"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya.
"Jangan ..., jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lorong kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Siapa namamu nak?" Ustadz mahmud bertanya ramah.
"Athur Louise Kaelan."
"Berapa nominal mahar yang akan kau berikan?"
Tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengambil dompetnya. Di sana hanya ada beberapa lembar. Kemudia mengambilnya dan memberikannya pada Ustadz mahmud.
"Hanya ada ini."
Ustadz Mahmud menghitung, lalu melihat ke arah laki-laki itu. Terlihat ada sedikit rasa kecewa di raut wajahnya. Tersenyum kearahnya sambil menyelesaikan pengisian data.
"Tidak apa-apa nak, yang penting kamu ikhlas. Besar kecil nominal mahar itu tidak masalah, insya Allah semua akan berkah ketika kita sebagi pria memberikan mahar dengan rasa ikhlas."
Wanita di sebelahnya menoleh mendengar tutur Ustadz Mahmud. Sedangkan Ustadz Mahmud mencatat nama, mahar alamat yang tertera di ktp Athur . Semuanya untuk melengkapi data agar memudahkan mereka jika akan mendaftarkan pernikahan secara resmi. Nama pria asing itu saja baru dia tahu, bagaimana mungkin bisa menikah tanpa saling mengenal terlebih dahulu. Mungkin seperti itu kini yang sedang di pikirkannya.
Setelah semua data yang di perlukan di rasa cukup. Acara sakral tanpa adanya rencana akhirnya akan segera di mulai. Dimana banyak wanita mengimpikan pernikahan dengan pria yang di cintainya. Berbada nasib dengan Rara dia harus menikah karena di grebek warga.
Tak ada gaun mewah, maka up MUA tidak ada pelaminan. Hanya baju sederhana Muslim berwarna putih yang di kenakan wanita itu. Pancaran wajah polos tanpa make up tapi terlihat manis dan cantik. Ada sedikit rasa kagum, walaupun sederhana auranya terlihat anggun.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rara Armellita binti Abraham Danzell dengan mas kawin tersebut di bayar tunai." ucap lantang seorang pria yang sama sekali tak di kenal Rara.
"Sah." sahut warga serempak.
Buliran bening jatuh tak tertahankan lagi. Entah permainan takdir seperti apa yang saat ini sedang di hadapi gadis itu. Sedih itu pasti, tapi dia sendiri tak bisa di jelaskan seperti apa perasaannya saat ini. Hanya menunduk diam tanpa kata, pikiran kosong namun air matanya terus jatuh.
"Baik nak, kalian sekarang sudah sah secara agama. Kalian bisa mendaftarkan pernikahan kalian nanti di bantu oleh perangkat."
Pria yang barus aja mengucapkan ijab mengangguk faham dengan arahan Ustadz Mahmud tersebut. Namun, tak ada jawaban dari gadis yang baru saja menyandang status istri dengan sekejap. Wanita itu masih tak bergeming, entah apa yang sedang di pikirkan.
"Ini balasan kenapa kau berani mendekati Alden." senyum tipis yang tak terlihat oleh siapapun di tengah para warga memandang dua manusia di sana.
"Nak. Nak Rara," Ustadz memanggil Rara, melihat tak ada respon dari gadis itu.
Masih tetap tak ada jawaban. "Sayang, kau baik-baik saja?" pertanyaan macam apa itu. Pasti perasaan gadis itu tidak baik-baik saja, ibu itu pun tahu namun dia hanya ingin berusaha menyadarkannya. Tanganya mengusap lembut punggung Rara.
Akhirnya wanita itu merespons dan menoleh memandangi perempuan paruh baya di sampingnya. Tanpa berkata dia lalu memeluknya sangat erat, terisak dalam dekapan hampir tak terdengar. Bagaimana pun juga dia seorang ibu tahu perihnya perasaan Rara saat ini.
Laki-laki di hadapan Ustadz beralih menatap seseorang dengan tatapan tajam namun tidak bisa di tebak. Hampir satu jam mereka menenagkan Rara dan pada akhirnya wanita itu sudah mulai tenang. Semua warga pun sudah bubar dari tempat pak Ustadz.
*
Rara Armellita, nama itu kini sudah terikat kuat dengan status istri. Menatap langit malam tanpa adanya bintang dan bulan, hanya di temani suara rintik hujan. Pikiranya menerawang jauh entah kemana.
"Ehem," deheman lembut membuyarkan pikiran laki-laki itu.
"Ada apa?"
"Ti ... tidak. I ... itu," gugup, takut tatapan pria sampingnya seakan ingin memangsanya hidup-hidup. Laki-laki itu membuang muka, melihat expresi wajahnya.
"Katakan?" satu kata namun terdengar sangat tegas.
Menunduk sedikit takut, juga bingung ingin memulai dari mana, "Em ..., itu. Apa luka itu baik-baik saja?"
"Hemm,"
Bagi Rara jawaban itu sangat tidak memuaskan, jelas tadi dia melihat jika perban di lengannya merah karena darah segar. Tapi laki-laki itu malah sangat santai seperti tidak terjadi apa-apa. Ada rasa kawatir bagaimana selayaknya manusia memperlakukan sesama manusia, bukan karena suka atau status.
"Nan ... nanti, Anda bisa tidur di kamar saya. Biar saya tidur bersama kedua adikku, jika memerlukan sesuatu panggil saja kami."
"Hemm,"
Athur menghela nafas, mendengar ucapan dari gadis yang baru saja sudah mengubah statusnya beberapa jam yang lalu. Rara sedikit memberanikan diri, ekor matanya melirik. Menunggu beberapa saat, tapi tak ada respons lain.
"Huh dasar, sudah numpang songong lagi."
"Kamu sedang apa de?"
"Itu Kak," tunjuknya.
"Andai saja ibu sama bpk masih ada ya kak. Mungkin tidak ada kejadian seperti ini."
Perkataan adiknya seakan meremas hatinya, dia sendiri berfikir sama. Semua dengan kata andai hanya mimpi bagi mereka. Namun kenyataanya ini semua nyata. Menyeka sedikit genangan di matanya dengan cepat.
"Sudah ayo kita masuk," dengan sedikit buru-buru membawa adiknya masuk sebelum sang kakak memergoki mereka.
"Kak, kenapa buru-buru sih?"
"Husss, brisik."
*
Bug!
"Bangsat!"
"Auw,"
Bug!
"Anjing lo!''
Perkelahian antara sahabat, karena kesal semua rencananya gagal. Bukan karena benci, sampai dia tega memukul laki-laki yang sering membantunya saat dia membutuhkan. Sungguh dia benar-benar egois dengan semuanya.
"Sudah apa-apaan kau ini hah!"
"Jangan ikut campur! Dia lolos karena kecerobohannya."
"Sudah, Cukup!" bentaknya melerai perkelahian mereka. Akhirnya bisa juga mereka melerainya, membawa yang salah satunya menjauh.
"Brengsek! Ini semua gara-gara kalian."
"Jangan hanya salahkan mereka. Kamu juga salah."
"Coba tadi kau datang tepat waktu pasti semua ini tidak bakal terjadi."
"Ah ... sial."
Mereka sedikit takut, melihat kemarahan sahabatnya. Namun ada benarnya juga apa yang di katanya pria itu. Mereka tidak sepenuhnya salah, andai saja tadi dia datang tepat waktu pasti semua ini tidak akan terjadi.
"Athur, lihat sejauh mana kau akan pergi dan bersembunyi."
*
RARA Armellita gadis yang baru genap 17 tahu berapa hari yang lalu, dia dari keluarga yang sederhana. Setiap hari dia bekerja setelah pulang sekolah. Semenjak di tinggal kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu meninggal dunia akibat kecelakaan.
Sejak saat itu dunianya seakan begitu sangat berat. Dia harus tetap kuat dan baik-baik saja karena ada kedua adiknya. Bahkan pernah ingin putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Akan tetapi pihak sekolah justru menyemangati dan memberikannya bantuan agar tetap melanjutkan sekolah.
Dunia mungkin kejam terhadapnya, tapi kita sebagai manusia tidak pernah tahu seindah apa di depan sana. Memiliki saudara tapi kondisinya juga sama seperti mereka. Budhenya sedikit kasar dan pelit, pamanya sering membantu secara diam-diam karena tidak tega dan menganggap seperti anak sendiri.
kok bisa dinikahkan sih ?
Duh kasihan sekali masih muda 17 tahun sudah dinikahkan, terlalu muda sekali, mana suaminya juga baru kenal.....kok begitu sih ?😭