Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Di Balik Rantai
Pagi di distrik miskin Arvendral bukan lagi sekadar penuh asap dapur dan jeritan pedagang. Hari itu, bisikan menyusup ke gang-gang sempit, beredar dari mulut ke mulut:
“Prajurit Rowan bisa menyalakan api biru… tanpa pedang pangeran.”
“Kalau dia bisa, kenapa tidak kita?”
Anak-anak berlari-lari, menirukan cahaya dengan tangan kosong. Para pemuda memukul-mukul batu, berharap ada percikan biru. Bahkan para janda yang kehilangan keluarga di pasar berdoa sambil mengusap dada mereka, seolah menunggu api lahir dari hati sendiri.
Di antara rakyat, harapan bercampur dengan bahaya. Setiap mata yang berbinar oleh rumor juga menyimpan potensi amarah.
Siang itu, di sebuah gudang kosong di distrik timur, sekelompok pemuda berkumpul. Rowan berdiri di depan mereka, wajahnya tegang.
“Aku tidak bisa mengajarimu,” katanya lirih. “Apa yang kulakukan… itu hanya terjadi.”
Tapi pemuda-pemuda itu mendesak. “Kami tidak ingin mati seperti anjing saat kabut datang. Tunjukkan pada kami. Bagaimana kau melawan suara itu?”
Rowan menutup mata, teringat malam di pasar saat ia melawan bisikan. “Aku… menolak. Aku teriak, aku tidak mau tunduk. Dan cahaya itu muncul.”
Seorang pemuda meniru, berteriak sampai suaranya serak. Tidak ada apa-apa, hanya batuk. Yang lain meninju dada sendiri, menangis putus asa.
Tapi tiba-tiba, seorang bocah kurus di pojok, tak lebih dari tiga belas tahun, menjerit saat tangannya bergetar. Kilatan biru samar muncul sekejap di jari-jarinya sebelum padam. Semua orang terdiam.
“Itu… itu api biru!” seru seseorang.
Mata Rowan melebar. “Tidak… ini tidak seharusnya terjadi.”
Kabar itu menyebar lebih cepat dari api kering di musim panas. Malam itu, puluhan orang berkumpul di jalan utama distrik timur, meneriakkan kata-kata baru:
“Api biru milik kita semua!”
Obor diangkat, dan sebagian warga mencoba menyalakan cahaya biru dengan tangannya. Beberapa hanya mendapatkan luka bakar ringan, beberapa pingsan karena kelelahan. Tapi semangat mereka tidak padam.
Seorang prajurit muda dalam barisan penjaga kota berteriak kepada atasannya: “Aku juga merasakannya! Saat kutolak rasa takut, ada kilatan!”
Ketegangan pecah. Para penjaga bersitegang dengan rakyat, dan sebuah lemparan batu memicu kerusuhan. Malam itu, distrik timur berubah jadi medan pertempuran kecil—bukan melawan kabut, tapi melawan sesama manusia.
Di markas rahasia, kabar itu sampai pada Edrick. Selene membacakan laporan dengan wajah pucat.
“Rakyat memberontak, bukan untuk melawan dewan, tapi untuk memaksa dirimu memimpin mereka. Mereka percaya api biru milik semua orang, bukan hanya kau.”
Edrick duduk kaku, Ashenlight bergetar di sisinya. Bisikan itu merayap ke kepalanya:
Lihat. Mereka haus darah, sama sepertimu. Biarkan api biru menyebar. Biarkan mereka membakar kota ini. Kau tidak perlu rantai lagi.
“Ini jebakan,” kata Darius, berdiri sambil menghentakkan tinjunya ke meja. “Corvane akan memanfaatkan ini. Kalau kau ikut rakyat, kau disebut pemberontak. Kalau kau lawan mereka, kau disebut tiran. Semua jalan mengarah pada tali gantung.”
Lyra menatap Edrick dengan mata berkaca. “Tapi mereka percaya padamu. Kau satu-satunya yang bisa menenangkan mereka. Kalau kau diam saja, darah akan lebih banyak lagi.”
Edrick berdiri, wajahnya tegang. “Kalau ini adalah rantai baru, maka aku harus memilih: apakah aku yang memimpin rantai itu… atau memutuskannya sendiri.”
Malam itu, Edrick pergi ke distrik timur bersama Rowan dan Lyra. Jalanan penuh puing dan api obor. Rakyat berkumpul, wajah-wajah lelah tapi penuh harap.
Seorang wanita tua berteriak, “Pangeran! Kau bilang api itu milik kita semua, bukan?”
Edrick terdiam. Semua mata menatapnya. Rakyat yang lapar, rakyat yang putus asa, rakyat yang siap terbakar oleh harapan palsu atau kebenaran pahit.
Rowan melangkah maju. “Bukan begitu. Api biru bukan hadiah. Itu adalah kutukan—dan anugerah—yang muncul saat kau menolak bayangan. Kau tidak bisa memaksanya.”
Tapi suara massa menelan kata-katanya. “Kalau Rowan bisa, kami juga bisa! Pangeran, tuntun kami! Tunjukkan caranya!”
Ashenlight bergetar liar. Bisikan semakin kuat. Pimpin mereka. Jadikan mereka pedangmu. Biarkan darah mengalir, dan lihat bagaimana kota tunduk di bawah cahaya biru.
Edrick menggenggam gagang pedangnya, keringat dingin membasahi tengkuk.
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil terjadi di tengah kerumunan. Seorang pemuda mencoba menyalakan api biru dengan paksa—dan tubuhnya meledak dalam cahaya menyilaukan, meninggalkan jeritan dan bau daging terbakar.
Kekacauan pecah. Rakyat berlari, sebagian menangis, sebagian marah. Teriakan menggema:
“Dewan menyembunyikan rahasia api!”
“Pangeran harus memimpin kita!”
“Api biru milik kita semua!”
Edrick berdiri di tengah kekacauan, hatinya terkoyak. Ia bisa melihat dengan jelas: jika ia tidak mengambil keputusan sekarang, api biru tidak hanya akan jadi harapan—tapi juga jadi kutukan yang menelan semua orang.
Ia mengangkat Ashenlight tinggi-tinggi. Cahaya biru menyembur, memantul ke wajah rakyat. Semua orang terdiam, terpesona.
“Dengar aku!” suara Edrick menggema. “Api ini bukan mainan! Bukan hadiah! Api ini lahir dari perlawanan, bukan dari ambisi. Kalian ingin melawannya? Maka lawanlah dengan keberanian, bukan dengan paksaan!”
Beberapa rakyat menunduk, menangis. Tapi sebagian tetap berteriak, menuntut hak.
Rowan mendekat, suaranya rendah. “Kau harus memilih, Edrick. Apakah kau akan memimpin mereka… atau menghentikan mereka dengan pedangmu.”
Ashenlight bergetar, seolah menunggu keputusan. Bisikan itu berdesis di telinganya:
Jadilah api mereka… atau padamkan mereka. Tidak ada jalan tengah.