Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROLOG
Langit telah kembali nampak gelap sore ini. Kendaraan di jalan yang semula merayap padat, kini satu per satu mulai meninggalkan ibu kota hingga terlihat lenggang, melesat kilat.
Langit menarik napas dalam-dalam sambil menginjak pedal gas mobilnya lebih stabil. Ia menikmati kesunyian yang menyelimuti jalanan di depannya itu. Sekilas, sorot matanya melirik jam digital di atas dashboard mobilnya, angka jam sudah menunjukkan pukul lima lewat sebelas menit.
Tak lama, suara ponselnya berdering, memecah keheningan yang sejak tadi menekan dadanya. Langit menoleh sekilas arah layar ponselnya yang menyala di konsol mobilnya. Dengan sigap, ia mengenakan earphone di telinganya lalu menarik ikon hijau panggilan ke atas.
"Halo, Ma?" Kata Langit menyambut sambungan panggilan di luar sana.
"Langit, kamu dimana?"
"Aku masih di jalan, Ma. Sebentar lagi Langit pulang."
"Kebetulan."
"Apanya yang kebetulan, Ma?" Tanya Langit, mengerutkan dahi.
"Bunga Mama... Langit! Kamu tahu sendiri kan, kalau Mama itu paling gak suka kalau lihat bunga di ruangan yang mendadak mati."
"Okeeee.... terus?"
"Beliin Mama bunga, ya."
"Sekarang banget, Ma?"
"Iya!"
Langit mendesis. "Ma. Mana ada toko bunga jam sekarang masih buka? Yang ada itu pagi, Ma. Bunganya masih seger-seger!"
"Ada!" Suara sang Ibu menekan. "Pokoknya kamu harus nemu toko bunga yang masih buka! Bunga apapun yang penting ada bunga di rumah!"
Langit menggelengkan kepalanya pelan. Sambil tetap mengemudikan mobilnya di jalan raya besar yang begitu lengang, nyaris menyerupai jalan tol—ia menyandarkan tubuhnya ke jok kemudi. "Ma... kenapa si gak beli bunga mati aja biar Mama tuh gak perlu repot beli bunga-bunga mulu!"
"Langit! Bunga hidup itu lebih baik. Harum dan segar!"
"Ya, Mama tinggal beli parfum aroma bunga terus semprot kan sama aja!"
"Enggak...! Pokoknya Mama mau bunga asli! Cariin Mama bunga sekarang!"
"Tap—"
Tuuuuuut.
Langit mendecak sambil mematikan earphone di telinganya. "Ada-ada aja, Mama!" Gumamnya sendiri. "Mana ada toko bunga yang masih buka di sore gini. Mana langit mau ujan, lagi!"
Langit mulai membaurkan matanya ke setiap penjuru sudut ibu kota. Lampu-lampu jalan mulai menyala dan memancarkan cahaya kuning lembut. Ia kemudian membanting setir mobilnya ke kiri, mengambil salah satu persimpangan dengan keputusan mendadak.
Mobilnya kini melaju di jalan besar—sejenis jalan raya yang di kiri kanannya berjejer ruko-ruko yang hampir semua toko telah tutup. Pedal gas yang melesat stabil, kini lebih pelan, nyaris merayap seperti siput. Sementara, sorot matanya mulai mengabsen pada jejeran ruko-ruko itu, berharap...
Wajah Langit mendadak sumringah, bak seseorang yang baru saja menemukan jawaban dari kebuntuan. Tanpa menunggu lama, ia segera menepikan mobilnya di depan sebuah toko bunga yang masih terang dan buka di tengah sepinya jalanan dan gelapnya langit yang perlahan mulai meneteskan bulirnya ke permukaan.
Bunyi beep terdengar khas ketika Langit menekan tombol pengunci. Ia beringsut turun dari mobilnya. Jalanan besar itu tetap lengang, hanya lampu-lampu jalan yang berjajar rapi menemani sunyi petang. Dengan langkah perlahan, Langit menuju sebuah toko bunga yang masih menyala terang—satu-satunya yang tampak hidup di antara ruko-ruko lain yang telah terlelap.
Ia mendorong pintu kaca toko itu.
Kring…
Suara lonceng kecil menggantung di atas pintu berdenting nyaring, menjadi penanda kehadiran seorang pelanggan di jam yang tak biasa.
“Selamat datang di Florest Flowers,” Ucap seorang gadis dari balik rak bunga. Suaranya lembut, terdengar sambil lalu, seolah sudah terbiasa menyapa tanpa menoleh.
Gadis itu sedang sibuk merapikan pot-pot kecil di rak kayu. Tangannya cekatan, gerakannya sederhana. Baru setelah beberapa detik, ia berbalik—dan saat itulah mata mereka saling bertemu.
Langit tertegun.
Gadis di hadapannya tak mengenakan riasan mencolok, hanya kemeja polos berlengan pendek dan apron tipis yang sudah sedikit kusut menutup tubuh semampainya. Sedangkan, rambutnya diikat rendah, beberapa helai jatuh membingkai wajah tirusnya. Kesederhanaan itu, membuatnya terlihat hangat, nyata, seperti seseorang yang seharusnya tak ditemui di tengah guyuran hujan yang kini mulai membawa kawanannya.
"Uhm." Deham Langit, mengejutkan dirinya sendiri. "A-Aku... aku sedang mencari bunga."
Gadis yang usianya tak jauh darinya itu tanpa sadar memperhatikannya lebih saksama. Tatapannya singgah sejenak—pada raut wajah Langit yang tampak lelah, pada cara bahu kokohnya sedikit merosot seolah memikul beban yang terlalu berat untuk hari segelap ini. Namun ia tak bertanya, hanya mengangguk kecil dengan senyumnya yang tetap terjaga. “Untuk acara tertentu?” Tanyanya lembut, melangkah keluar dari balik rak sepenuhnya.
"Untuk di simpan di ruang tamu dan kamar." Jelas Langit.
Gadis berkulit kuning langsat itu mengangguk dengan senyuman. "Mari, sebelah sini."
Langit mengangguk menurut. Langkahnya mengikuti gerak gadis itu menyusuri lorong sempit di antara rak-rak kayu yang dipenuhi bunga. Kelopak-kelopak segar tersusun rapi, sebagian masih basah oleh sisa semprotan air.
Gadis itu kemudian berhenti di sebuah rak kecil. Tangannya terampil memilah bunga, seolah tahu betul mana yang pantas disandingkan. "Ini cocok untuk di ruang tamu maupun kamar." Ucapnya sambil memperlihatkan bunga krisan berwarna putih dan kuning cerah. "Bagaimana?"
Langit terdiam sejenak. Ada jeda untuknya berpikir. Ia tak hapal betul bunga seperti apa yang biasa Laura, sang Ibu, rawat. Namun ketika pandangannya jatuh pada bunga-bunga yang gadis itu perlihatkan, ada rasa hangat yang tiba-tiba menyusup ke dadanya.
Kelopak-kelopak itu tampak sederhana, tak mencolok, namun hidup. Bukan tentang warna yang paling terang atau bentuk yang paling megah, melainkan tentang perawatan, tentang kesabaran, tentang cinta yang tumbuh diam-diam tanpa banyak kata.
"Cantik." Gumam Langit, tanpa sadar matanya tertuju ke arah gadis dihadapannya.
Gadis itu tersentak. Gerak tangannya terhenti, matanya membulat sesaat sebelum akhirnya bertemu dengan tatapan Langit.
“Uhm. Ma—maksud aku…” Langit buru-buru meralat, menggaruk kepala yang sebenarnya tak terasa gatal. Wajahnya sedikit memanas oleh rasa canggung. Ia lalu menunjuk ke arah bunga. “... Bu-bunganya… sepertinya pas untuk ruang tamu dan kamar rumahku.”
Gadis itu terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, berusaha menyembunyikan gugupnya sendiri. “Oh… iya,” Jawabnya sambil mengangguk. “Bunga ini memang dilahirkan cocok untuk menghiasi ruangan. Warnanya lembut, nggak terlalu mencolok, serta dapat membuat suasana menjadi hangat."
Langit mengangguk dan mencerna setiap pernyataan gadis itu. "Aku ambil ini."
Gadis itu mengangguk dan mulai bergerak menuju meja kasir, serta-merta mEngambil kertas pembungkus dan pita dari laci kecil di bawah meja. Gerakannya cekatan, seolah kebiasaan yang telah diulang berkali-kali. Ia membungkus rangkaian bunga itu dengan rapi, sesekali menata ulang sudut kertas agar terlihat simetris.
Langit mengikutinya dengan pandangan, berdiri tak jauh dari meja kasir. Dari jarak sedekat itu, ia bisa melihat detail kecil yang luput sebelumnya—cara gadis itu menggigit bibir bawahnya saat fokus, helai rambut yang lolos dari ikatan dan jatuh ke sisi wajahnya.
“Bunganya bisa tahan dua sampai tiga hari kalau airnya rutin diganti,” Ujar gadis itu sambil tetap bekerja. “Jangan lupa potong ujung batangnya sedikit setiap hari.”
Langit mengangguk. “Iya. Terima kasih.”
Gadis itu selesai mengikat pita, lalu mendorong rangkaian bunga itu ke arah Langit. “Sudah siap,” Katanya, tersenyum. "Totalnya menjadi..."
"Ambil saja kembaliannya." Potong Langit sambil memberikan beberapa uang kertas berwarna biru kepada gadis itu, setelah sempat melihat harga di rak putih tersebut.
Untuk sesaat, tangan mereka nyaris bersentuhan ketika Langit meraih bunga itu—momen singkat, sederhana, namun cukup membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari seharusnya.
"Terima kasih." Kata gadis itu mengejutkannya, "Kebetulan toko kami akan segera tutup. Anda pelanggan terakhir malam ini."
Langit terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oh… maaf kalau jadi merepotkan,” Ujarnya tulus.
Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak sama sekali,” Jawabnya lembut. “Justru… jarang ada yang datang di jam segini. Anda pelanggan istimewa. Tolong di jaga bunganya, ya. Terlalu rapuh untuk pegang. dan terlalu berharga untuk dibiarkan layu begitu saja.”
Langit tersenyum tipis, menangkap makna di balik kata-kata itu. “Iya,” Jawabnya singkat namun mantap. “Aku jaga.”
Gadis itu tersenyum kembali. Dan kali ini, senyumannya menuntun Langit mulai berbalik dan melangkah keluar dari toko.
Hujan semakin deras bersama petang yang kini menenggelamkan harinya kepada malam. Langit menatap langit gelap sebelum akhirnya ia bergerak cepat menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya.
****