Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. TIDAK GENTAR
Keesokan paginya, berita tentang proyek baru Samuel telah menyebar ke seluruh penjuru media bisnis. Judul-judul sensasional terpampang di layar-layar televisi di lobi gedung perusahaan Luce, di halaman utama portal daring, bahkan memenuhi linimasa media sosial.
'Siapa Peniru Sebenarnya? Proyek Samuel Davidson dan Luce Perusahaan yang Terkontroversi.'
'Perang Teknologi Ramah Lingkungan: Siapa yang Lebih Unggul?'
Setiap artikel, setiap cuitan, seolah menorehkan luka baru pada reputasi yang dengan susah payah dibangun Evan selama bertahun-tahun.
Di ruang rapat utama, suasana tegang menggantung seperti kabut pekat. Investor baru mereka, seorang pengusaha muda bernama Victor Hale, hadir melalui konferensi video. Ekspresinya yang semula penuh semangat kini tampak diliputi keraguan.
"Aku tidak menyangka kompetisi ini akan secepat ini," ujar Victor, suaranya terdengar berat dari balik layar. "Samuel Davidson jelas memiliki pengaruh media yang besar. Publikasi proyeknya seakan-akan menutup semua peluang bagi kita untuk tampil sebagai inovator."
Evan menahan napas, menatap layar dengan ketenangan yang dipaksakan. "Victor, dengarkan aku. Proyek ini sudah kami rancang jauh sebelum Samuel muncul. Konsepnya lahir dari riset panjang dan kerja keras tim kami. Samuel hanya berusaha menyalip dengan cara licik."
Victor tampak ragu. "Aku mengerti, tapi pasar tidak peduli siapa yang memulai lebih dulu. Yang mereka lihat adalah siapa yang muncul pertama di panggung. Dan sekarang, Samuel sudah melakukannya. Bagaimana kau bisa memastikan bahwa Luce tidak akan dicap sebagai peniru?"
Pertanyaan itu menusuk jantung ruangan. Clara yang duduk di samping Evan buru-buru menimpali, "Kami sedang menyiapkan strategi komunikasi. Media perlu mendengar sisi kami, dan kami punya bukti riset yang bisa memperlihatkan bahwa Luce sudah lebih dulu mengembangkan konsep ini. Kami akan membuat narasi yang kuat."
Deren menambahkan dengan nada penuh keyakinan, meski wajahnya menegang, "Selain itu, kami sedang menyesuaikan fitur inti proyek. Ada inovasi yang Samuel tidak miliki. Itu akan menjadi pembeda jelas."
Victor menghela napas, jelas belum sepenuhnya yakin. "Aku harap kalian bisa membuktikannya segera. Aku sudah menaruh banyak harapan di sini, Evan. Jika reputasi kalian hancur, maka begitu juga investasiku."
Panggilan itu berakhir dengan layar yang perlahan meredup, meninggalkan bayangan kekhawatiran yang semakin pekat.
Clara bersandar di kursinya, menutup mata sejenak, lalu berbisik, "Kita benar-benar berada di ujung tanduk," katanya.
Deren berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, kedua tangannya bersedekap di dada. "Jika kita berhenti sekarang, kerugian bisa mencapai puluhan juta dolar. Tapi jika kita lanjut, risiko pasar menolak kita juga sama besarnya. Samuel benar-benar menjebak kita di persimpangan maut."
Evan diam, namun wajahnya menggambarkan badai batin yang nyaris tak terbendung. Ia tahu Deren benar. Samuel telah menyusun rencana dengan cermat, memanfaatkan waktu dan opini publik untuk menekan mereka.
"Dia selalu seperti ini," ujar Evan akhirnya, suaranya parau. "Samuel tidak pernah bertarung dengan cara jujur. Baginya, kehancuran orang lain adalah kemenangan."
Clara menatap Evan penuh iba. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Kita tidak bisa hanya menunggu dan berharap badai ini mereda. Kita harus bertindak."
Evan berdiri, menatap papan strategi di dinding yang penuh dengan bagan dan catatan. Matanya yang tajam menyala dengan tekad yang semakin membara. "Kita tidak akan berhenti. Kita akan melanjutkan proyek ini, tetapi dengan satu syarat, kita harus menemukan elemen yang benar-benar membedakan. Samuel boleh punya sorotan pertama, tapi kita akan menjadi yang paling bersinar."
Clara dan Deren terdiam sejenak. Kata-kata Evan membawa sedikit napas lega, meski bayangan risiko tetap menghantui.
"Baiklah," ujar Clara akhirnya, berdiri dengan semangat baru. "Aku akan segera menyusun konferensi pers. Publik harus mendengar dari kita langsung, bukan hanya dari Samuel. Kita akan buktikan kalau Luce bukan sekadar bayangan."
"Aku akan memimpin tim riset malam ini juga," tambah Deren. "Kita akan gali lagi semua konsep, dan kita akan temukan sesuatu yang Samuel tidak pernah punya."
Mereka bertiga saling berpandangan. Meskipun langkah yang akan diambil penuh bahaya, setidaknya mereka sepakat untuk tidak menyerah.
Malam itu, kantor Luce kembali berdenyut dengan aktivitas. Lampu-lampu menyala hingga larut malam, layar komputer memantulkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad. Clara dengan cekatan menyusun siaran pers, menghubungi jurnalis yang bisa dipercaya, menyiapkan jawaban atas setiap kemungkinan pertanyaan sulit. Deren memimpin diskusi intens dengan tim teknis, mencari celah inovasi yang bisa mengangkat proyek mereka di atas bayangan Samuel.
Evan berjalan melewati lorong-lorong kantor yang sunyi kecuali oleh suara ketikan cepat dan dengung mesin kopi. Ia berhenti sejenak di depan jendela besar, menatap gemerlap lampu kota. Di balik semua keributan ini, hatinya tetap tertambat pada satu hal, janji untuk melindungi Lucia dari bayangan masa lalunya. Samuel bukan hanya ancaman bagi bisnisnya, tetapi juga bagi hidup perempuan yang kini begitu berarti baginya.
"Aku tidak akan membiarkanmu menang, Samuel," bisiknya pada kegelapan malam. "Tidak di perusahaan ini, tidak di hidupku, dan tidak dalam hati Lucia."
Hari konferensi pers akhirnya tiba. Udara pagi yang seharusnya segar terasa begitu berat ketika Evan menatap gedung tempat acara itu akan digelar. Logo Luce terpampang jelas di backdrop panggung utama, tetapi di depan pintu masuk, deretan kamera dan mikrofon sudah siap dengan tatapan haus berita.
Clara berdiri di sampingnya, menyesuaikan blazer hitam elegan yang dikenakannya. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. "Kau harus tetap tenang, Evan. Apa pun pertanyaan yang mereka lontarkan, jawab dengan kepala dingin. Ingat, yang mereka cari bukan hanya jawaban, tetapi juga celah untuk membuat sensasi."
Deren sibuk memeriksa berkas presentasi yang akan ditampilkan. "Kita akan buka dengan data riset. Itu senjata kita. Fakta-fakta ini akan membuktikan bahwa Luce sudah lebih dulu mengembangkan konsep proyek sebelum Samuel mengumumkannya."
Evan mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, satu kata yang salah bisa menghancurkan reputasi Luce sepenuhnya. Samuel telah meletakkan mereka di bawah sorotan paling tajam, dan sekarang setiap langkah mereka akan dinilai.
Lampu kamera menyala ketika mereka melangkah masuk. Sorakan reporter, pertanyaan yang bersahut-sahutan, menciptakan riuh yang hampir memekakkan telinga.
"Evan Williams, apa komentar Anda tentang tuduhan bahwa proyek Luce hanyalah duplikasi dari proyek Samuel Davidson?"
"Apakah Anda akan menghentikan proyek ini?"
"Bagaimana respon investor Anda terhadap krisis kepercayaan ini?"
Evan sempat terhenti sejenak. Namun Clara menyentuh lengannya dengan halus, memberi isyarat agar ia tetap melangkah. Di atas panggung, mereka duduk berdampingan, Evan di tengah, Clara di kiri, Deren di kanan.
Clara membuka acara dengan suara mantap. "Terima kasih kepada semua rekan media yang hadir hari ini. Kami ingin menegaskan, proyek terbaru Luce adalah hasil riset mendalam yang sudah dimulai lebih dari setahun lalu, sebelum pihak lain mengumumkan hal serupa. Kami memiliki bukti dokumentasi riset, timeline pengembangan, serta prototipe yang membedakan kami dari proyek lain di luar sana."
Slide demi slide ditampilkan di layar besar di belakang mereka. Data riset, tanggal uji coba, catatan pengembangan, semua ditampilkan dengan rapi. Reporter sibuk mengetik di laptop, kamera berkilat-kilat, dan bisik-bisik mulai terdengar di antara kursi penonton.
Deren lalu maju ke mikrofon, menunjukkan inovasi inti yang menjadi pembeda Luce. "Kami tidak hanya menghadirkan teknologi ramah lingkungan, tetapi juga sistem integrasi yang mampu memaksimalkan efisiensi energi hingga 20% lebih tinggi dibandingkan proyek serupa. Inilah yang membuat proyek kami unik."
Beberapa reporter mengangguk, jelas terkesan. Namun tak semua merespon positif.
Seorang jurnalis dari media ternama mengangkat tangan. "Tapi bagaimana Anda menjawab pernyataan Samuel Davidson yang menuduh Luce hanya mengikuti langkahnya? Publik sudah lebih dulu melihat proyeknya, bukan milik Anda. Bukankah opini pasar lebih penting daripada dokumen riset internal?"
Pertanyaan itu menusuk langsung ke titik rawan. Ruangan seketika hening, seolah semua napas tertahan menunggu jawaban Evan.
Ia menatap lurus pada jurnalis itu, lalu membuka suara dengan tenang. "Opini publik memang penting. Tetapi inovasi sejati tidak lahir dari siapa yang pertama kali muncul di panggung, melainkan dari siapa yang benar-benar memberi solusi bagi dunia. Kami tidak di sini untuk sekadar tampil, kami di sini untuk menciptakan perubahan nyata. Dan itulah yang membedakan Luce dari proyek lain."
Kata-kata itu menggema. Ada kekuatan di balik nada suaranya, sebuah keyakinan yang membuat ruangan terdiam beberapa detik sebelum suara kamera kembali membanjiri udara. Clara menatap Evan dengan mata berbinar, ia tahu pria itu baru saja mengubah arah permainan.
Namun badai belum berakhir.
Beberapa jam setelah konferensi pers, media sosial meledak dengan komentar publik. Ada yang mendukung Luce, menyebut data riset mereka sebagai bukti kuat. Tapi tak sedikit juga yang skeptis, menuduh bahwa semua itu hanyalah cara untuk menyelamatkan muka.
"Samuel tetap pionir. Luce hanya mencari alasan."
"Tapi kalau benar mereka punya riset lebih dulu, bukankah itu artinya Samuel yang menjiplak?"
"Dunia bisnis selalu kotor. Mari lihat siapa yang bertahan lebih lama."
Di kantor, Clara menatap layar monitor penuh komentar, matanya berputar lelah. "Ini gila. Opini publik terbelah dua. Kita memang berhasil membuat mereka mendengar, tapi kita juga membuka pintu untuk lebih banyak keraguan."
Deren menjatuhkan tubuhnya ke kursi. "Samuel pasti sedang tertawa sekarang. Dia tahu cara memancing keributan. Sementara kita sibuk menjelaskan, dia bebas bermain dengan opini pasar."
Evan berdiri di depan jendela lagi, tatapannya jauh ke luar. Langit senja mulai meredup, awan bergulung-gulung seperti pertanda hujan badai. "Biarkan mereka bicara. Kita tidak bisa mengontrol opini semua orang. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus bekerja, membuktikan lewat hasil. Pada akhirnya, pasar hanya percaya pada satu hal kenyataan."
Clara bangkit, mendekat padanya. "Tapi waktu tidak berpihak pada kita, Evan. Investor kita bisa mundur kapan saja. Samuel terus memperkuat posisinya dengan publikasi baru. Jika kita tidak segera menunjukkan sesuatu yang konkret, kita akan kehabisan napas."
Evan menoleh, menatap Clara dengan sorot tajam bercampur letih. "Maka kita harus lebih cepat. Lebih keras. Dan lebih berani. Aku tidak peduli seberapa banyak batu yang Samuel lemparkan ke jalan kita, aku akan tetap melangkah."
Di balik kata-kata penuh tekad itu, Clara dan Deren bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul Evan. Mereka tahu, pria itu tidak hanya berjuang demi perusahaannya, tetapi juga demi janji diam yang ia simpan di dalam hati, janji untuk melindungi Lucia dari masa lalu kelam yang terus membayangi.
Malam itu, ketika kantor Luce perlahan sepi dan lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, Evan masih duduk di ruang kerjanya. Tumpukan berkas menanti di meja, peta strategi terpampang di layar, dan di dadanya, tekad yang membara lebih kuat daripada rasa lelah yang menghimpit.
Di luar, hujan deras akhirnya turun, membasahi jendela kaca dan menutupi gemerlap lampu kota. Tapi di dalam, api perlawanan baru saja menyala dan Evan tahu, perang ini baru saja dimulai.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih