menyalakannya.

Layar menyala lembut, menampilkan lambang Garduete dan nama pemilik barunya: Ara.

“Nomerku di angka pertama,” lanjut Elvero. “Aku sudah memasukkan beberapa nomor yang lain juga, jadi kau tak perlu mencarinya satu-satu.”

Ara menggeser layar ke menu kontak.

Ada enam nama di sana.

Matanya langsung tertumbuk pada salah satunya.

Seketika tubuhnya menegang.

Wajahnya yang semula tenang berubah—hanya sesaat, tapi cukup jelas untuk dilihat Elvero.

“Ada apa?” tanyanya, suaranya rendah namun tajam. Ia menyandarkan tubuh ke kursinya, menatap Ara tanpa banyak gerakan.

Ara menoleh cepat, memaksakan senyum kecil dan berkata, “Tidak apa-apa.”

Ia segera menekan tombol kunci di Gulf-nya dan meletakkannya ke pangkuan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Tapi matanya masih mengarah ke layar yang kini gelap.

Satu nama. Satu kontak. Seseorang dari masa lalunya yang seharusnya tak mungkin muncul di daftar itu.

“Apa rencanamu hari ini?” tanya Elvero, suaranya datar namun tidak acuh. Ia mengambil potongan roti panggang terakhir di piringnya, lalu menoleh setengah ke arah Ara yang tengah menyesap teh hangat pelan.

Ara menoleh, rambut basahnya menempel di bahu. “Aku akan mengurus pendaftaran di sekolah, kan?”

“Maksudku setelahnya.”

“Pulang,” jawab Ara singkat, menurunkan cangkirnya kembali ke atas meja.

Elvero mendesah kecil, lalu menyandarkan punggung ke kursi sambil menatap langit-langit dapur. “Biar aku saja yang antar. Di sini cowoknya tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit. Nanti kalau ada apa-apa denganmu, kakak sepupumu bisa menyeret kepalaku di jalanan.”

Nada suaranya ringan, tapi ucapannya tidak main-main.

Ara mengerjap, lalu tertawa kecil, nyaris tidak terdengar. “Kau melebih-lebihkan. Tidak ada yang akan tertarik pada orang asing tak dikenal.”

Elvero menoleh padanya, menatap satu detik terlalu lama.

“Kau terlalu polos kalau percaya itu,” gumamnya sambil bangkit dari kursi dan meregangkan punggung. Handuk di bahunya bergeser sedikit, memperlihatkan sebagian bekas luka lama di bahunya—tipis, hampir tak terlihat jika tidak memperhatikan.

Tania membuka suara, suaranya lembut tapi sarat keinginan, “Apa aku bisa ikut?”

Elvero bahkan tidak menoleh ketika menjawab, suaranya cepat dan dingin, “Tidak usah. Aku akan berbelanja beberapa baju juga. Dia terlalu sedikit membawa barang. Mobil tidak akan muat.”

Ara mengangkat wajahnya dengan pelan, sedikit bingung. “Aku bisa pergi sendiri.”

Elvero menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Ara dari atas ke bawah dengan ekspresi netral, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan nada perintah.

“Kalau kau mau tinggal di sini… kau ikuti aturanku.”

Kalimat itu menggantung di udara.

Tak ada yang menyela. Elvero lalu mengambil tas selempangnya dan berjalan pergi begitu saja, tanpa menoleh lagi. Hanya suara langkahnya di lorong yang perlahan menjauh.

Tania menunduk, matanya yang tadi bersinar kini meredup, menatap meja dengan ekspresi sedih yang tak dia sembunyikan.

Ara berdiri diam, tidak tahu harus berkata apa.

Sementara Kael… tatapannya tak beranjak dari Ara sejak tadi. Tidak suka. Curiga. Dan mungkin, kesal karena tidak bisa membaca alasan keberadaan gadis itu di rumah sahabatnya.

Ara merasakan pandangan itu, tapi memilih menahan napas dan tidak menoleh. Di dalam hatinya, semua ini terlalu ramai… terlalu cepat.

Dan Elvero, untuk pertama kalinya, tampak seperti seseorang yang tidak ingin berbagi.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!