Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pergi kadang lebih baik dari pada tinggal tapi tak dihargai
Malam menjelang larut, rumah besar keluarga Argantara sunyi, hanya suara detik jam yang terdengar di antara temaram lampu lorong. Di salah satu kamar, Reghan duduk di sisi ranjang, wajahnya tegang dan mata merah karena tak bisa berhenti menatap tubuh Arum yang terbaring lemah.
Tubuh Arum penuh luka. Balutan kain putih di punggungnya sudah mulai berubah warna karena darah yang merembes keluar, napasnya terengah pelan. Reghan meremas ujung selimut, menahan perasaan bersalah yang menggerogoti dadanya.
Dia menyeka peluh di dahi Arum dengan tangan gemetar.
“Kenapa kamu tidak melawan…” bisiknya pelan. “Kenapa kamu tidak berteriak memanggilku?”
Arum membuka matanya setengah, suaranya serak. “Untuk apa? Supaya aku lebih menyedihkan lagi di depan mereka?”
Reghan terdiam, tidak bisa menjawab. Dia meraih baskom air dan handuk kecil, perlahan membersihkan luka Arum. Setiap sentuhannya membuat tubuh Arum sedikit menegang, tapi ia tak beranjak.
“Arum…” Reghan menatap wajah wanita itu lama. “Aku tahu kamu tidak seperti itu. Tapi semua orang ... semua bukti ... mengarah padamu. Aku … aku tidak tahu harus percaya siapa.”
Arum menatap balik, matanya kosong. “Kau tidak perlu percaya siapa pun, Tuan Reghan. Cukup ingat, aku tidak akan lupa bagaimana kau menatapku malam ini. Sama seperti mereka menatap seorang pembunuh.”
Kata-kata itu menancap dalam di dada Reghan, tangannya terhenti di udara.
“Aku tidak bermaksud...”
“Tidak perlu menjelaskan,” potong Arum pelan. “Aku tahu di matamu aku bukan siapa-siapa, hanya istri yang kau pilih karena kehendak Oma. Kau mencintaiku? Aku bahkan tak yakin kau mengenalku sepenuhnya.”
Reghan bangkit dari kursinya, menatapnya dengan rahang menegang.
“Jangan katakan aku tidak mencintaimu. Aku sudah memilih untuk tidak memenjarakanmu. Itu bukan hal kecil, Arum!”
Arum tersenyum getir, matanya mulai berkaca.
“Memilih cambuk sebagai gantinya? Itu yang kau sebut cinta?”
Reghan terdiam, memandang Arum begitu lama.
“kalau begitu, aku tidak ingin dicintai seperti itu,” lanjut Arum lirih. “Simpan cintamu untuk mereka yang pantas menerimanya. Aku sudah kehilangan rasa percaya … dan kau yang menghancurkannya.”
Hening panjang memenuhi ruangan. Hanya suara napas berat keduanya yang terdengar. Reghan menatap Arum sekali lagi, wajah yang dulu menenangkan kini justru membuat dadanya sesak. Ia menunduk, mencium punggung tangan Arum yang lemah, lalu berbisik,
“Maafkan aku, Arum. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, tidak peduli seberapa besar kau membenciku.”
Reghan meninggalkan kamar dengan langkah berat. Arum menatap pintu yang tertutup itu lama, lalu meneteskan air mata yang tak bisa lagi ia tahan.
“Jangan khawatir, Tuan Reghan,” bisiknya pelan. "Cinta kita takkan membuat aku benar-benar dicintai,"
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Udara dingin menelusup pelan, namun ranjang yang biasanya hangat kini terasa hampa. Reghan mengulurkan tangan ke sisi ranjang, kosong.
“Arum?” panggilnya pelan, tak ada jawaban. Dia bangkit, menatap seprai yang masih rapi di sisi lain. Tidak ada bekas tidur, dada Reghan mulai sesak. Ia berjalan ke lemari, menarik pintu perlahan namun kosong. Pakaian Arum lenyap, begitu juga barang-barang kecilnya.
Langkahnya semakin cepat. Dia keluar kamar, menuruni tangga dengan napas tersengal, seakan baru kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.
“Oma!” panggilnya begitu melihat sosok tua itu keluar dari ruang keluarga. Oma Hartati menatap cucunya sebentar, wajahnya datar. “Kau mencari Arum?”
“Di mana dia?” suara Reghan bergetar. “Di mana Oma menyembunyikannya?”
Oma menghela napas berat. “Tidak ada yang menyembunyikan siapa pun, Reghan. Arum pergi. Dia meninggalkan rumah ini sebelum subuh.”
Reghan menatap tak percaya. “Pergi?”
“Ya, dan aku tidak menghentikannya. Mungkin dia memang tak pantas lagi tinggal di bawah atap yang menuduhnya tanpa bukti.”
Suasana tegang itu tiba-tiba pecah oleh suara Maya yang turun dari tangga.
“Bagus,” katanya dengan nada dingin. “Satu benalu sudah pergi. Rumah ini akhirnya bisa tenang tanpa drama murahan dari perempuan itu.”
Belum sempat Maya menurunkan langkah terakhir, suara Reghan menggema keras.
“Diam!”
Nada suaranya begitu tajam hingga membuat semua orang menatap kaget. “Sekali lagi kau sebut namanya seperti itu, Maya, aku akan buatmu menyesal.”
Maya membeku, tak berani bicara lagi. Saat itu pintu depan terbuka, Alena dan Elion baru saja tiba dari rumah sakit. Alena masih tampak pucat, namun bibirnya melengkung lemah.
“Reghan,” katanya pelan, "terima kasih … karena kau sudah memilih kebenaran waktu itu. Kau...”
Reghan menatapnya tajam, dingin. “Aku tidak memihak siapa pun, Alena. Aku hanya memilih diam karena kebenaran belum sepenuhnya terungkap.”
Nada suaranya membuat Alena menelan ludah, matanya bergetar menahan gugup. Tanpa menunggu respon siapa pun, Reghan meraih kunci mobil di atas meja, langkahnya cepat menuju pintu. Oma memanggil, tapi ia tak menoleh.
Dia mengemudi tanpa arah, menelusuri jalan menuju gubuk tua di tepi hutan tempat Arum datangi beberapa waktu lalu. Setiap tikungan yang ia lewati membawa bayangan tentang Arum, tawa kecilnya, senyum gugupnya, mata teduhnya. Namun ketika sampai, gubuk itu sunyi.
Pintu terkunci rapat, rantainya tergembok. Tidak ada jejak kaki di tanah basah. Tidak ada secarik pesan pun tertinggal.
Reghan berdiri lama di depan pintu itu, kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Angin berhembus, membawa aroma tanah dan kenangan yang menyesakkan.
“Arum…” suaranya serak, nyaris berbisik. “Kau benar-benar pergi dariku.”
Reghan, berdiri di bawah langit yang mendung menatap ke atas berharap ada bayangan Arum di sana. Namun, yang dia temukan hanya langit yang semakin gelap dan hujan akan turun.