Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 33
Sigit Wiguna, adalah seorang dosen honorer muda berumur 27 tahun. Dia mengajar di fakultas ekonomi. Bersebelahan dengan fakultas kesenian, tempat dimana Eswa menimba ilmu.
Diam-diam Sigit Wiguna menjadi seorang penguntit, memantau kegiatan gadis yang belum diketahui siapa namanya.
Pemikiran dangkal nan picik Sigit Wiguna muncul, setelah melihat tiga sosok pria berbeda menggunakan kendaraan berbeda pula, mengantar jemput si gadis.
Faktanya, sosok yang mengantar jemput Eswa, tak lain adalah sopir dan penjaga kediaman keluarga Pangestu. Telah bekerja sedari si bungsu masih bayi.
“Dasar murahan!” cemooh nya, saat melihat interaksi hangat Eswa dengan sopirnya.
Seminggu kemudian, setelah resmi menjadi seorang mahasiswi universitas ternama Sumatera Utara. Eswa terlihat berjalan seorang diri ke toko buku yang tidak jauh dari kampusnya.
Hari ini, Eswa lebih cepat keluar dari kampus, dikarenakan salah satu dosen tidak hadir. Dia berinisiatif menghabiskan waktu di toko buku yang juga menjual alat lukis sambil menunggu jemputan datang.
Satu jam sudah gadis yang mengenakan baju terusan longgar, rambut di gerai itu membaca salah satu buku sastra, ia melihat keluar jendela, ternyata tengah hujan deras.
Merasa sungkan dikarenakan sudah berdiam diri terlalu lama, Eswa keluar dari toko buku dan berencana kembali ke kampus, kebetulan membawa payung lipat.
Tanpa dia tahu, ada sosok yang mengintainya sedari dirinya keluar dari kampus. Tepat di pertigaan jalan sepi, mulut Eswa dibekap sapu tangan yang sudah diberi obat bius.
Payung Eswa terjatuh, tubuhnya langsung lemas dan basah oleh air hujan.
Sigit Wiguna menyeret korbannya, lalu membopong dan memasukkan ke dalam mobil.
“Kena kau Jalang kecil!” Bibirnya naik keatas, menyeringai keji. Lalu menyalakan mobil dan berlalu.
Dua puluh menit kemudian, gadis yang tadi tak sadarkan diri kini mulai membuka kelopak matanya. Rasa pusing mendera, pandangannya masih buram.
'Di mana ini?' Eswa mencoba melihat sekeliling, keningnya berkerut, matanya terbelalak.
Gadis tidak berdosa itu menunduk, betapa terkejutnya saat mendapati tubuhnya polos. Kedua tangan terentang, diikat tali skipping yang ujungnya ditautkan pada kepala ranjang.
Tidak ada siapapun di sana, hanya pakaian berserak di lantai, dan baju pria.
Napas Eswa memburu, mencoba mencari rasa janggal di tubuh bagian bawah, dan dia bersyukur kalau kewanitaannya tidak terasa sakit.
Sekuat tenaga Eswa berusaha menarik tali, bukannya terlepas malah semakin erat mengikat pergelangan tangannya.
“Ternyata pelacur kecil ku sudah siuman.” Sigit Wiguna keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos.
Eswa terkejut sekaligus ketakutan, dia mengenal sosok pria di hadapannya ini. Dosen yang ia tahu bernama Sigit Wiguna, pernah memegang pergelangan tangannya, tapi langsung ditepis.
Sigit tertawa sumbang, tatapan matanya mencemooh. “Ternyata seperti ini caramu menggoda para pria itu, menjual wajah lugu, polos, demi mendapatkan imbalan rupiah. Sungguh sempurna aktingnya, Gagu!”
‘Aku tidak seperti itu. Tolong lepaskan!’ ia berusaha menjelaskan, menggunakan bahasa isyarat tidak sempurna dikarenakan tangannya terikat.
Sigit naik ke kasur, melebarkan kaki Eswa, menarik tungkai sampai si gadis terlentang.
Eswa memberontak, mencoba menendang, mulutnya terbuka dan tertutup, seperti seseorang yang berteriak meminta tolong, mengiba, memohon dilepaskan.
Namun, Sigit sudah gelap mata. Kebetulan juga hampir dua bulan lamanya dia puasa, dikarenakan sang istri masih masa nifas.
Ya, pria itu bukan saja berstatus sebagai seorang suami dari wanita bernama Widya Mandala, tetapi juga bergelar ayah teruntuk putri cantiknya, Arimbi Wiguna.
‘Ayah! Kakak! Abang! Tolong Eswa! Tolong!’ Eswa menggeleng kuat, tatapannya mengiba.
"Mari kita lihat, apa rasamu memang sangat nikmat sehingga banyak pria yang sudi memelihara sosok Jalang Gagu seperti ini!” Tanpa melakukan pemanasan, Sigit membenamkan pusakanya dalam liang sempit itu.
'AYAH! SAKIT!' Teriakan itu menggema di dalam hati.
“Hah … kau masih perawan!” Bukannya berhenti dikarenakan tuduhannya salah besar, Sigit semakin memandang rendah.
“Kau sungguh picik, licik. Hanya memperbolehkan mereka meremas ini!” Ia remas Buah dada Eswa. “Sementara kesucianmu tetap terjaga agar kelak bisa jadi modal untuk mendapatkan laki-laki kaya raya.”
Baru kali ini seorang Maheswari menatap penuh benci, dia tidak lagi memberontak, percuma. Mahkotanya telah direnggut paksa, dirinya ternoda.
“Mengapa, kau tak terima? Padahal apa yang aku ucapkan ini fakta. Tenang saja, kau tak kupakai secara cuma-cuma, tetap ku bayar mahal … Ahh!” Sigit memacu lebih cepat lagi, tidak menghiraukan tatapan penuh dendam itu.
Setelah puas menikmati keranuman tubuh perawan, dan Eswa terlihat kelelahan. Ia membuka ikatan tali.
Namun, Eswa yang pura-pura lemah, menendang dada pria bejat itu, mencakar bahu, menggigit lengan.
“Ternyata kau belum puas ya, ayo kita main lagi, Bisu!”
Tentu saja Maheswari kalah tenaga, tubuhnya di banting, ditimpa, dan kembali dirudapaksa. Entah pada ronde ke berapa, Eswa tak sadarkan diri.
.
.
Waktu pun terus bergulir, detak jarum jam bergeser ke kanan.
Ketika siuman, Eswa ditinggal sendirian. Badannya terasa sakit, terutama pada bagian kewanitaan, perih. Tangannya sudah terbebas dari ikatan.
‘Ibu .…’ nama yang tidak pernah dia sebut dengan nada sendu, kini batinnya memanggil pilu. ‘Ibu ….’
Kenyataan ini sungguh menyakitkan, harta berharganya dirampas, dia bukan saja kehilangan mahkota, tetapi harga dirinya pun lenyap tanpa sisa, diinjak-injak sedemikian rupa.
Maheswari mengumpulkan baju yang tercecer. Hatinya hancur lebur. Pupus sudah impiannya. Ia mengoyak lembaran uang kertas yang diletakkan pada ujung kasur.
Sigit Wiguna menganggap dan memperlakukan Maheswari seperti seorang pelacur.
.
.
“Kemana sebetulnya Eswa?” Zainal terus menatap pintu rumah, hatinya cemas luar biasa.
Kafka dan juga seorang sopir, pergi mencari Maheswari.
“Ponselnya juga tak aktif, Yah. Apa habis baterai, ya?” Selina sama kalutnya dengan sang ayah.
Seandainya saja tidak hamil muda, dia lah yang sering menjemput sang adik, lalu mereka akan pergi ke Resto Nusantara.
Namun semenjak mengandung, Selina membatasi kegiatannya, dikarenakan masih sering mual, dan pusing.
“Eswa!” Zainal berdiri, melangkah lebar hendak memeluk sang putri yang sebagian bajunya basah, melangkah tergesa-gesa.
'Tolong tetap di situ, Yah! Badan Eswa kotor, mau mandi dulu!' Senyum lemah ia sunggingkan, lalu berlari kecil menaiki tangga menuju lantai dua, kamarnya.
Selina Pangestu menatap heran, tidak biasanya sang adik bersikap seperti itu.
Sikap beda dari biasanya terus berlanjut hingga di suatu pagi. Bibi berteriak melengking.
"BAPAK! NONA ESWA, TENGGELAM!!"
.
.
Bersambung.
Tinggal separuh bab lagi, maka kembali ke masa Sahira. Biar terjawab rasa penasaran tentang alasan dendam sang antagonis, Sahira Maheswari Pangestu 🥰
Terima kasih banyak Kakak atas dukungannya❤️
g bsakah upnya sehari 3x gtu kak..anggap aj minum obat..😂🤭
Ah.. tapi jangan dulu kelar dendamnya, ntar yg ada cepet tamat novelnya... 😂😂