NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjadi Sahabat

Beberapa hari setelah kejadian "laptop dan infokus", hidupku kembali tenang. Tidak ada obrolan lagi dengan Azzam. Tidak ada chat, tidak ada sapaan, dan itu sangat melegakan. Bukan karena aku kesal atau ilfil, tapi aku cuma memang tidak berniat untuk dekat-dekat dengan cowok macam dia.

Sampai malam itu.

Aku sedang rebahan di kasur, mata terpaku di layar ponsel, jari-jari sibuk scroll story WhatsApp sambil sesekali menguap. Tapi kemudian, satu story menghentikan segalanya.

...Nggak ada persahabatan antara cewek dan cowok. Cewek itu suka baper. Cinta tapi ngajak sahabatan, ujungnya ngajak pacaran. Dasar modus....

Mataku membelalak. Nama yang terpampang di pojok kiri atas story itu jelas: Azzam.

"Astaga..." gumamku, setengah tak percaya. Entah kenapa dadaku terasa panas.

Apa maksud dia nulis gitu? Apa karena ada cewek yang tiba-tiba ngaku sahabat terus nembak dia? Atau jangan-jangan dia nyindir aku?

Aku menggigit bibir bawah. Tanganku bergerak sendiri, membuka kolom balasan.

Nggak semua cewek kayak gitu kali, Zam. Gue nggak kayak gitu.

Balasan itu terkirim sebelum sempat aku pikir panjang.

Tiga menit kemudian, chat masuk.

...Azzam...

Nggak percaya. Semua cewek yang temenan

sama gue pasti ujung-ujungnya suka.

Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.

^^^Ya udah, ayo. Kita sahabatan. ^^^

^^^Biar lo lihat sendiri gue beda.^^^

Begitu kirim, aku langsung panik. Kenapa aku malah nantangin? Gila.

Tapi terlambat. Tiga detik kemudian dia balas.

Deal. Gue terima tantangan lo.

Kita sahabatan, dan lo bakal jatuh cinta.

Kita lihat siapa yang bener.

Aku menatap layar dengan wajah bingung setengah menyesal.

Kenapa rasanya aku baru masuk ke dalam permainan yang bisa jadi bukan sekadar permainan?

Dan sialnya, lawannya Maaz Azzam—cowok paling dingin dan paling percaya diri yang pernah aku kenal.

...****************...

Keesokan paginya, aku dikejutkan oleh suara klakson motor dari luar pagar.

"Sayang, itu Nizan kayaknya," panggil mamaku dari dapur.

Aku buru-buru merapikan rambut, menyambar tas, dan melangkah ke depan. Benar saja, Nizan sudah berdiri di depan gerbang dengan motornya, lengkap dengan jaket dan helm cadangan di tangannya.

"Mi, izin ya," ucapnya sopan sambil tersenyum ke Mama.

Mamaku memang dipanggil mami oleh teman-temanku. Mama membalas dengan anggukan dan senyum hangat.

"Hati-hati ya di jalan. Jangan ngebut, Zan."

Aku pamit cepat, merasa canggung karena tahu benar alasan kenapa Nizan rela datang sepagi ini. Kami berangkat berdua, aku di boncengan dengan helm yang agak longgar dan pikiran yang lebih longgar lagi.

Tapi suasana di motor terasa... aneh. Diam. Hening. Canggung.

Sampai akhirnya Nizan bicara.

"Kamu nanti pulang sama siapa?"

Aku mengangkat bahu pelan. "Gatau sih. Dijemput Mami, kayaknya."

Nizan melirikku singkat lewat kaca spion. "Sama aku aja ya? Aku nggak keberatan kok anter jemput kamu tiap hari."

Kalimat itu membuatku diam sejenak. Aku tahu perasaan Nizan. Aku tahu harapannya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya tanpa menyakiti.

Jadi aku jawab dengan suara pelan. "Iya," walaupun dalam hati masih penuh keraguan.

Sesampainya di halaman sekolah, aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil. Tapi suasana terasa berbeda. Seperti ada tatapan yang mengikuti langkahku.

Mataku otomatis melirik ke atas, ke lantai dua, tepat di depan kelasku dan kelas RPL.

Di sana berdiri dua sosok yang sudah tidak asing lagi: Mira, dengan rambut setengah diikat dan seragam yang rapi, serta Azzam dengan jaket hitam yang selalu ia pakai, berdiri bersandar di dinding dengan ekspresi datar khasnya.

Yamira melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah kami.

Tapi senyum itu aneh. Terlalu lebar, terlalu kaku. Senyum yang menyembunyikan sesuatu. Sedangkan Azzam hanya menatap.

Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu di balik tatapan itu yang tak bisa dijelaskan. Seolah ia sedang menilai. Atau cemburu?

Pagi itu, aku baru sadar.

Tawaran sahabat semalam mungkin bukan keputusan kecil, karena pagi ini dunia di sekitarku seperti mulai berubah.

Aku mempercepat langkah menuju kelas. Rasanya ingin segera menghilang dari tatapan siapa pun, termasuk dua pasang mata dari lantai dua tadi. Mira berjalan cepat mengejarku, lalu masuk ke kelas bersamaku.

"Lo berangkat sama Nizan lagi Sya?" tanyanya santai, tapi aku bisa dengar nada tajam yang disembunyikannya.

Aku meletakkan tasku di meja dan menjawab sambil membuka botol minum. "Iya. Nizan yang mau jemput."

Mira mengangkat alis. "Mami lo sakit?"

Aku menggeleng. "Nggak kok."

Mira mencibir pelan. "Enak ya jadi lo. Gue aja pergi sendiri tiap hari."

Aku cuma tersenyum tipis. Tidak tahu harus merasa bersalah atau biasa saja. Aku tahu benar kenapa Mira bertanya begitu, dia tahu perasaan Nizan padaku, dan mungkin dia belum berhenti berharap.

Belum sempat aku membalas apa pun, ponselku bergetar di atas meja.

Drrt....

Satu pesan masuk dari kontak bernama Azzam.

Nanti istirahat ke kantin sebelah mushola. Gue mau ngomong.

Aku terdiam. Mataku menatap layar cukup lama sebelum akhirnya kusapu layar itu ke samping dan kunci lagi ponselku.

Apa lagi sekarang?

Belum cukup drama pagi ini? Belum cukup sorotan mata dari Mira dan desakan perasaan Nizan?

Kepalaku mulai terasa penuh. Tapi satu hal yang kupikirkan sekarang. Kira-kira bencana apalagi yang akan datang?

Meminta bantuan Azzam saja sudah cukup memantik api gosip di seisi sekolah. Dan jika benar aku menemui dia di kantin nanti, bisa dipastikan kabar akan kembali merajalela.

...****************...

Istirahat akhirnya tiba. Aku berjalan ke kantin bersama Mira dan Yumna. Keduanya tak tahu kalau aku sebenarnya ada janji diam-diam dengan Azzam. Dalam perjalanan, kami sibuk membahas menu makan siang.

"Mau makan apa nih?" tanya Yumna sambil memeluk lengan Mira.

"Soto, yuk! Udah lama nggak makan soto kantin," ajakku.

Mereka berdua langsung setuju dan kami bertiga pun memesan soto masing-masing. Kantin sedang ramai, tapi suasananya cukup nyaman. Kami duduk di meja panjang, menghadap ke arah mushola.

Sepanjang makan, aku diam-diam memperhatikan sekitar, mencari sosok Azzam. Tapi sampai suapan terakhirku, dia tak juga muncul. Mungkin nggak jadi, pikirku.

Tapi tepat ketika soto di mangkukku tinggal kuah dan irisan tomat terakhir, sosok tinggi itu muncul dari arah koridor.

Azzam.

Dia tidak menatap langsung ke arahku. Hanya berjalan santai, lalu duduk di bangku seberang kantin, sendiri. Tidak ada sepatah kata pun terlontar. Bahkan senyum pun tidak.

Aku meneguk air putih cepat-cepat. Rasa tak nyaman mulai muncul.

Mira mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan. "Itu Azzam, kan?"

Aku mengangguk pelan. "Iya."

"Kenapa dia duduk di situ?" tanya Yumna, suaranya setengah penasaran.

"Nggak tahu. Mungkin cuma mau makan juga," sahutku sekenanya, meskipun jelas-jelas aku tahu kenapa dia ada di sini.

Setelah mangkuk soto kami bersih, aku berdiri sambil membawa nampan. Saat itulah Azzam menoleh padaku sebentar. Tatapannya tidak lama, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu. Kode.

Aku menarik napas dan menoleh ke dua sahabatku.

"Yum, Mir, kalian balik ke kelas duluan ya. Gue mau ngobrol sama Azzam sebentar," kataku, mencoba terdengar santai.

Mereka saling pandang. Terlihat penasaran, tapi tidak bertanya lebih lanjut.

"Oke," jawab Yumna akhirnya.

"Cepetan ya, nanti bel bunyi," timpal Mira.

Aku mengangguk dan menunggu mereka berdua benar-benar berjalan menjauh sebelum perlahan melangkah ke arah meja Azzam.

Ini dia. Babak baru yang mungkin bakal makin bikin gosip sekolah jadi liar. Tapi aku tetap melangkah.

Aku berdiri di depan meja Azzam, ragu-ragu.

"Duduk aja," katanya tanpa menoleh, tangan masih memainkan tutup botol minumannya.

Aku duduk perlahan. Suasana mendadak hening. Suara kantin yang ramai jadi seperti latar belakang yang kabur. Kami hanya berdua di sini, tapi rasanya seperti sedang ditonton seluruh sekolah.

"Ada apa?" tanyaku membuka pembicaraan.

Azzam mendongak, matanya menatapku datar. "Lo beneran nggak baper?"

Aku mengerutkan alis. "Hah?"

"Jawaban lo kemarin. Tentang cewek yang temenan sama cowok tapi nggak suka." Ia menyilangkan tangan di dada. "Lo beneran percaya bisa sahabatan sama cowok tanpa baper?"

Aku mendesah pelan. "Iya, Zam. Gue kan udah bilang. Gue bersahabat sama Rafa, Bima, dan nggak pernah ada rasa. Lo juga tau gue sahabatan sama mereka udah lama."

Azzam mengangguk pelan. "Makanya gue bilang kita buktiin."

Aku menatapnya, bingung. "Buktiin apa?"

"Kita sahabatan," jawabnya singkat. "Kalau lo berhasil nggak baper, ya berarti lo bener. Kalau lo baper berarti gue bener."

Aku mengangkat alis. "Jadi ini taruhan?"

Azzam mengangkat bahu, senyumnya muncul tipis, penuh percaya diri. "Bukan taruhan. Ujian. Gue cuma pengen tahu siapa yang lebih kuat: logika lo, atau pesona gue."

Aku terkekeh tidak percaya. "Narsis amat sih."

"Realistis aja," jawabnya santai.

Aku memutar bola mata. "Oke, sahabatan. Tapi kalau lo duluan yang baper?"

Azzam tersenyum meremehkanku. "Gak mungkin lah."

Aku terdiam beberapa detik, merasa semakin tertantang untuk membuktikan pendapatnya salah. Kemudian aku mengulurkan tangan.

"Deal."

Tangannya menjabat pelan, dingin tapi mantap.

Mulai hari itu, entah kenapa segalanya mulai berubah.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!