Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Jayden menikmati hidangan malam ini bersama beberapa orang yang ia kenal. Sesekali ia ikut bercakap, namun pikirannya tetap melayang pada sosok Selina. Pria itu kehilangan jejak wanita tersebut, tidak tahu ke mana ia pergi. Meski begitu, Jayden sudah bisa menebak—Selina pasti sedang menangis sendirian.
“Ah, sebentar saya ke toilet dulu,” katanya berpamitan pada rekannya.
Begitu menjauh, Jayden menyusuri bagian belakang gedung, matanya awas menoleh ke kanan dan kiri. “Kemana wanita itu? Jangan sampai dia melakukan hal bodoh,” gumamnya pelan, nada cemas terdengar jelas.
Sementara itu, Selina sudah jauh meninggalkan gedung pesta. Tumit sepatunya mengetuk trotoar, langkahnya gontai, bahunya berguncang setiap kali ia menyeka air mata dengan kasar. Ia tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang lewat.
Entah sejak kapan, hampir satu jam ia berjalan tanpa arah, hingga akhirnya kakinya berhenti di depan sebuah rumah sederhana—rumah orangtuanya. Helaan napasnya tercekat di tenggorokan.
Rumah itu masih sama, hanya cat dindingnya yang kini berganti warna lebih pudar. Lampu teras menyala redup, tanda masih ada penghuni di dalam.
Kerinduan menyesak dadanya. Sebanyak apa pun ia pernah membenci orang tuanya karena masa lalu kelam yang mereka torehkan, Selina tak bisa menghapus darah dan ikatan yang mengalir dalam dirinya. Ada bagian kecil di hatinya yang tetap merindukan pelukan orang tuanya.
Udara malam begitu dingin menusuk tulang, tapi Selina menguatkan diri. Dengan tangan bergetar, ia memberanikan diri mengetuk pintu kayu itu. Entah apa yang akan terjadi. Apakah orang tuanya masih mau menerimanya? Atau justru mengusirnya?
Detak jantungnya kian cepat saat suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok seorang wanita paruh baya dengan rambut sudah beruban sebagian.
Selina mengernyit bingung. Wajah itu asing di matanya, bukan ibunya.
“Maaf… cari siapa ya?” tanya wanita itu sopan.
Selina menelan ludah. “Mm… ini… rumahnya Pak Nedham, kan?” tanyanya pelan.
“Pak Nedham?” Wanita itu tampak mengernyit, berusaha mengingat. “Kamu siapanya?” tanyanya lagi.
“Sa… saya keluarganya, Bu,” jawab Selina terbata, suara bergetar. “Saya ingin bertemu Pak Nedham sama istrinya… apa mereka ada di dalam?”
Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap Selina dengan raut iba. “Sebenarnya rumah ini sudah dijual. Saya kurang tahu tentang Pak Nedham. Sebelum saya tinggal di sini, rumah ini sempat dibeli orang lain, dan baru beberapa bulan lalu dijual lagi ke saya.”
“Apa?” Selina terperanjat. “Di… dijual?”
Wanita itu mengangguk pelan. “Iya. Saya nggak tahu alasan kenapa Pak Nedham menjual rumah ini ke Pak Ilyas. Saya sendiri membelinya dari Pak Ilyas, karena beliau bilang butuh uang.”
Selina menelan ludah. “Apa Ibu tahu… kemana Pak Nedham pergi setelah itu?”
Wanita itu menggeleng perlahan.
Sejenak dunia Selina terasa runtuh. Rasa cemas menyergap, membuat matanya panas. “Te… terima kasih banyak kalau begitu, Bu,” ucapnya pelan, memaksakan senyum.
“Ya, sama-sama.” Wanita itu masih menatapnya penasaran sebelum akhirnya menutup pintu perlahan.
Selina berdiri terpaku di depan rumah yang dulu penuh kenangan itu. Kini, ia merasa semakin kehilangan. Ia tahu orang tuanya tidak mungkin mendatangi rumah bibi atau pamannya—hubungan mereka sudah lama retak. Jadi ke mana ia mencari mereka?
Sementara itu, di gedung pesta resepsi…
“Ma, tadi Selina ke sini sama Jayden,” bisik Zavier rendah.
Denada yang berdiri di sampingnya, yang juga menyambut tamu spontan mengernyit. “Selina? Di… di mana dia sekarang?” tanyanya cepat.
Zavier mengangkat bahu dengan wajah datar. “Nggak tahu. Mungkin mereka sudah pulang.”
Denada langsung khawatir, entah kenapa pikirannya justru dipenuhi wajah Selina. Raut wajahnya yang tadi penuh senyum kini berganti cemas.
“Udah, jangan terlalu dipikirin, Ma. Kita selesaikan dulu acara resepsi ini, baru nanti kita urusin dia,” kata Zavier sembari mengusap pelan bahu Denada.