Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Partner Kerja
“Gawat, CCTV di sini juga tidak berfungsi,” ucap Aldo dengan nada cemas sambil menatap layar ponselnya yang seharusnya menampilkan rekaman CCTV kantor.
Juna dan Anna saling pandang dengan tatapan sinis yang hampir dapat dipotong menjadi potongan kecil oleh udara. Ketegangan di ruangan itu seperti terperangkap di udara, tebal dan membeku.
“Udah, udah. Biar kita perbaiki saja gaunnya. Rusak bisa diperbaiki, kan?” ucap Anna mencoba menenangkan situasi, namun suaranya terdengar seperti mengabaikan sesuatu yang penting.
“Memangnya bisa diperbaiki? Lengan saja sudah robek kena gunting, bawahnya juga,” celetuk Fiona tanpa sadar, membuat ruangan itu sedikit lebih tegang.
Anna menoleh ke arah Fiona, tatapannya berubah menjadi penuh selidik. Akhirnya yang ditunggu-tunggu angkat bicara.
“Darimana kamu tahu kalau lengan dan bawahnya gaun itu robek kena gunting? Pak Aldo kan cuma bilang gaunnya rusak. Jangan-jangan kamu pelakunya?” Anna terus menatap Fiona, nadanya menusuk seperti belati yang siap disembuhkan pada daging yang berdarah.
Fiona terpaku sejenak, lalu menjawab dengan suara bergetar.“Jangan ngawur kamu, Anna. Aku kan cuma menebak.”
“Tapi tebakan kamu seperti seolah kamu yang melakukan semuanya, tahu detail rusaknya. Aku saja belum melihat keseluruhan yang rusak bagian mana saja,” ujar Anna semakin mendekat, membuat Fiona mundur satu langkah.
“A–aku kan cuma mengira saja,” Fiona menghindari tatapan Anna, rasa tidak nyaman terpancar jelas dari matanya.
“Yakin, Kalau kamu tidak tahu yang sebenarnya?” bisik Anna dengan tatapan menantang.
“Kok kamu kayak nuduh aku sih, Na. Ya aku gak tahu. Jangan mentang-mentang kamu kepala desainer di kantor ini, kamu seenaknya nuduh aku,” balas Fiona dengan suara gugup yang berusaha ia tutupi.
“Nuduh? Siapa yang nuduh kamu? Kamu merasa?” selidik Anna dengan nada meledek.
Juna yang dari tadi hanya diam, akhirnya bertanya, “Kalau bukan Fiona, lalu siapa yang bisa melakukan ini? Bahkan CCTV tidak berfungsi sama sekali. Ada yang dengan sengaja ingin menutupi jejaknya.”
“Jadi, Bapak Juga menuduhku?” tanya Fiona sudah merasa ketakutan.
“Menurutmu?” Juna menatap tajam kearah Fiona.
Fiona gugup mendapat tatapan tajam dari Juna tetapi ia mencoba tenang.
“Jadi gak ada yang mau mengaku siapa yang merusak gaunku ini?” tanya Anna yang pandangan tidak lepas dari Fiona.
“Kenapa kamu menatap terus seperti itu?” ucap Fiona takut.
“Karena memang kamu pelakunya kan?” balas Anna sambil memutar video yang tadi ia ambil.
Semua orang tercengang melihat video tersebut, tidak menyangka Fiona tega melakukan hal kotor semacam itu.
“Lah, ternyata kamu sendiri dalangnya, Fiona? Pantes tahu detail rusaknya,” celetuk salah satu karyawan.
Juna melihat Aldo agar menangkap Fiona, ia ingin tahu pasti motif Fiona.“Bawa ke ruanganku,” ucap Juna.
Aldo membawa Fiona ke ruangan Juna diikuti Anna. Juna menghela nafas panjang sebelum bertanya pada Fiona.
“Fi, kamu kenapa menjadi seperti ini?” tanya Juna berusaha meredam emosinya.
“Pak, itu bukan saya. Saya gak tahu apa-apa,” elak Fiona.
“Terus kalau bukan kamu, siapa? Hantu?” saut Anna heran.
“Kalau kamu punya dendam pribadi padaku, temui aku. Jangan bawa-bawa pekerjaan orang banyak. Kamu tahu kan aku dan pak Juna menyiapkan gaun ini sudah berbulan-bulan untuk acara event minggu depan malah kamu rusak begitu saja. Kamu sadar gak sih, udah ngerugiin banyak pihak, mikir dong. Sudah tua juga!” Anna benar-benar emosi sampai ingin melempar botol minuman ke arah Fiona tetapi Juna mencegahnya.
“Kenapa Fiona?” tanya Juna lagi.
“Aku, aku hanya tidak terima Anna secepat itu diangkat jadi kepala desainer di perusahaan ini. Sedangkan aku sudah lama bekerja disini tidak dipertimbangkan,” jawab Fiona terbata-bata menyadari kesalahannya.
“Do, kamu tahu yang harus kamu lakukan kan?” ucap Juna yang sudah tidak ingin berurusan dengan Fiona apapun alasannya, baginya mempekerjakan manusia mempunyai hati busuk tidak ada artinya.
“Baik, Pak. Fiona ikut aku,” ajak Aldo menarik Fiona.
Fiona memohon ampun pada Juna tetapi Juna tidak mau mau lagi melihat Fiona. Setelah Fiona keluar dari ruangannya. Juna melihat Anna sedang melihat gaunnya yang dirusak seperti Anna ingin memperbaiki.
“Apa bisa diperbaiki,” ucap Juna dibelakang Anna.
Anna masih memperhatikan gaun itu.“Sepertinya sudah tidak bisa, kalau pun bisa semua harus dirombak. Lebih baik buat yang baru, tapi mungkin tidak akan sama seperti semula,” jawab Anna.
“Kalau hubungan kita bisa diperbaiki tidak?” tanya Juna membuat Anna menoleh dan hampir terhuyung karena jarak Juna begitu dekat.
Anna meraih lengan Juna dan tatapan mereka saling bertemu, sejenak terpaku. Juna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. Ia menatap gaun di tangan Anna, apakah hubungan dengan Anna masih bisa diperbaiki.
“Hubungan kita tidak ada masalah yang berarti, Juna. Hanya saja aku tidak suka cara pandangmu,” jawab Anna melepaskan tangannya dari lengan Juna.
“Aku minta maaf, Anna. Aku hanya terlalu cemburu. Kita jangan putus ya,” mohon Juna.
“Aku tidak tahu, Jun. Aku mau nurut sama mama, papa aja. Lihat saja nanti gimana. Lagipula, kamu pernah bilang hubungan ini sampai kita menemukan pasangan masing-masing, kan?”
Juna meraih tangan Anna, ia sepertinya menyesal pernah berucap seperti itu.“Tapi, yang aku mau hanya kamu.”
Anna menghela nafas panjang.“Sudah, kita perbaiki dulu gaun ini,” ucap Anna.
Anna duduk di kursi meja kerja Juna, ia meraih pensil dan kertas dan memulai menggambar desain gaun baru. Juna pun membiarkan Anna konsentrasi. Ia memilih untuk keluar dari ruangan.
Di luar ruangan, Juna bertemu Aldo dan Tiara.“Do, bagaimana urusan Fiona?” tanya Juna.
“Sudah, sudah beres.”
Juna mengangguk mengerti, lalu ia teringat Anna jika sedang bekerja tidak bisa dengan perut lapar.“Oh iya, Tiara. Tolong kamu beli mie ayam, jus jeruk sama beli beberapa cemilan kesukaan Anna ya.” Juna mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
Tiara sejenak terdiam lalu mengangguk, ia juga tidak berani bertanya banyak tentang Anna.“Baik, pak. Nanti saya belikan,” jawab Tiara sambil mengambil uangnya dari tangan Juna.
Juna kembali ke ruangannya dan mendapati Anna masih dengan posisi yang sama dengan ekspresi serius.
Juna berjalan menghampiri dan melihat sampai mana Anna membuat sketsa gaunnya.“Desain kamu selalu bagus, Anna,” puji Juna.
Anna tersenyum.“Terima kasih, Jun. Oh iya. Setelah ini kita cari kain untuk membuat gaun baru ya,” balas Anna meregangkan otot-ototnya.
“Iya.” Juna memberikan segelas air putih pada Anna.
“Terima kasih, Jun,” jawab Anna sambil mengambil gelas air itu, lalu meneguknya pelan.
Juna duduk di kursinya, matanya tetap tertuju pada sketsa gaun di atas meja Anna yang kini tampak makin hidup dengan garis-garis detailnya. “Aku benar-benar kagum sama ide kamu kali ini. Bajunya nanti pasti jadi pusat perhatian di pameran.”
Anna tersenyum malu, sedikit menunduk, “Aku harap begitu. Tapi kamu tahu, ide itu masih butuh dipoles. Mungkin beberapa bagian harus lebih mencolok. Tapi ini tidak sebagus yang pertama.”
“Tidak, ini jauh lebih bagus dan desain kamu selalu unik,” sahut Juna yakin.
“Nanti biar aku yang bantu untuk cari kain, supaya sesuai dengan gambaran kamu,” sambung Juna lagi.
Anna mengangguk setuju, menatap Juna lekat-lekat, ada rasa percaya mengalir di antara keduanya. “Jun, terima kasih sudah selalu mendukungku. Kadang aku nggak yakin bisa sampai titik ini.”
Juna tertawa ringan.“Itulah tugas partner kerja. Aku percaya kita bisa sukses bareng-bareng.”
Tiba-tiba ponsel Juna bergetar di atas meja.
Ia mengambilnya, dan raut wajahnya berubah serius. Sebuah pesan masuk.“Juna, pertemuanmu dengan calon istrimu nanti malam sudah mama atur. Persiapkan dirimu.” begitu pesan tersebut membuat Juna menghela nafas panjang.