Di dunia lama, ia hanyalah pemuda biasa, terlalu lemah untuk melawan takdir, terlalu rapuh untuk bertahan. Namun kematian tidak mengakhiri segalanya.
Ia terbangun di dunia asing yang dipenuhi aroma darah dan jeritan ketakutan. Langitnya diselimuti awan kelabu, tanahnya penuh jejak perburuan. Di sini, manusia bukanlah pemburu, melainkan mangsa.
Di tengah keputusasaan itu, sebuah suara bergema di kepalanya:
—Sistem telah terhubung. Proses Leveling dimulai.
Dengan kekuatan misterius yang mengalir di setiap napasnya, ia mulai menapaki jalan yang hanya memiliki dua ujung, menjadi pahlawan yang membawa harapan, atau monster yang lebih mengerikan dari iblis itu sendiri.
Namun setiap langkahnya membawanya pada rahasia yang terkubur, rahasia tentang dunia ini, rahasia tentang dirinya, dan rahasia tentang mengapa ia yang terpilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adam Erlangga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 01
Di sebuah lembah tersembunyi di kaki gunung, terhampar pemandangan yang membuat jiwa manusia membeku, kuburan raksasa bagi ribuan mayat yang menjadi korban keganasan perang. Tempat pembuangan ini adalah luka terbuka di peta benua, wilayah yang bahkan para pemburu paling nekat enggan mendekatinya.
Bau busuk menusuk hingga ke tulang, seolah udara itu sendiri telah membusuk. Di antara kabut tipis, ular-ular dan binatang melata menjalar di sela-sela tulang belulang, menjadikan tempat ini seperti pintu masuk neraka.
Malam itu, cahaya bulan pucat menyinari iring-iringan prajurit kerajaan yang membawa gerobak penuh mayat. Roda berderit di atas tanah bebatuan, memecah keheningan malam.
"Apa kita benar-benar akan membuang mereka di tempat terlarang itu?" tanya salah satu prajurit, suaranya berat menahan rasa mual.
"Tidak ada pilihan lain. Kita hanya menjalankan perintah," jawab temannya datar, sambil melempar sepotong kain. "Tutup hidungmu. Kita hampir sampai."
Udara semakin tebal oleh bau kematian. Wajah para prajurit menegang, langkah mereka dipercepat.
Tak lama, mereka tiba di puncak bukit. Dari sana, jurang menganga gelap, dalam, dan dipenuhi bayang-bayang yang bergoyang di bawah cahaya rembulan.
"Cepat! Angkat mayat-mayat itu dan buang ke bawah!" seru salah satu prajurit dengan nada panik.
Beberapa dari mereka muntah di tempat, ada yang menyerah pada rasa ngeri.
"Buang saja bersama gerobaknya! Aku tak sanggup lagi!" teriak salah satu, suaranya bergetar.
Gerobak pun didorong sekaligus, meluncur menuruni bukit dengan dentuman kayu pecah menghantam batu di bawah.
"Kita sudah selesai! Cepat, pergi!" seru prajurit itu sambil berlari.
Mereka semua kabur seperti dikejar iblis, tak berani menoleh ke belakang.
Namun, di tengah tumpukan tubuh yang membusuk di dasar lembah, sepasang jari kecil bergerak. Perlahan, di antara lengan-lengan dingin dan wajah-wajah tak bernyawa, seorang anak laki-laki berusia lima tahun membuka matanya.
Anak itu, Rudy Hosten, menarik napas tajam. Udara yang ia hirup membuat perutnya bergejolak.
"Bau apa ini? Arrgh… busuk sekali. Di mana aku.?"
Pandangan matanya membeku ketika menyadari tubuh-tubuh di sekitarnya. Darah yang sudah menghitam, mata-mata kosong yang menatap tanpa nyawa, tangan-tangan kaku menyentuh kulitnya.
Dengan gemetar, ia berusaha merangkak keluar. Setiap mayat yang ia singkirkan meninggalkan bekas dingin dan basah di tangannya. Ketika akhirnya ia berdiri di atas tumpukan itu, pemandangan di hadapannya merobek hatinya, ribuan tubuh tak bernyawa terbentang sejauh mata memandang.
"Eeeh…? Di mana aku sekarang…?"
Kakinya lemas. Ia mundur beberapa langkah, napasnya memburu, hingga teriakan nyaring keluar dari tenggorokannya, mengiris keheningan malam.
"HAAAAAAAAA"
Suara itu terdengar hingga ke telinga para prajurit yang masih berlari. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat pasi.
"Itu, roh jahat…" bisik salah satu dengan suara pecah.
"Jangan menoleh! Lari!"
Sementara itu, Rudy berlari tanpa arah, melintasi lautan mayat. Tubuhnya bergidik saat ular-ular melata muncul dari balik perut yang robek, menyusuri tulang-tulang terbuka.
"Di mana ini…?! Hiiii… DIMANA AKU SEKARANG?!"
Kepalanya menabrak sesuatu yang dingin, Brak. sebuah mayat bergelantungan di pohon. Ia terjatuh menimpa bangkai yang sudah dipenuhi larva putih. Bau busuk yang pekat menghantam wajahnya, memaksanya untuk memuntahkan air dari mulutnya.
Ular-ular mendekat. Gerakan mereka cepat, lidah bercabang mencambuk udara. Rudy terdiam, tubuhnya lumpuh oleh rasa takut yang membekukan darah.
"Apa… aku akan mati…?"
Saat itu, cahaya tiba-tiba memancar dari tubuhnya. Dalam sekejap, seluruh lembah diterangi sinar hangat yang menusuk kegelapan. Tubuhnya lenyap dari sana.
TIIING
Dan ia muncul di atas udara, tepat di atas sungai deras.
"Hee…?!"
Angin malam mencambuk wajahnya sebelum ia jatuh.
Air menyambutnya dengan hantaman keras, menenggelamkan tubuh kecil itu ke dalam arus yang menggila. Rudy terhuyung-huyung melawan arus, namun arus lebih kuat. Dari kejauhan, suara gemuruh air terjun mendekat.
"Tidak… ini bahaya…"
Ia berenang sekuat tenaga, namun tubuhnya tetap terbawa arus. Air terjun itu menelannya bulat-bulat, membantingnya ke batu di bawah. Darah pun mengalir dari kepalanya.
Arus masih menyeretnya. Napasnya semakin pendek. Saat ia melihat akar pohon menjulur ke air, ia meraihnya seperti memegang harapan terakhir.
"Hahaha! Aku berhasil!"
Tapi sebatang kayu besar datang menghantamnya, merenggut harapan itu.
"Kenapa aku tersiksa di sini…?"
"TOLOOONG."
…
Satu jam kemudian, tubuh Rudy terdampar di tepi sungai. Nafasnya terputus-putus, matanya setengah terpejam. Saat melihat tangannya, ia terpaku. Tangannya kecil. Tubuhnya menjadi tubuh seorang anak.
Kebingungan memenuhi kepalanya. Dunia ini terasa asing, seperti mimpi buruk yang tak berakhir atau mungkin awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Rudy berdiri terpaku di tepi sungai, matanya tak lepas menatap kedua tangannya yang mungil. Jemari itu bukan miliknya atau setidaknya bukan seperti yang ia kenal. Perlahan ia menyentuh wajahnya, meraba pipi, dagu, bahkan tubuhnya. Semua terasa kecil dan rapuh.
"Apa ini? Kenapa tubuhku jadi sekecil ini?"
Langkahnya goyah saat ia bangkit. Kaki mungil itu menapak di tanah basah, dan ia menyadari betapa tinggi pepohonan di sekelilingnya atau mungkin betapa rendah dirinya sekarang.
"Apa yang sudah terjadi padaku? Kenapa aku bisa jadi sekecil ini.?"
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, menghantam pikirannya seperti gelombang tanpa henti.
"Lalu, di mana aku sekarang.? Apa aku sudah mati waktu itu.?"
Matanya menatap sekeliling. Sungai yang menderu di belakangnya, hutan lebat yang seakan menutup dunia di depannya. Tidak ada jejak manusia. Tidak ada suara selain burung malam dan desir angin.
"Tempat ini seperti dunia fantasi, apa aku sudah bereinkarnasi?"
Suara itu terdengar asing bahkan untuk dirinya sendiri. Dia mencoba menertawakan kemungkinan itu, tapi dadanya justru terasa sesak.
"Ini seperti tempat primitif, bahkan aku belum menyelesaikan kuliahku."
Ia menunduk, menatap tanah basah di bawah kakinya.
"Di mana aku ini.? Tolong… tolonglah aku… Aku tidak tahu harus kemana, atau bagaimana."
Kata-katanya pecah menjadi gumaman putus asa. Matanya mulai panas, seolah menangis adalah satu-satunya jalan keluar dari kebingungan ini.
Lalu…
TRIING
Sebuah bunyi aneh, jernih, bergema di dalam kepalanya. Rudy menegakkan tubuh, jantungnya berdegup kencang.
"Eeh? Suara apa itu barusan.? Apa kepalaku sudah rusak.?"
Ia memijat pelipisnya, mengingat benturan keras di dasar air terjun. Mungkin… itu sebabnya ia mendengar hal aneh.
Tiba-tiba, suara itu kembali—kali ini lebih jelas, seperti seseorang berbicara tepat di dalam pikirannya.
[Sistem terhubung, system Leveling dimulai]
Rudy membeku. Matanya membesar.
"Eh.? Apa itu? Suara apa itu…?"
[Halo, Rudy Hosten. Aku adalah sistem yang ditanamkan oleh Dewa Kebangkitan untuk membantumu. Namaku adalah Emma, dan aku akan mendampingimu seumur hidup.]
Kepalanya terasa berputar. Kata-kata itu terlalu absurd untuk diterima.
"Aa… Emma…? Sistem…? Dewa Kebangkitan…?"
[Itu benar, Rudy. Beritahu aku, apa yang bisa kubantu.?]
Rudy terdiam beberapa saat, matanya kosong, napasnya berat. Semua yang ia alami sejak membuka mata di lembah mayat bau busuk, ular, air terjun, tubuh kecilnya sekarang terasa terlalu gila untuk menjadi nyata.
"Sepertinya… aku sudah gila sekarang…"
....