NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Bawah Bayang - Bayang Wanita Itu

Pagi di kantor tak pernah benar - benar hangat bagi Rania. Meski matahari menembus kaca tinggi dan menyinari ruang kerjanya, suasananya tetap dingin. DIngin sorot mata sinis, lirikan tak ramah, dan bisik - bisik yang selalu berhenti ketika ia lewat.

Rania bekerja di perusahaan keluarga, milik mertuanya. Sebuah perusahaan kontraktor besar yang kini sedang ekspansi ke proyek - proyek pemerintah. Sejak dulu, sang mertua.. Pak Martin, meminta Niko untuk perlahan menggantikan dirinya memimpin perusahaan. Tapi Niko selalu menolak, dengan alasan "ingin fokus pada hal lain". Padahal semua orang tahu, hal lain itu adalah bisnis kecil - kecilan yang belum pernah jelas keuntungannya.

Dan seperti biasa, Rania yang harus turun tangan.

"Rania, kamu bantu Bapak dulu ya," kata Pak Martin waktu itu

"Tolong review proposal proyek jalan tol, Niko nggak bisa."

Sejak saat itu, satu demi satu tanggung jawab besar dilemparkan ke Rania.. tanpa jabatan, tanpa pengakuan, seolah ia hanya perpanjangan tangan tak terlihat. Bahkan stempel pun masih atas nama Niko.

Hari ini pun begitu. Saat Rania tengah memeriksa tumpukan laporan proyek, seorang rekan kerjanya, Dina, masuk tanpa mengetuk.

"Bu Rania, Pak Bram mau presentasi jam dua. Tolong Ibu aja yang mendampingi, Pak Martin mintanya begitu."

Rania mengangguk sopan.

"Oke, terima kasih, Dina."

Namun Dina hanya melempar senyum setengah bibir sebelum melengos pergi. Pintu ditutup agak keras. Tidak ada ucapan "sama - sama".

Rania sudah terbiasa. Di kantor ini, statusnya sebagai menantu pemilik perusahaan tak pernah benar - benar menjadi perisai. Bahkan sebaliknya.. itu menjadi alasan untuk membenci. Di balik meja - meja kubikel, orang - orang memandangnya bukan sebagai perempuan cerdas dan pekerja keras, tapi sebagai perempuan yang merebut Niko dari Wulan.

Wulan... nama itu masih menggaung bukan hanya di rumahnya, tapi juga di lorong - lorong kantor. Mantan istri Niko yang dulu sempat menjadi sekretaris direksi. Dicintai banyak orang. Disayang oleh Pak Martin dan Bu Ayu. Dikenal ramah dan cantik. Bahkan setelah mereka bercerai, Wulan masih menjadi semacam hantu yang hidup di perusahaan ini.. hantu yang membuat siapa pun yang datang setelahnya, termasuk Rania, tidak pernah cukup baik.

Rania tahu semua itu, tapi ia tak pernah mengeluh. Ia datang paling pagi dan pulang paling akhir. Ia hafal setiap angka dalam laporan keuangan, dan tahu letak kesalahan sebelum orang lain sadar ada masalah.

Tapi setiap kali rapat, pujian tetap jatuh pada Niko.. yang tak pernah hadir. Dan ketika proyek berjalan lancar, yang disebut di depan forum adalah "tim divisi lapangan" tanpa menyebut namanya. Sementara ketika ada kesalahan sekecil apa pun, suara Pak Martin dan Bu Ayu terdengar keras.

"Rania, tolong jangan sembrono. Kita ini perusahan besar, bukan tempat main - main."

Padahal bukan Rania pelakunya, tapi... siapa yang peduli?

...****************...

Sore itu, Rania berdiri di depan cermin kecil di toilet wanita, merapikan rambut yang mulai kusut. Di balik pantulan cermin, pintu terbuka, dan dua staf perempuan masuk, tidak sadar Rania ada disana.

"Sumpah ya, kalau gue jadi Wulan, gue nggak akan balik sama Niko. Dia kan udah nikah sama perempuan itu."

"Hah? emang mau balikan? terus nasib si Rania gimana?"

"Kayaknya mau balikan, soalnya Bu Ayu teleponan terus tuh sama mantan menantunya, mana mesra banget lagi ngomongnya."

"Jadi si Rania bakalan dibuang aja, gitu?"

"Bisa jadi, kalau Wulannya mau. Hubungan Pak Niko dan Wulan itu lebih kuat, soalnya ada anak mereka berdua.."

Rania tak bergeming. Ia hanya tersenyum samar, bibirnya sedikit bergetar. Lalu keluar dari toilet setelah dua staf itu keluar, dengan langkah tenang.

Ia tahu, dunia ini tidak adil. Tapi setidaknya, ia tahu ia masih bisa bertahan. Dan kadang - kadang bertahan adalah satu - satunya bentuk perlawanan yang tersisa.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam turun pelan di langit kota, menenggelamkan gedung - gedung dalam kabut tipis dan kelap kelip lampu jalanan. Suara kendaraan mendengung pelan, seperti nyanyian muram yang mengiringi detak jantung Rania yang mulai retak.

Ia duduk diam di dalam mobilnya yang usang, sedan tua keluaran tahun dua ribuan, catnya sudah pudar, jok belakangnya mulai mengelupas, dan radio yang tak lagi bisa menangkap siaran dengan jernih. Tapi mobil itu satu - satunya tempat di mana ia bisa menangis dengan bebas. Tempat dimana tak ada mata memandang, tidak ada telinga yang menilai, dan tidak ada nama Wulan yang tiba - tiba muncul seperti kutukan.

Rania masih menggenggam setir, tidak langsung menangis. Hanya duduk, mematung, membiarkan napasnya tertahan di dada yang sesak. Ada yang mengganjal, menggumpal di tenggorokan. Seperti kata - kata yang sudah lama ditahan dan kini memberontak. Dan akhirnya, pelan.. sangat pelan... air matanya menetes ke pipi, tanpa isak, tanpa suara.

Air matanya jatuh, bukan hanya karena penghinaan dan tatapan sinis di kantor, bukan hanya karena tidak dianggap meski ia telah mengerjakan semuanya dengan sempurna. Tapi karena ada rasa hancur yang tak bisa ia bendung lagi.. rasa dikhianati. Disingkirkan. Dibandingkan dengan perempuan lain yang tak juga lenyap, bahkan setelah sekian tahun.

Wulan.

Nama itu terus menggema di kepala Rania, seperti pukulan godam yang menghantam dadanya. Wulan di ranjangnya, Wulan di kantor tempat ia bekerja mati - matian. Wulan yang tak pernah gamblang diucapkan, tapi terus hidup di setiap sudut yang membuat mereka dibandingkan, dan selalu Wulan pemenangnya.

Rania mengusap wajahnya menggigit biar agar tidak menangis lebih keras. Hatinya berkata, cukup. Ia ingin berhenti. Ia ingin menyerah. Ia ingin keluar dari neraka yang disebut keluarga dan pekerjaan itu.

Ia sudah memutuskan malam itu, besok ia akan mengundurkan diri. Menyerahkan surat pengunduran diri kepada Pak Martin. Melepaskan semuanya. Biarlah Niko dan Wulan dalam ranjang yang sama, di kantor yang sama. Ia tak ingin menjadi bagian dari cerita yang terus menyakiti dirinya.

Tapi saat tekadnya sudah membulat kokoh, ponselnya bergetar. Nama Ibu muncul di layar.

Dengan suara yang masih parau, Rania mengangkatnya. "Hallo, Bu..."

Suara dari ujung sana terdengar lelah, serak, dan penuh keraguan.

"Maaf, Rani... Ibu ganggu. Tapi.. bisa nggak, kirim uang buat bayar listrik sama beli beras? Bapak juga besok harus kontrol ke dokter."

Rani terdiam. Dunia seolah membekukan segalanya. Sesaat lalu, ia siap mundur. Tapi suara ibunya yang renta, bayangan Bapaknya yang terbaring sakit tanpa penghasilan, menariknya kembali ke bumi.

"Rani ngerti, Bu," ucapnya, menahan sesak. "Besok Rani kirim, ya."

Setelah telepon terputus, Rania menatap bayangannya sendiri di kaca spion. Mata yang sembab, bibir yang pucat. Tapi dibalik semua itu ada seorang anak yang tak bisa meninggalkan orang tuanya kelaparan.

Sudah lama Rania memendam keinginan untuk bekerja di tempat lain.. tempat yang tak ada hubungannya dengan keluarga suaminya, tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar menantu dari pemilik perusahaan. Tapi keinginan hanya tinggal keinginan.

Mencari pekerjaan di luar sana bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil baginya. Bukan karena ia tak mampu, tapi karena posisinya terlalu terikat. Selama ini, uang nafkah yang diberikan Niko setiap bulan bukan berasal dari hasil kerja keras pria itu, melainkan dari kantornya.. kantor milik orang tuanya. Jumlahnya pun tak seberapa, hanya cukup untuk kebutuhan dasar, tapi cukup untuk membuat Rania tak punya celah untuk melawan.

Dan itulah kuncinya, ketergantungan. Selama ia masih menerima uang itu, berarti ia tunduk. Selama namanya masih terikat dalam struktur karyawan perusahaan mertua, berarti ia tak berhak menentukan arah hidupnya sendiri. Jika ia keluar, ia bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga satu - satunya sumber penghasilan..yang sekaligus menjadi alat kontrol Niko atas hidupnya.

Bekerja di luar kantor keluarga bukan sekadar tak diizinkan, itu dicap pengkhianatan, yang berujung Niko hukum dengan cara yang tak kasat mata.. dingin, perlahan, dan menyakitkan.

Mengingat itu semua, Rania menyandarkan kepalanya di setir mobil.Menangis lagi. Tapi tangis kali ini bukan karena putus asa. Tangis ini adalah harga dari pilihan, bertahan demi orang tua yang tak tahu apa - apa tentang luka yang ditanggung anaknya.

(Bersambung)...

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!