Kisah ini tampak normal hanya dipermukaan.
Tanggung jawab, Hutang Budi(bukan utang beneran), Keluarga, cinta, kebencian, duka, manipulasi, permainan peran yang tidak pada tempatnya.
membuat kisah ini tampak membingungkan saat kalian membacanya setengah.
pastikan membaca dari bab perbab.
Di kisah ini ada Deva Arjuno yang menikahi keponakan Tirinya Tiara Lestari.
Banyak rahasia yang masing-masing mereka sembunyikan satu sama lain.
____________
Kisah ini sedang berjuang untuk tumbuh dari benih menjadi pohon.
Bantu aku untuk menyiraminya dengan cara, Like, Komen dan Subscribe kisah ini.
Terimakasih
Salam cinta dari @drpiupou 🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah yang Sunyi, Hati yang Sepi
...POV Tiara...
...****************...
Fajar baru saja menyentuh langit, saat kumandang azan Subuh yang lembut dari musala kecil di ujung jalan membangunkan tidurku.
Langit masih biru gelap, dan udara pagi yang dingin menyusup masuk dari celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup.
Aku menarik selimut lebih tinggi, lalu duduk di ranjang.
Rambutku yang hitam tergerai indah, tanpa kerudung, kusentuh lembut surai yang terasa semakin indah di jemariku.
Kubiarkan hening pagi menyapa tubuh yang belum sepenuhnya terbangun dari mimpi.
Beberapa detik kemudian, aku bangkit perlahan dan melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Kedua kakiku menyentuh dinginnya lantai marmer kamar yang terasa asing ini; bagaikan tempat baru, rumah pernikahanku.
Wajahku yang masih sembab terlihat samar dalam cermin.
Mataku kosong, namun aku tetap membentangkan sajadah dan menunaikan Subuh. Setidaknya, shalat bisa memberiku alasan untuk tetap diam.
Setelah shalat, aku memutuskan untuk mandi. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku suka mandi dengan sabun beraroma lavender.
Sehabis mandi, kuambil pakaian dari lemari dan mengenakannya. Tak lupa, kerudung ku balutkan di atas kepala. Setelahnya, ku langkahkan kaki ke luar kamar, menuju dapur.
Suasana masih sunyi, hanya suara kipas angin dari langit-langit yang berputar lambat memenuhi ruangan.
Aku berdiri di tengah dapur, terdiam sejenak, sebelum mulai mempersiapkan bahan masakan. Ada telur, beberapa wortel, dan sedikit daging yang telah ku potong kecil-kecil.
Jemariku mulai bergerak lincah, menyelesaikan masakan yang kuharap akan dilahap Mas Deva.
Ini rutinitas yang kujalani setiap hari memasak di pagi hari, menyiapkan sarapan untuk suamiku. Suamiku. Kata itu terasa asing.
Suamiku adalah pamanku. Atau, lebih tepatnya... adik tirinya ibuku.
Kami sudah menikah lima hari. Tiga hari pertama dihabiskan dalam perjalanan yang cukup melelahkan menuju kota ini.
Aku baru menempati rumah ini kemarin, namun rumah ini masih saja terasa tidak memiliki penghuni.
Aku dan Mas Deva memang tidak pernah mengobrol layaknya suami istri dia seperti menjauhiku.
Aku tidak mengerti apa sebenarnya kesalahanku. Dadaku terasa sesak kembali mengingat rasa dingin yang Mas Deva berikan padaku. Diamnya menyiksaku. Aku selalu berpikir, apakah aku tidak layak untuknya? Padahal aku sudah berusaha mencintainya, walau kami dijodohkan.
Lamunanku buyar saat mendengar suara sup yang kumask sudah mendidih dan mengeluarkan uap. Pertanda masakanku sudah matang. Aku menyiapkan makanan di atas meja makan, kutata dengan rapi.
Tanganku bergerak lincah, setelah selesai aku mengambil piring dan menyendokkan sup daging sapi serta telur dadar ke atas piringku.
Kusendokkan makanan ke dalam mulutku, rasa gurih dan asin menyeruak.
Ah, ini sangat lezat.
Aku tersenyum menikmati hasil masakanku. Ingatanku melayang saat melihat Mas Deva keluar dari rumah pagi-pagi buta.
Ya, Mas Deva memang sudah pergi sejak Subuh tadi.
Katanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan pagi-pagi.
Tapi aku tahu, dia hanya tak ingin berada terlalu lama bersamaku dalam satu atap.
Karena tidak ingin melihatku, dia sampai melupakan sarapan.
Rumah ini... besar sekaligus sunyi.
Terlalu sunyi bagiku.
Tepat pukul delapan pagi, aku mendengar suara pagar besi berderit.
Ku tolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Aku melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu belakang, membawa tas belanja berisi beberapa sayur dan bungkusan plastik.
Aku menyambutnya dengan seulas senyum yang menurutku sudah pas.
"Hai, Bi. Kenalin aku... istri Mas Deva. Bibi tahu, kan?" tanyaku dengan suara yang dibuat lembut, sambil menyodorkan tanganku ke arahnya.
Wanita itu, Bibi Surti, memandangku dengan senyum ramah, tapi ada jeda sejenak di antara tatapan dan responsnya. "Iya, Non. Bibi tahu. Selamat ya, Non. Semoga betah di sini," kata Bi Surti.
Aku mengangguk. "Terima kasih, Bi." Tentu aku akan betah, inikan rumah suamiku. Setelah itu kami tidak bicara lebih jauh.
Aku melihat Bibi mulai membersihkan dapur, mulai dari mencuci piring bekas makan malamku semalam, piring yang tadi belum sempat kucuci, melap meja makan, dan membuang sampah yang ada di tempat sampah dapur.
Aku memutuskan kembali ke kamar, melangkah ke arah kamar mandi dan langsung mencuci tanganku.
Ada rasa kurang nyaman menyelimuti dadaku.
Aku memang tak pernah suka bersentuhan orang lain terlalu dekat.
Di tengah kegiatan mencuci tangan, tiba-tiba telingaku menangkap bunyi dari ponselku.
Aku melihat notifikasi pesan dari Ibu.
Jariku menyentuh layar ponsel untuk membuka pesan singkatnya.
“Nak, bagaimana kabarmu? Sudah makan? Jangan sungkan bicara ke Ibu kalau ada yang kamu butuhkan.”
Aku membaca pesannya pelan, lalu membalas dengan satu kalimat pendek:
“Semuanya baik-baik saja, Bu." Hanya itu yang bisa kutulis... aku terlalu takut bagaimana jika Ibu mengetahui keadaanku, bagaimana jika dia tahu bahwa pernikahanku tidak bahagia.
Setelah itu, kuletakkan ponselku kembali ke atas meja.
Waktu perlahan berlalu. Ketika jarum jam menyentuh pukul satu siang, aku kembali membuka ponsel dan mengetik pesan.
Jemariku mengetik pesan untuk suamiku. “Mas, mau dimasakin apa untuk makan malam?”
Lama pesan tak kunjung dibalas. Hanya terlihat centang dua di ponsel yang kugenggam.
Hingga akhirnya pesanku berubah jadi 'dibaca'. Tapi tetap tak ada balasan.
Aku menatap layar ponselku lamat-lamat berharap ada balasan dari Mas Deva. Tapi harapanku pupus ditelan kesunyian.
Aku memeluk lututku di atas ranjang. Kamar ini memang luas tapi juga dingin.
Dindingnya putih bersih, tak ada lukisan, tak ada foto.
Meja kerja yang kosong, dan lemari yang tak berisi pakaian perempuan selain milikku.
Tak ada jejak kebersamaan kami di ruangan ini.
Dua hari sudah aku tinggal di rumah ini. Lima hari setelah pernikahan.
Tapi pernikahan seperti apa, kami memang sudah terikat pernikahan namun hanya keheningan dan keterasingan yang melanda kami berdua.
Aku masih ingat malam itu. Malam ketika Ayah dan Ibu memintaku duduk di ruang tamu, wajah mereka penuh keseriusan.
Kata mereka, "Kami sudah memilihkan suami yang bisa menjaga masa depanmu, Nak." Dan di depanku duduk seorang pria.
Matanya tenang, tapi tak hangat. Bibirnya terkatup rapat. Ia tidak bertanya apa-apa.
Hanya mengangguk saat Ayah menyebutkan tanggal akad.
Saat itu bibirku bergetar dan mataku menahan air mata, aku mencoba ikhlas menikahi seseorang yang tidak aku cintai.
Waktu itu aku pikir... mungkin inilah jalanku. Mungkin cinta akan datang setelahnya. Tapi sekarang, aku mulai ragu.
Aku bangkit dan menuju meja kecil di sudut kamar. Kuambil jurnal tipis berwarna krem yang kusimpan sejak seminggu sebelum pernikahan.
Kugoreskan tinta penaku di halaman kosong.
Hari kelima.
Seorang istri seharusnya merasa bahagia saat bangun pagi, membuatkan sarapan untuk suaminya, lalu menyambutnya saat pulang kerja. Tapi aku hanya bisa menatap punggung yang pergi tanpa kata. Makan siang tanpa suara. Sore yang tak kunjung gelap, hanya untuk mengisi waktu menanti balasan pesan.
Kadang aku berpikir...
Apa aku hanya penutup dari masa lalunya?
Apa dia membenciku diam-diam?
Apa aku cuma kewajiban yang terpaksa dijalani?
Aku berhenti menulis.
Jemariku menggenggam pena lebih erat.
Tapi... aku mencintainya.
Entah sejak kapan, tapi aku tahu rasa ini tidak akan terbalas.
Walaupun begitu aku ingin dia menatapku.
Aku ingin dia bicara padaku.
Aku ingin menjadi seseorang di matanya.
Itu saja.
Apakah itu terlalu sulit?
Bibirku bergetar kembali, akhirnya aku menangis terisak-isak.
"Mas... Apakah aku memang bukan istri yang kau inginkan, apa salahku Mas?" —Bisikku dalam keheningan.
Keren Thor... semangat terus ya