Karena kesulitan ekonomi membuat Rustini pergi ke kota untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia merasa heran karena ternyata setelah datang ke kota dia diharuskan menikah secara siri dengan majikannya.
Dia lebih heran lagi karena tugasnya adalah menyusui bayi, padahal dia masih gadis dan belum pernah melahirkan.
"Gaji yang akan kamu dapatkan bisa tiga kali lipat dari biasanya, asal kamu mau menandatangani perjanjian yang sudah saya buat." Jarwo melemparkan map berisikan perjanjian kepada Rustini.
"Jadi pembantu saja harus menandatangani surat perjanjian segala ya, Tuan?"
Perjanjian apa yang sebenarnya dituliskan oleh Jarwo?
Bayi apa sebenarnya yang harus disusui oleh Rustini?
Gas baca, jangan lupa follow Mak Othor agar tak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Bab 32
Rustini paham kalau dirinya hanya istri siri, tetapi entah kenapa dia ingin menanyakan tentang posisinya kepada Jarwo. Karena pria itu berkali-kali mengatakan ingin berumah tangga dengan dirinya dengan benar.
Namun, ketika dia bertanya tentang Ratih, pria itu malah diam saja. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan dari Rustini, Rustini jadi merasa kalau semua yang diucapkan oleh Jarwo itu hanyalah bualan belaka.
"Bilang saja kalau kamu datang menemuiku untuk merayuku agar mau menjadi tumbal kamu, tidak usah mengatasnamakan pernikahan."
"Tin, aku---"
Jarwo langsung memeluk Rustini dengan erat, dia merasa begitu berat kalau harus melepaskan Rustini. Namun, dia juga bingung harus menjawab apa tentang Ratih.
Jujur saja Jarwo ingin berpisah dengan Ratih, tetapi ada perjanjian di antara keduanya. Dia tidak bisa langsung memutuskan secara terburu-buru, karena nantinya hal itu bisa merugikan dirinya.
"Aku janji tidak akan menumbalkan kamu, aku itu benar-benar menyukai kamu. Untuk Ratih nanti kita bicarakan lagi," ujar Jarwo.
"Pulanglah, Tuan. Jangan ganggu kehidupan aku lagi, aku tak mau menjadi wanita simpanan. Jika kamu ingin rumah tangga denganku, maka ceraikan nyonya Ratih. Kita mulai hidup dari awal, tanpa harta dari pesugihan. Kamu sanggup?"
Jarwo tidak menyangka kalau Rustini akan mengajukan pertanyaan seperti itu, ternyata wanita yang ada di hadapannya bisa dikategorikan sebagai wanita yang tidak mementingkan uang di atas segalanya.
"Semuanya tak sesederhana itu, Tin. Ada hal yang tidak kamu ketahui," ujar Jarwo.
"Ya, aku paham. Semuanya tak sederhana, makanya aku memutuskan untuk mundur. Pulanglah, jangan cari aku lagi. Anggap saja uang yang dulu kamu berikan kepadaku sebagai mahar dan juga sebagai upah karena aku sudah menyusui bayi kami itu," putus Rustini.
"Tapi, Tin. Aku ---"
"Kalau gak ikhlas dengan uang yang sudah kamu berikan dulu, aku akan mencicilnya. Walaupun mungkin harus dengan kerja keras dalam seumur hidupku, aku tidak keberatan."
"Tin, bukan begitu. Maksudnya ---"
"Kalau niatnya tulis untuk menikahi aku, nanti datang lagi setelah kamu menceraikan nyonya Ratih."
"Tini, Mas---"
Rustini melepaskan diri dari pelukan Jarwo, dia menatap pria itu dengan lekat. Rustini paham dengan situasi ini, rumit dan sulit. Dia tidak mau terjebak dalam kehidupan yang akan mempersulit hidupnya.
"Pulang ya, jangan ganggu Tini kalau kamu masih punya hubungan dengan wanita lain. Kamu juga tak boleh menemui Tini kalau masih melakukan pesugihan," ujar Rustini sambil mendorong Jarwo agar keluar dari dalam kamar kontrakannya.
Rustini bahkan tanpa ragu menutup pintu dan menguncinya, bukan karena tega, tetapi justru Rustini tidak mau bertele-tele. Dia tak mau memberikan harapan kepada pria itu, karena sungguh lebih baik dia menghindari pria itu mulai dari sekarang, daripada masuk terlalu dalam.
"Aku yakin ini yang terbaik," ujar Rustini lirih.
Rustini duduk sambil memeluk kedua lututnya, dia menangis tanpa suara. Entah seperti apa perasaan dia saat ini, yang pasti dia merasa kacau.
Cukup lama Rustini menangis, hingga dia mendengar suara adzan berkumandang. Wanita itu mengusap air matanya, lalu dengan perlahan membuka pintu kamar kontrakannya.
Dia tersenyum hambar melihat Jarwo yang sudah tidak ada di sana, lalu wanita itu memutuskan untuk masuk ke kamar mandi karena ingin mengambil wudhu. Dia ingin melaksanakan kewajibannya terhadap Sang Khalik.
"Ya Allah, tolong maafkan semua kesalahan hamba. Maafkan kesalahan bapak hamba, tolong berikan kesehatan kepada hamba dan juga bapak hamba. Tolong lindungi hamba dari segala marabahaya, jauhkan hamba dari orang-orang yang akan membawa malapetaka di dalam hidup hamba. Aamiin," doa Rustini setelah salat.
Rustini lalu mengambil Alquran dan memutuskan untuk mengaji, sedangkan Jarwo kini sudah sampai di rumahnya. Dia merasa kaget karena saat dia tiba, Ratih menyambut dirinya dengan begitu baik.
Wanita itu tersenyum-senyum kepada dirinya sambil menyiapkan makan malam, bahkan wanita itu memakai baju yang begitu seksi dan tipis.
"Kamu sudah pulang?"
"Emm," jawab Jarwo malas.
"Makan dulu, Sayang. Nanti aku siapkan air mandi," ujar Ratih sambil menuntun pria itu menuju ruang makan.
Baik Ratih ataupun Jarwo merasa canggung sebenarnya dengan keadaan ini, Jarwo merasa canggung karena masih kesal terhadap wanita itu yang tidak mau berbicara. Dia juga merasa canggung karena separuh hatinya sudah di isi oleh Rustini, bahkan mungkin sudah hampir di isi semua oleh Rustini.
Ratih juga tentunya merasa canggung dengan apa yang sudah terjadi di antara keduanya, Ratih merasa canggung karena saat Jarwo pergi, pria itu membawa kekesalan.
"Kamu gak makan?" tanya Jarwo ketika melihat Ratih yang hanya diam sambil menatap Jarwo setelah menyiapkan makanan untuk pria itu.
"Aku--- aku kenyang," jawab Ratih gugup.
"Kalau begitu aku juga gak usah makan, aku kenyang melihat sikap kamu."
"Mas, maaf. Tapi tadi aku sudah makan, aku---"
Prang!
Ratih begitu kaget karena Jarwo melemparkan piring yang sudah diisi dengan nasi dan juga lauk ke lantai, piring itu langsung pecah berkeping-keping. Makanannya juga berantakan.
"Kalau kamu sudah tak menganggap aku sebagai suami, lebih baik kita cerai saja. Toh aku liat juga kamu sudah punya yang baru," ujar Jarwo yang langsung berdiri dan segera pergi dari sana.
Ratih ketakutan, dia dengan cepat mengejar Jarwo dan memeluk pria itu dengan erat.
"Maaf, Mas. Maafkan aku, aku tak mau cerai. Sumpah aku tidak mempunyai yang baru, aku tidak pernah pergi dengan pria lain. Mungkin kamu salah lihat," ujar Ratih.
"Benarkah?" tanya Jarwo memastikan.
"Ya," jawab Ratih tanpa berani menatap wajah Jarwo.
"Oke, untuk saat ini aku percaya kamu. Tapi, kalau aku liat kamu pergi dengan pria lain, atau melakukan hal yang di luar batas, aku tak akan mengampuni kamu."
"Iya, Mas. Kamu tenang saja," ujar Ratih sambil menuntun pria itu agar masuk ke dalam kamar.
Jarwo menurut, karena dia juga begitu lelah. Namun, saat dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, Jarwo begitu kaget karena tiba-tiba saja istrinya itu naik ke atas tubuhnya.
"U--- untuk permintaan maaf aku, aku akan memberikan servis yang terbaik untuk kamu."
Ratih memancing pria itu dengan membuka kemeja yang dipakai oleh Jarwo, lalu dia mengecupi leher dan juga dada pria itu. Karena biasanya suaminya itu tidak tahan ketika dirinya sudah melakukan hal tersebut.
"Emmm!" ujar Jarwo dengan deheman saja.
Akhirnya kegiatan asik di atas ranjang pun terjadi, herannya Jarwo tidak merasakan kenikmatan seperti biasanya. Bahkan, saat Ratih bergoyang di atas tubuhnya, pria itu malah membayangkan kegiatan panasnya yang pernah dia lalui bersama Rustini.
'Apa iya hatiku sudah dikuasai oleh Tini?' tanya Jarwo dalam hati.
ntar kamu ngamuk gak liat Jarwo bahagia dengan Tini