1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Sangat Berisik
Musim semi, harum mewangi sampai jauh ke pegunungan.
Dari pegunungan jauh, angin berhembus.
Di ujung atap, lonceng angin bergemerincing, berisik sekali.
Ning Xuan tengah berbaring di atas sepasang kaki panjang berkulit putih mulus.
Sudah enam belas tahun sejak ia menyeberang ke dunia ini, dari bayi hingga remaja. Semua yang pernah ia alami sebelum menyeberang dunia, kini hanyalah seperti mimpi lama yang memudar.
Sekarang, ia menguap lebar.
Pemilik kaki putih panjang itu menyempatkan diri menyuapkan sebutir anggur yang sudah dikupas ke dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu, terdengar tawa lembut yang manja, lebih berisik daripada gemerincing lonceng angin.
“Tuan muda, ini anggur Mutiara Roh dari wilayah barat. Katanya, tiga ekor kuda pilihan harus dipacu bergantian supaya bisa cepat sampai. Begitu tiba di kabupaten kita, langsung disimpan semalam di ruang es. Pagi buta tadi, sebelum matahari terbit, putri sulung Keluarga Dagang Fugui sendiri yang mengantarkannya. Hihihi…”
“Ababa.”
“Ababa…”
Ning Xuan langsung melahap anggur Mutiara Roh itu. Begitu buah itu pecah di mulut, sarinya meledak, menyerbu indera pengecapnya.
Pandangan matanya mulai buram, pegunungan di kejauhan pun ikut terlihat kabur.
Ia membuka mulutnya lagi, menunggu suapan anggur berikutnya.
Siapa suruh. Dia adalah satu-satunya putra Tuan Ning?
Di Kabupaten Xinghe, siapa yang tak tahu pepatah: “Bupati bisa silih berganti, tapi Tuan Ning tetap kokoh tak tergantikan”?
Banyak orang tahu, Tuan Ning memiliki koneksi luas hingga ke pusat kekuasaan. Entah karena bosan dengan gemerlap dunia, atau ada alasan lain, akhirnya ia memilih menetap di Kabupaten Xinghe untuk menghabiskan masa tuanya. Tak disangka, di usia senja ia justru mendapat seorang putra tunggal. Wajar bila anak itu diperlakukan bak harta paling berharga.
Dan kebetulan, Ning Xuan-lah anak itu.
Enam belas tahun hidupnya penuh dengan kemewahan dan kenikmatan. Pakaian indah, makanan lezat, wanita cantik dan tak pernah kekurangan apapun.
Kalau ia ingin belajar ilmu bela diri, gurunya adalah Zhang Erquan si “Pisau Walet Pengejar Angin” yang termasyhur. Kalau ia ingin belajar sastra, keluarga bahkan membuka sekolah pribadi di rumah, dengan guru besar He Jinzhu, dia adalah mantan pejabat yang memilih pensiun.
Di seluruh Kabupaten Xinghe, siapa pun yang punya sedikit kekuatan dan harta, pasti memikirkan cara menikahkan putrinya dengan Ning Xuan.
Putri sulung Keluarga Dagang Fugui itu adalah salah satu contohnya.
Namun, Ning Xuan tidak pernah memilih. Bahkan ketika ia ada rasa suka, ia pun tak berbuat apa-apa.
Dalam enam belas tahun ini, ia sudah menyadari bahwa dirinya tak punya “jari emas” alias keberuntungan luar biasa seperti dalam kisah-kisah penyeberangan dunia lain. Ia juga mengerti, pencapaian akademiknya takkan bisa setinggi itu. Maka cara paling cerdas baginya hanyalah berbaring tenang, menunggu ayahnya yang mengatur segalanya.
Ia tidak memberontak.
Ia hanya menunggu pengaturan ayahnya.
Bahkan soal pernikahan, ia pun akan menunggu keputusan sang ayah.
Menjelang senja, Ning Xuan membalikkan tubuh, lalu memeluk gadis cantik pemilik kaki putih mulus itu. Ia adalah dayang favoritnya. Dengan santai ia berkata:
“Sudah mengantuk.”
Dayang itu tertawa kecil, sambil pura-pura menolak, menendang manja dengan kakinya, berusaha melepaskan diri sambil berseru riang:
“Janganlah begitu, Tuan muda”
Awalnya, ucapan menggoda semacam itu masih sempat membuat Ning Xuan merasa segar dan penasaran. Namun kini, semua itu sudah membuatnya kebal rasa. Ia hanya menjadikan gadis itu sebagai “bantal peluk” lalu terlelap tidur.
Ning Xuan tak tahu sudah tidur berapa lama.
Dalam keadaan setengah sadar, ia tiba-tiba terbangun.
Matanya belum terbuka, namun ia segera merasakan sesuatu yang aneh dan lengan kirinya terasa kosong.
Padahal biasanya, pasti ada dayang cantik itu yang bersandar di lengan kirinya.
Dayang kecil itu paling suka tidur bersandar di lengannya, melekat manja seperti seekor burung kecil.
Tubuhnya mungil dan ringan, tidak membuat lengan terbebani. Kehangatan tubuh, kelembutan kulit, perhatian penuh kasih, ditambah kecerdikan serta pengertiannya, itulah sebgian kelebihannya.
Berkat semua itu, ia bisa bertahan di sisi Tuan muda Ning selama dua tahun, tak tergantikan oleh siapapun.
Karena itu, mustahil dia membiarkan Tuan mudanya terbangun tanpa mendapati dirinya ada di samping.
Dayang kecil itu bernama Xiao Jie.
Merasa lengannya kosong, Ning Xuan refleks memanggil namanya:
“Xiao Jie!”
Tak ada jawaban.
Ia pun menaikkan suaranya:
“Xiao Jie!!”
Kali ini, tetap tak ada jawaban dan hanya suara angin.
Suara angin dari luar pintu.
Hembusan angin mendorong pintu, lalu tiba-tiba kehilangan tenaga. Pintu yang sempat terbuka pun memantul kembali, menutup dengan suara plak!
Plak… plak… plak…
Pintu itu terus berbunyi, seirama dengan suara bergemuruh hutan pinus di luar jendela yang terdengar putus-putus, menciptakan suasana menyeramkan.
Ning Xuan kontan membuka mata.
Ia terkejut mendapati seluruh ruangan kini diselimuti rona kelabu yang tak terlukiskan. Sedangkan di luar, suasananya bagai kematian seolah ada suara, tapi justru semakin menimbulkan kesunyian mencekam.
Padahal, ini adalah vila pribadi keluarga Ning. Ia datang kesini untuk menikmati bunga. Sore tadi ia baru tiba, dan sudah menyiapkan banyak penari serta pemusik. Tapi karena merasa lelah, ia menunda semuanya hingga esok hari.
Tempat ini seharusnya tidak sesenyap dan semencekam ini.
Maka, Ning Xuan pun bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan keluar.
Ia melintasi halaman dalam, namun para penjaga vila yang seharusnya berjaga di sana tidak terlihat.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, bahkan para pengawal yang biasanya berpatroli sambil membawa lentera pun tidak ada.
Ning Xuan memang seorang pemuda yang terbiasa bermalas-malasan, tetapi ia bukan orang bodoh. Ia mencubit dirinya dengan keras. Rasa sakit yang jelas menyengat tubuhnya.
“Bukan mimpi? Lalu… apa ini serangan perampok gunung?”
Vila keluarga Ning seharusnya dijaga oleh ahli-ahli bela diri. Para penjaganya pun bukan sembarang orang, mereka adalah prajurit yang pernah melalui pertumpahan darah. Hanya dengan melihat sorot mata mereka saja, Ning Xuan tahu bahwa orang-orang itu pernah membunuh.
Ayahnya sanggup menyewa sekelompok mantan algojo kejam untuk menjaga sebuah villa terpencil di gunung, jelas itu menunjukkan betapa dalam dan kuatnya latar belakang keluarga Ning.
Dengan kondisi seperti itu, mana mungkin ada perampok gunung yang bisa menyelinap masuk, apalagi membantai semua orang tanpa suara?
Selain itu, ia juga tidak mencium bau darah sama sekali.
“Bukan perampok gunung… lalu sebenarnya apa ini?”
Pikiran Ning Xuan berputar cepat, tapi gerakannya tetap sigap. Meski hatinya dicekam rasa takut, ia segera mengambil keputusan: ia tidak boleh kembali ke kamarnya. Ia harus mencari tempat untuk bersembunyi sampai fajar tiba.
Saat itu, ia menengadah ke langit.
Bulan.
Hitam.
Seketika tubuhnya menggigil. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergegas menuju halaman samping. Ia ingat di sana ada sebuah taman batu buatan untuk pemandangan. Taman batu itu cukup dalam dan cukup untuk bersembunyi.
Beberapa saat kemudian, Ning Xuan sudah bersembunyi di celah taman batu.
Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan degup jantung yang kencang, menata pernapasannya, lalu diam menunggu datangnya pagi.
Peluh dingin mengucur deras di punggungnya.
Seumur hidup dimanja, ia sudah lama tidak pernah menghadapi bahaya nyata seorang diri.
Untunglah, ia akhirnya melihat cahaya matahari.
Namun, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.
Ada yang tidak beres!
Cahaya matahari itu… putih.
Putih pucat!
Sinar matahari yang seharusnya hangat justru tampak menyilaukan dan suram, menerpa batu taman buatan itu hingga suasana seperti berubah menjadi hitam-putih, persis televisi kuno di dunia sebelum ia menyeberang.
Dalam sekejap kebingungan itu, ia merasakan sesuatu tengah mengawasinya.
Kaku dan gemetar, ia perlahan menoleh. Waktu seakan melambat.
Dan saat itu ia bertatapan dengan sepasang mata merah darah.
Seketika, angin kencang menyapu.
Dada Ning Xuan terasa seperti dihantam keras dan disayat oleh rasa sakit yang tak tertahankan.
Taman batu buatan itu hancur berantakan.
Tubuhnya pun ikut terpental dan remuk, jatuh bersama bongkahan batu.
Dengan susah payah, ia memalingkan kepala, berusaha melihat makhluk apa yang menyerangnya.
Lalu, ia melihat seekor beruang hitam.
Beruang itu berbulu hitam kasar, setiap helai seperti jarum baja. Kepalanya sebesar gentong besar, telinganya koyak seperti layar kapal yang sobek.
Beruang hitam itu menoleh padanya, menyeringai. Senyumannya mengerikan, terlihat hampir seperti ekspresi manusia dan dari mulutnya menyembul deretan gigi runcing, rapat, dan menyerupai biji semangka yang tajam.
“Sudah lama… aku tak makan manusia.”
Suara itu, suara manusia yang keluar dari mulut beruang. Suara yang aneh, menakutkan, dan membuat darah membeku.
Beruang itu lalu mencengkeram Ning Xuan, mengangkatnya dari kaki, dan mulai melahap tubuhnya. Dari telapak kaki, betis, paha, hingga pinggang. Satu gigitan demi gigitan.
Setiap kali Ning Xuan hendak pingsan karena sakitnya yang tak terbayangkan, beruang itu mengguncang tubuhnya agar ia tetap sadar.
“AAAAAAAAHHHHHHHHHHH!!!”
Ning Xuan menjerit sejadi-jadinya, jeritan yang bahkan dirinya sendiri tak pernah membayangkan bisa ia keluarkan.
Sekonyong-konyong, ia tersentak bangun.
Tubuhnya tegak duduk, terengah-engah. Nafasnya terputus-putus, matanya liar menatap sekeliling dengan penuh ketakutan. Namun yang ia lihat hanyalah kelambu yang menjuntai tenang, dan dinding kamar yang diterangi cahaya bulan.
Ia masih berada di kamarnya.
“Jadi… mimpi buruk. Untung hanya mimpi buruk.”
Ia mengusap keringat yang membasahi wajah. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Lalu ia berseru:
“Xiao Jie, tolong tuangkan air madu.”
Namun, tak ada jawaban.
Ning Xuan segera menoleh ke samping.
Yang ia lihat—adalah kamar yang kembali diliputi kelabu.
Bulan hitam menggantung di langit.
Angin kembali bertiup dari pegunungan jauh, menghantam pintu.
Plak… plak…
Suara pintu memantul terdengar menusuk telinga.