Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taruhan di Hadapan Para murid!
Saat mereka berjalan melintasi pelataran sekte untuk kedua kalinya, suasana telah berubah total. Latihan pagi sedang berlangsung dengan penuh semangat. Udara bergetar oleh desisan senjata dan teriakan jurus. Shanmu, yang berjalan di belakang Tuan Yao, tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah keriuhan itu.
Shanmu menyaksikan seorang murid dengan pedang perak mengayunkan senjatanya dengan lincah. Pedang itu mengeluarkan semburan cahaya biru pucat sepanjang satu meter yang melesat.
Bomm!
Serangan itu menghantam sebuah batu uji yang besar, meninggalkan goresan dalam di permukaannya. Ia melihat seorang murid pria lainnya, berdiri sepuluh langkah dari sebuah boneka kayu latihan yang kokoh. Dengan tombak di tangan, ia menusuk ke udara.
Whoosh!
Sebuah lubang yang bersih dan dalam tiba-tiba muncul di dada boneka kayu itu, seolah-olah ditusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Tepuk tangan riuh menggemuruh dari murid-murid lain yang menyaksikan.
Kemudian, pemandangan yang paling memesona, seorang murid tingkat lanjut berdiri di atas sebilah pedang lebar yang melayang setinggi pinggang. Dengan isyarat tangan, pedang itu membawanya melesat ke seberang pelataran, melayang rendah di atas tanah sebelum mendarat dengan anggun. Terbang. Benar-benar terbang.
Hati Shanmu berdegup kencang. Sebuah gelembung antusiasme dan kekaguman murni mengembang di dadanya. Ini dia. Dunia yang diceritakan Kepala Desa. Dunia kultivator yang ajaib. Namun, gelembung itu segera pecah, ditusuk oleh kenyataan pahit yang ia bawa sejak diuji pedagang. Antusiasme itu berubah menjadi rasa sedih yang tumpul, sebuah kerinduan pada sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia raih. Ia menundukkan kepalanya, memaksa diri untuk fokus mengikuti langkah Tuan Yao yang mulai menjauh.
Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah bangunan yang lebih megah daripada gudang, terbuat dari kayu jati berukir dengan atap genting biru. Ini adalah bangunan administratif Sekte Langit Biru. Tuan Yao memberi isyarat pada Shanmu, lalu mereka masuk.
Suasana di dalam jauh lebih hening namun penuh dengan tekanan yang berbeda. Ruangan luas itu dihiasi dengan gulungan kaligrafi dan vas keramik. Yang paling menarik perhatian adalah sekelompok murid yang sedang berkumpul di dekat sebuah meja besar. Di tengah mereka, berdiri dua sosok yang mencolok.
Yang pertama adalah seorang wanita muda. Kecantikannya begitu memukau, bagai giok yang hidup. Kulitnya benar-benar seputih salju tanpa noda, kontras dengan rambut hitamnya yang bagai sutra terjalin, terurai panjang hingga ke pinggang. Tubuhnya ramping semampai, terbungkus dalam gaun biru langit yang sederhana namun mempertegas keanggunan alaminya. Setiap gerakannya lembut dan penuh wibawa.
Namun, bagi Shanmu yang seumur hidupnya hanya mengenal kecantikan alam dan kesederhanaan desa, pemandangan ini hanya terlihat 'indah', seperti melihat bunga langka. Ia tidak terpana, hanya sekilas mengamati sebelum pandangannya beralih.
Di samping wanita cantik itu, berdiri seorang pemuda dengan postur tegap dan wajah tampan namun dingin. Matanya tajam, memancarkan aura superioritas. Ia mengenakan seragam sekte yang lebih mewah, dengan hiasan benang perak di tepinya. Beberapa murid lain berdiri di belakangnya dengan sikap hormat, jelas-jelas adalah pengikut atau bawahan sang pemuda.
Tuan Yao, yang tahu betul siapa mereka, yaitu murid-murid berbakat juga dari keturunan keluarga berpengaruh di sekte, ia segera membungkuk dan berbisik pada Shanmu,
"Turunkan kepalamu. Jangan menatap."
Shanmu patuh, segera menundukkan kepalanya, matanya tertuju pada ujung sepatunya yang sederhana. Namun, gerakan mereka memasuki ruangan telah menarik perhatian. Bukan Tuan Yao yang sudah biasa mereka lihat, melainkan Shanmu, sosok baru dengan tubuh perkasa dan pakaian hijau sederhana yang mencolok di antara seragam-seragam biru. Wanita cantik itu mengalihkan pandangan sebentar, alisnya yang indah terangkat sedikit penasaran. Pemuda tampan di sampingnya juga menyapu pandangan dinginnya pada Shanmu, seolah menilai seekor serangga yang tidak pada tempatnya.
Tuan Yao, mengabaikan tatapan-tatapan itu, berjalan mendekati sebuah meja di sudut di mana seorang pria paruh baya berkumis tipis dan bermuka masam Diaken He sedang memeriksa sebuah gulungan.
"Diaken He, kami telah menyelesaikan seluruh pekerjaan penyapuan untuk hari ini," lapor Tuan Yao dengan suara datar namun hormat.
Diaken He mengangkat kepalanya, wajahnya berkerut karena tidak percaya, lalu berubah menjadi kemarahan. "Saudara Yao! Jangan berani-berani bercanda denganku! Biasanya kau selesai menjelang sore, bahkan dengan pekerjaan standar! Hari ini dengan tambahan area kediaman murid dan tetua, bagaimana mungkin kau sudah selesai? Kau malas dan berbohong bukan?"
Tuan Yao tetap tenang. "Saya tidak berbohong, Diaken. Saya memiliki rekan baru, Shanmu di sini. Dia sangat membantu."
Diaken He menghela napas seolah memahami, tapi lalu murkanya meledak lagi.
Bam!
Tangannya menampar meja. "Bahkan dengan seorang rekan baru, mustahil menyelesaikan segalanya dalam waktu kurang dari tiga jam! Kau menganggapku bodoh?" Ia berdehem, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Atau... kalian berdua asal-asalan dan tidak membersihkan dengan benar?"
Tuan Yao berdiri tegak. Ia tahu, jika ia ragu, mereka akan diusir. Dan yang lebih penting, ia ingin melindungi Shanmu dari sorotan yang tidak perlu. Dengan suara mantap, ia berbohong, "Hari ini... semangat saya sangat tinggi karena memiliki rekan baru. Kami bekerja dengan efisiensi yang luar biasa. Semua area telah dibersihkan sesuai standar."
Mendengar pembelaan yang terdengar lemah itu, Diaken He mencemooh. "Baiklah! Kalau kau begitu yakin, kita buktikan!" Ia menoleh ke seorang murid yang berdiri tak jauh. "Kau! Periksa seluruh area yang menjadi tugas Saudara Yao! Halaman depan, pelataran, halaman belakang, jalan setapak kediaman, semuanya! Jika ada satu daun kering atau sebutir debu yang tertinggal, laporkan padaku!"
Murid itu mengangguk cepat dan segera berlari keluar. Taruhan tak terucap itu menggantung di udara. Beberapa murid di dekat wanita cantik dan pemuda tampan itu mulai memperhatikan dengan lebih serius, seolah menemukan hiburan yang menarik di tengah rutinitas mereka. Tatapan mereka yang penuh kecurigaan dan sedikit menghina tertuju pada dua tukang sapu yang berdiri di hadapan Diaken He yang murka.
Shanmu masih berdiri dengan kepala tertunduk. Ia merasakan ketegangan di ruangan itu, atmosfer permusuhan yang asing. Jantungnya berdebar pelan, bukan karena takut pada Diaken He, tapi karena bingung. Mengapa membersihkan dengan cepat malah menyebabkan masalah? Pikirannya yang polos tidak bisa memahami politik kekuasaan dan rasa tidak percaya di dunia yang lebih kompleks ini.
Diaken He, merasa perlu mempertegas wibawanya di depan para murid istimewa itu, akhirnya mengucapkan taruhannya dengan suara lantang. "Saudara Yao! Jika perkataanmu benar, dan seluruh area benar-benar bersih sempurna, maka sebagai penghargaan atas 'efisiensi luar biasa'-mu, aku akan membayarmu dan anak baru ini sepuluh koin emas per orang, per hari, selama sebulan penuh!"
Desisan riuh rendah melintas di antara murid-murid yang menyaksikan. Sepuluh koin emas per hari untuk tukang sapu? Itu jumlah yang sangat besar, hampir tidak masuk akal.
Diaken He menyeringai. "TAPI, jika kau berbohong, atau ada yang tidak beres, maka hari ini juga kalian berdua akan kukeluarkan dari Sekte Langit Biru dan kularang untuk kembali selamanya! Bagaimana? Berani menerima taruhanku?"
Tuan Yao tidak ragu-ragu. "Saya terima, Diaken He." Jawabannya yang cepat dan tegas membuat Diaken He terkejut sekaligus semakin yakin bahwa Yao sedang menggertak. Senyum puas muncul di wajahnya yang masam.
Waktu berlalu dengan lambat dalam keheningan yang menegangkan. Setiap detik terasa seperti satu jam. Tatapan-tatapan dari para murid, terutama si pemuda tampan, semakin menusuk. Wanita cantik itu hanya diam memandang, ekspresinya sulit dibaca.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa abadi, murid yang dikirim kembali. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat penuh keheranan. "Diaken He... Saya... Saya telah memeriksa semua area."
"Dan?" hardik Diaken He.
"Semua... semua area yang disebutkan... benar-benar bersih. Bahkan... lebih bersih dari biasanya. Seolah-olah telah... telah disikat oleh angin topan yang teliti. Tidak ada satu pun daun atau kotoran yang tersisa."
Dentang! Sebuah pena yang dipegang Diaken He terjatuh ke lantai. Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Ekspresi Diaken He membeku, lalu berubah dari marah menjadi tidak percaya, lalu menjadi bingung yang mendalam. Bagaimana mungkin? Dua orang, salah satunya pemuda baru, menyelesaikan pekerjaan seberat itu dengan sempurna dalam waktu singkat?
Semua mata tertuju padanya. Taruhannya telah diucapkan di depan banyak saksi, termasuk murid-murid berpengaruh. Tuan Yao dengan tenang berdehem, memecah keheningan.
"Sesuai dengan taruhan, Diaken He. Sepuluh koin emas per orang."
Diaken He tersentak, wajahnya memerah karena malu dan kaget. Ia merasa terjebak oleh mulutnya sendiri. Di hadapan murid-muridnya, terutama yang penting itu, ia tidak bisa mengingkari janji. Dengan gerakan kaku, ia membuka laci meja, mengeluarkan dua tumpukan kecil koin emas yang berkilau. Dua puluh koin emas secara total. Dengan enggan, ia meletakkannya di atas meja.
Tuan Yao melangkah maju, mengambil sepuluh koin untuk dirinya, lalu dengan sopan memberikan sepuluh koin lainnya kepada Shanmu. "Terima kasih, Diaken He," ucapnya dengan nada datar.
Shanmu, yang masih bingung dengan semua drama ini, menerima koin-koin berat itu. Ia membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih banyak, Tuan Diaken. Terima kasih, Tuan Yao."
Keduanya hanya membalas dengan anggukan singkat. Tuan Yao segera mengucapkan permisi, menarik lengan Shanmu dengan halus. Ia tidak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh pertanyaan dan kecurigaan dari para murid, terutama tatapan analitis dari si pemuda tampan yang tampaknya mulai benar-benar memperhatikan keberadaan Shanmu.
Begitu keluar dari bangunan administratif, Tuan Yao menarik napas dalam-dalam, melepaskan ketegangan. Ia mengajak Shanmu kembali ke gudang untuk menyimpan sapu dan karung. Shanmu mengikuti dengan patuh, gemerincing koin emas di sakunya memberikan rasa nyaman yang aneh.
Setelah semua perlengkapan disimpan rapi, Tuan Yao memutuskan untuk langsung kembali ke penginapan. "Ayo kita pulang. Bekalmu makan saja di penginapan nanti. Aku perlu berbicara dengan Rekan Gong," katanya, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian aneh pagi ini.
Sepanjang perjalanan meninggalkan sekte, melalui gerbang batu yang megah, dan menyusuri jalan kota, Tuan Yao terus-menerus melirik Shanmu dari sudut matanya. Perasaannya sangat rumit. Di satu sisi, ia senang dengan gaji yang tiba-tiba melonjak. Di sisi lain, sebuah keheranan dan bahkan sedikit rasa takut yang irasional merayap dalam hatinya.
Anak ini... bagaimana mungkin? Seseorang yang tidak memiliki akar spiritual, yang tidak bisa merasakan Qi... memiliki tenaga fisik, stamina, dan kecepatan yang bahkan menyaingi seorang Pejuang Besi awal yang serius? Apa yang sebenarnya terjadi di balik tubuh perkasa dan senyuman lugu itu?
Shanmu, di sisi lain, berjalan dengan riang, jari-jarinya sesekali menyentuh kantong berisi sepuluh koin emas. Hari pertamanya bekerja telah berakhir dengan sukses, dan ia mendapatkan bayaran yang jauh melampaui impiannya. Namun, di kedalaman hatinya, bayangan para murid yang terbang dan mengeluarkan cahaya masih membekas, mengingatkannya pada jurang tak terbentang antara dirinya dan dunia yang baru saja ia masuki, hanya untuk menyapunya.